Meraih Dunia Pesan
Perkembangan seni media seakan makin menambah kerumitan dunia seni rupa kontemporer sekarang.
Perkembangan seni media seakan makin menambah kerumitan dunia seni rupa kontemporer sekarang. Namun, di balik itu ada kesederhanaan misi yang diemban, yakni seni haruslah membawa pesan kontekstual, pesan yang memberi manfaat penting bagi masyarakat.
Sebuah kamar gelap dirancang untuk pemutaran video seni berjudul Life of Imitation karya seniman Singapura, Ming Wong (49). Sebelumnya, karya ini dihadirkan di Paviliun Singapura pada Venice Biennale 2009 di Venice, Italia, dan meraih penghargaan Special Mention.
Kolektor dari Indonesia, Wiyu Wahono, selanjutnya mengoleksi karya seni rupa media itu. Karya ini kemudian turut dihadirkan dalam Pameran Matter Matters: New Media, Materiality, and The Artworld di Can’s Gallery, Jakarta, 24 Januari hingga 22 Februari 2020.
”Ming Wong yang terlahir di Singapura ini melihat ada tiga entitas bangsa di negaranya, yaitu China, India, dan Melayu. Ia melibatkan tiga orang masing-masing mewakili tiga bangsa tersebut untuk menggarap karyanya yang mengunggah pesan antirasisme,” ujar Wiyu di Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Video seni itu berdurasi sekitar 13 menit. Isinya adegan percakapan tiga perempuan, yang sebetulnya diperankan oleh tiga laki-laki berdandan perempuan.
Wiyu menerangkan, percakapan di antara perempuan berdarah Melayu dan India itu sebagai percakapan seorang anak dan ibunya. Anaknya yang berdarah Melayu dan memiliki warna kulit kecoklatan itu mempertanyakan ibu yang berdarah India dan berkulit lebih gelap darinya.
Adegan berikutnya, ada perempuan lain berdarah China yang berdandan sebagai perempuan Eropa yang sempat salah kira terhadap ibu berdarah India tersebut. Itu karena warna kulitnya gelap, ibu itu dikiranya sebagai pembantu rumah tangga.
”Perempuan berdarah China itu teman dari perempuan Melayu tadi. Ketika bertemu dengan seorang ibu yang berkulit lebih gelap, perempuan berdarah China itu memintanya supaya membersihkan kamar mandi yang kotor karena mengira ibu itu pembantu rumah tangga,” kata Wiyu.
Ketegangan yang satire tampak dalam adegan video itu. Tidak ada sedikit pun kesan ingin melucu. Ini menggambarkan sebuah realitas rasisme yang masih berlangsung. Ming Wong mengingatkan hal itu. Ia menghadirkan karya seni media sebagai karya kontemporer yang membawa pesan antirasisme.
”Pentingnya pesan ini jauh melampaui ide atau gagasan karya seni media tersebut. Menurut saya pribadi, demikianlah seharusnya karya seni rupa kontemporer,” ujar Wiyu.
Pameran ini dikuratori Gumilar Ganjar. Karya lain yang ditampilkan merupakan koleksi kolektor yang meliputi Evelyn Huang, Indra Leonardi, Tom Tandio, Tommy Sutomo, Natasha Sidharta, dan Rudi Lazuardi.
Seni media selain karya Ming Wong yang ditampilkan, meliputi karya seniman Agan Harahap, Aliansyah Chaniago, Bandu Darmawan, Eldwin Pradipta, Erika Ernawan, Exonemo, Fluxcup, Julian Abraham Togar, Kao Chung Li, Muhammad Akbar, dan Ricky Janitra.
Dunia pesan
Tidak hanya karya Ming Wong, karya para seniman lain pun merambah dunia pesan yang cukup menarik. Agan Harahap dengan modifikasi hasil foto sinar-X atau rontgen ingin menunjukkan organ manusia yang diimbuhi mesin-mesin.
