Melawat Jejak Satu Dekade
Gerald Situmorang (30) punya cara berbeda merayakan 10 tahun ia berkarya di dunia musik.
Gerald Situmorang (30) punya cara berbeda merayakan 10 tahun ia berkarya di dunia musik. Alih-alih menggelar konser satu dekade nan megah, Gerald memilih merayakan satu dekade berkarya dengan berkonser di panggung-panggung intim di tujuh tempat berbeda selama tujuh hari.
Konser perayaan satu dekade Gerald Situmorang yang bertajuk Always Changing: A Decade of Gerald Situmorang, salah satunya digelar di Soundtrip Café yang terletak di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan, Rabu (29/1/2020) malam. Itu adalah konser ketiga dalam rangkaian tujuh hari konser perayaan satu dekade Gerald Situmorang.
Gerald tampil bersama Gerald Situmorang Trio, yang juga diawaki Jessilardus Mates (drum) dan Ankadiov Subran (bas). Sebagai pembuka, tampil salah satu vokalis Barasuara, Puti Chitara yang membawakan lagu-lagu dari album-album solonya, seperti ”Magical”, ”Sunyi”, ”Snow In Summer”, dan ”Pendar”.
Penonton yang hadir tidak sampai ratusan orang, bahkan mungkin tak sampai 50 orang. Namun, konser yang digelar di lantai satu kafe tersebut berlangsung hangat. Jarak penonton yang duduk di barisan terdepan dengan para musisi hanya sekitar 1 meter.
Semuanya tekun menyimak permainan Gerald Situmorang Trio yang malam itu membawakan lagu-lagu dari album mereka, Time Is The Answer. Sesekali, aksi para musisi ditingkahi suara mesin penggiling biji kopi dari konter, tetapi semua tampak maklum. Di barisan belakang, sebagian penonton memilih berdiri selama pertunjukan berlangsung.
Malam itu, Gerald Situmorang Trio tampil memikat. ”P&L”, ”Keeps Coming Back”, ”Waving”, ”Debu”, ”Time is the Answer”, dan ”Getting the News”, yang semuanya bercorak jazz instrumentalia, meluncur tanpa kendala. Chemistry ketiganya terbangun dengan baik meski mereka cukup lama tidak main bersama.
Penonton disuguhi permainan gitar Gerald dengan petikan-petikannya yang santai, tidak tergesa-gesa, tetapi tetap memberi peluang improvisasi selayaknya napas jazz yang mereka usung. Penampilannya berbanding terbalik dengan gebukan drum Jessilardus yang atraktif, diiringi permainan bas Ankadiov yang juga kalem, tak terlalu menggebu.
Gerald yang menjadi front man sesekali menyapa penonton dan bercanda menggoda Jessilardus dan Ankadiov. ”Kami main bareng tahun 2013. Waktu itu ada jam session di Kemang, di kafe milik Mas Indra Lesmana, khusus untuk musisi-musisi muda. Karena disuruh nge-host, akhirnya aku bikin Gerald Situmorang Trio. Terus bikin album,” kata Gerald tentang trio itu.
Album yang mereka hasilkan enam tahun lalu itu mendapat nominasi dalam kategori Best Jazz Track di ajang Indonesia Cutting Edge Music Awards 2014. Album ini juga masuk di jajaran Indonesia Top 10 Album Rolling Stones Indonesia periode September 2014-Januari 2015.
Sebelumnya, rangkaian konser dimulai Senin (27/1), di Rumah Karya Sjuman di BSD. Di situ, Gerald tampil bersama pianis Sri Hanuraga (Aga), menyuguhkan lagu-lagu dari album META. Konser hari kedua digelar di Legato Gelato, BSD. Gerald tampil bersama grupnya yang lain Hemiola Quartet membawakan lagu-lagu dari album Oddventure yang dirilis pada November 2012.
