Pergerakan harga kopi di tingkat petani dipengaruhi harga kopi dunia. Akibatnya, harga jual kopi di tingkat petani berpotensi lebih rendah dibandingkan dengan ongkos produksinya
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Harga kopi dunia yang naik-turun membuat pendapatan petani tak menentu. Kalau kopi tak ”berduet" dengan komoditas lainnya, kesejahteraan berpotensi lepas dari genggaman petani.
Data International Coffee Organization menunjukkan, sepanjang 2019, harga kopi menyentuh 89,31 sen Amerika Serikat (AS) per pon pada Mei sebagai titik terendah. Harga tertingginya berada di posisi 123,69 sen AS per pon pada Desember.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, Executive Chairman Inisiatif Dagang Hijau Fitrian Adriansyah menyatakan, rata-rata pendapatan petani kopi saat ini mencapai Rp 30 juta per tahun per orang. Apabila petani menanam komoditas selain kopi, pendapatannya dapat meningkat dua-tiga kali lipat.
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), tenaga kerja yang terlibat dalam perkebunan kopi pada 2018 mencapai 1,83 juta orang. Jumlah ini akan meningkat menjadi 2,57 juta orang pada 2024.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menuturkan, pergerakan harga kopi di tingkat petani dipengaruhi oleh harga kopi dunia. Akibatnya, harga jual kopi di tingkat petani berpotensi lebih rendah dibandingkan dengan ongkos produksinya.
Oleh sebab itu, Teten berencana menerapkan penanaman kopi dengan pengembangan komoditas lain di tingkat petani, seperti pisang, kakao, jagung, atau peternakan. ”Kami ingin mengonsolidasikan penanaman kopi dengan komoditas lain yang berorientasi ekspor dan substitusi impor,” katanya, Kamis (30/1/2020), di Jakarta.
Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik mencatat, nilai tukar petani perkebunan rakyat berada di posisi 95,86. Artinya, perbandingan antara indeks harga yang diterima petani belum menyentuh titik impas dengan indeks harga yang dibayarkan petani.
Andil petani kopi pada pembentukan nilai tukar petani perkebunan rakyat berdasarkan tahun dasar 2018 pun mengalami penurunan menjadi 10,77 persen. Dengan tahun dasar 2012, andilnya mencapai 15,62 persen.
Solusi fluktuasi
Dari sisi perusahaan penyerap hasil produksi pertanian atau offtaker, Members of Board Executive SCOPI dari Nestle Rudi Syahrudi menyepakati konsep konsolidasi penanaman kopi dengan pengembangan komoditas lain atau inter-copping. Menurut dia, konsep itu sejalan dengan pengoptimalan lahan yang ada, tetapi tak bersifat kontraproduktif dengan penanaman kopi.
Konsep ”duet” kopi ini, menurut Rudi, juga menjadi solusi kestabilan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan petani dalam menghadapi tantangan pergerakan harga di tingkat dunia. Variasi komoditas yang dikembangkan petani akan mengompensasi harga kopi saat sedang merosot.
Anggota Dewan Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia sekaligus Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo juga mendukung penerapan pengembangan lintas komoditas tersebut. Karet pun dapat menjadi rekan ”duet” bagi kopi.
Moenardji menuturkan, duet itu dapat tercapai dengan mendorong petani karet yang sedang meremajakan lahannya untuk menanam kopi. ”Dampak positifnya, ada tambahan luas lahan kopi dari proses peremajaan karet,” ujarnya.
Kementerian Koperasi dan UKM mendata, luas perkebunan kopi pada 2018 mencapai 1,24 juta hektar yang 94,5 persen di antaranya merupakan milik petani rakyat. Pemerintah menargetkan, pada 2024 luasnya menjadi 1,74 juta hektar.
Peremajaan kopi
Selain konsolidasi komoditas, Teten menyatakan, pemerintah juga ingin meremajakan perkebunan kopi demi meningkatkan produktivitas. Saat ini, produktivitasnya berkisar 700-800 kilogram (kg) per hektar dan diharapkan dapat melonjak menjadi 2 ton per hektar.
Menurut Chairman of Executive Board Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) Irvan Helmi, peningkatan produktivitas kopi tersebut perlu menjadi prioritas. ”Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi kopi meningkat hingga 248 persen. Namun, produktivitas kopi di hulu cenderung stagnan,” katanya.
Di hilir, para penggemar dan penggandrung tak segan merogoh kocek demi menenggak segelas atau secangkir kopi. Bukankah petani juga berhak sejahtera karena turut menikmati pertumbuhan pesat tren minum kopi di kalangan masyarakat?