Karya Eldwin Pradipta mengunggah fenomena penggunaan kamera pemantau (CCTV) untuk orang-orang yang sedang mengamati lukisan di suatu pameran. Karya itu diberi judul, ”Who Watches The Watcher #3”.
Karya Eldwin ini memenuhi dinding dengan citra sebuah lukisan pemandangan. Di dinding itu dipasang enam layar monitor kamera CCTV yang menampakkan rekaman video terhadap orang-orang yang sedang mengamati sebuah pameran seni.
Kurator Gumilar Ganjar menyebutkan, karya-karya koleksi itu dihadirkan untuk membaca kecenderungan seni media dalam batasan yang spesifik, yaitu paradigma pasar dan komodifikasi seni. Gumilar memberi catatan bahwa material di dalam seni media itu menjadi penting.
Material itu antara lain untuk menjawab tentang praktik seni media yang memiliki kesementaraan. Di situ, misalnya, ada praktik seni peristiwa, seperti gerak tubuh atau suatu proses menjadi sesuatu.
Gumilar lebih sering menyebut sebagai seni media baru meskipun dengan penggunaan istilah ”baru” itu kemudian mengundang perdebatan. Istilah ”baru” semestinya merujuk pada media dan media yang digunakan senimannya itu sebenarnya sulit dibilang baru.
Salah satunya, dipaparkan Wiyu Wahono, seperti penggunaan seni media berupa video. Perusahaan Sony memelopori media video ini tahun 1964 sehingga penggunaan video untuk seni media sekarang ini jelas tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai seni media baru. Apalagi ketika seni media menggunakan karya fotografi. Teknologi fotografi itu sendiri dirintis sejak 200 tahun lalu.
Membaca seni media
Gumilar menyampaikan bahwa seni media (baru) adalah garda depan seni kontemporer. Seni ini menjadi saluran atau kanal eksplorasi estetika. Ragam capaiannya pun revolusioner, sekaligus menjadi ungkapan konkret dari sikap kritis seni rupa mutakhir.
Sebagai garda depan, seni media mendobrak nilai dan prinsip seni modern dengan membongkar batasan obyek dan material. Seni media mendorong tercapainya nilai estetika di titik-titik terjauhnya.
”Dalam mewujudkan visi keberpihakan seni kepada masyarakat, seni media merupakan kandidat paling potensial untuk menunjukkan problematika peradaban mutakhir yang sudah begitu terintegrasi dengan teknologi,” tulis Gumilar di dalam catatan kuratorialnya.
Dari berbagai kemungkinan yang bisa dicapai itu, menurut Gumilar, seni kontemporer dapat mewujud sebagai gagasan. Dapat dipraktikkan melalui tubuh, tersisip dalam interaksi, berbasis waktu, dan menjadi sementara. Dikaitkan dengan teknologi komputasi, seni rupa kontemporer juga bisa terabstraksi sebagai kode biner.
Belum lama dunia seni dikejutkan peristiwa seni rupa ”pisang diplakban” yang dipamerkan di ruang pamer Galeri Perrotin untuk Art Basel di Miami Beach, Amerika Serikat (AS). Sebuah pisang dalam dimensi kesementaraan ditampilkan dengan cara diplakban di dinding ruang pamer oleh seniman kontroversial Maurizio Cattelan asal Italia.
Kehebohan terjadi ketika ada seorang kolektor bersedia membeli karya itu dengan harga fantastis, 120.000 dollar AS. Pisang diplakban pun menjadi dunia gagasan instalasi seni rupa kontemporer yang mengandung pesan dan tidak melawan kesementaraan.
Menurut Wiyu, instalasi pisang diplakban itu sebagai pesan antikomersialisasi atau antikomodifikasi seni. Karya seni ini sebagai karya konseptual yang tidak mudah dan sederhana untuk dibedah pesannya. Namun, serumit-rumitnya karya seni kontemporer itu tetap mengingatkan adanya dunia pesan yang harus diraih dan sebisa mungkin bermanfaat bagi masyarakat.