Empat konser Gerald lainnya digelar hingga Minggu (2/2). Berturut-turut bersama Barasuara di Hatchi (Pondok Indah), lalu bersama Gerald Situmorang Dimensions di Kilo, (Senopati), bersama Sketsa di Beergarden (SCBD), dan terakhir bersama Gerald Situmorang Solitude di Tujuhari Coffee (Wijaya). Rangkaian konser itu menunjukkan betapa Gerald, sebagai musisi, bermain dan menjelajah dalam genre yang sangat luas.
Panggung intim
Ide awal A Decade of Gerald Situmorang, menurut Gerald, lahir dari keisengannya menjawab lontaran pertanyaan drumer Barasuara, Marco Steffiano, di akun Instagram miliknya. Marco, konon, melontarkan kerinduannya menyaksikan Gerald bermain jazz lagi, yang lalu dijawab Gerald dengan janji menggelar konser selama seminggu penuh, menggandeng semua band di mana Gerald terlibat didalamnya.
”Itu jawaban iseng. Cuma setelah aku inget-inget, aku sempat berpikir untuk begitu. Karena aku sering lihat misalnya di Jazz Festival ada artist in resident, di mana artisnya ini akan main selama 3 hari atau 5 hari, tapi dengan project-project yang berbeda. Jadi mungkin itu inspirasiku,” katanya.
Awalnya, Gerald ingin main di satu tempat selama satu minggu berturut-turut. Namun, ide itu lantas berubah. Dia juga tak ingin membuat konser satu dekade seperti yang dilakukan musisi atau penyanyi lain yang biasanya dirayakan dengan konser besar. Terlebih, proyek Gerald yang melibatkan band-band berbeda cukup banyak sehingga akan banyak band yang harus diundang apabila dia menggelar konser besar.
Sebagai gambaran, Gerald merilis album pertamanya, Childhood’s Dream pada tahun 2010 bersama Sketsa. Hingga 10 tahun kemudian, terdapat 8 album lainnya yang dirilis Gerald bersama band-band lainnya, termasuk Barasuara di mana Gerald menjadi pemain bas.
Total, selama 10 tahun, Gerald merilis 9 album. Itu di luar proyeknya sebagai produser, komposer, dan juga sebagai arranger yang juga ditekuninya selama ini.
”Aku enggak pengin bikin yang masif, panggung yang serius. Aku justru pengin panggung yang intim, yang santai, yang chillgitu. Pengin justru si band ini cocoknya main di mana. Trio, misalnya kan emang main di jazz club. Quartet main di kafe yang cocok untuk 40 orang. META yang serius, ada piano, main di Rumah Karya Sjuman yang bentuknya amfiteater, serius. Jadi vibe-nya emang dicocokin,” kata Gerald.
Untuk rangkaian konser ini, Gerald juga dibantu Tommy Pratomo, pemain saksofon yang bersama Gerald pernah menggelar tur bersama pada 2016. Gerald juga menggandeng situs patungan online musik Kolase.com.
Bagi Gerald, menggelar konser selama tujuh hari di tempat berbeda dengan partner yang berbeda-beda sangat menarik. Apalagi banyak di antaranya sudah manggung bersama. ”Aku juga jadi lihat karyaku, trace back prosesku dari umur belasan bikin lagu sampai sekarang,” kata Gerald.
Lanjutnya, ”Perubahanku nulis lagu kayak gimana, perubahan cara mainku. Aku jadi dengerin albumnya, terus main, oh lagu gue yang awal banget masih kayak gini ya, trus yang sekarang udah kayak gini. Perubahan-perubahan itu kadang seru. Secara enggak langsung, jadi punya catatan kehidupan.”
Harapannya sederhana. Melalui konser satu dekade ini, dia bisa bernostalia dengan karya-karya lamanya bersama pendengar-pendengar fanatik atau mereka yang bahkan belum tahu karya-karyanya yang lain.
”Di luar itu aku pengin manggungin aja semua. Ini ide gila, memainkan 70 lagu dalam seminggu, apakah gue bisa atau masih inget. Nantang diri sendiri juga,” katanya.
Bagi Gerald, terus bertumbuh, ditambah disiplin dan konsisten, adalah kunci utama untuk terus berkarya.