Sebagian warga masih akrab dengan risiko pemicu kanker. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran bahaya kanker, masih belum mendorong warga melakukan pencegahan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Kasus kanker terus meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagian besar masyarakat sudah sadar akan ancaman kanker. Namun ini tidak mendorong tiap orang melakukan pencegahan, apalagi deteksi dini. Faktor risiko pemicu kanker lebih sering dilakukan, mulai dari pola hidup tidak sehat, kurang aktivias fisik, merokok, dan konsumsi makan berlebihan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, kematian akibat kanker naik dari 7,6 juta jiwa tahun 2008 menjadi 9,5 juta jiwa pada 2018. Kanker trakea, bronkus, dan paru-paru termasuk jenis kanker terbanyak penyebab kematian. Di Asia Tenggara, pada 2018 Indonesia menempati urutan pertama jumlah penderita baru kanker, yakni 348.809 orang, terutama kanker payudara, serviks, paru-paru, hati, dan nasofaring.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar yang diolah Litbang Kompas, prevalensi kanker di Indonesia naik dalam lima tahun terakhir. Pada 2013, prevalensi kanker di Indonesia 1,4 per 1.000 penduduk dan naik menjadi 1,79 per 1.000 penduduk pada 2018. Sejumlah provinsi dengan prevalensi kanker tertinggi meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat, Gorontalo, DKI Jakarta, dan Bali.
Beban negara dalam pembiayaan kanker juga tinggi. Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan 2018, pembiayaan kanker menempati urutan kedua setelah jantung dari lima penyakit katastropik tertinggi, yakni mencapai Rp 3,4 triliun.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo yang juga Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) di Jakarta, Minggu (2/2/2020), dalam rangka Hari Kanker Sedunia yang diperingati setiap tanggal 4 Februari menyampaikan, beban biaya pengobatan kanker yang tinggi salah satunya disebabkan deteksi dini amat kurang. Padahal, apabila kanker ditemukan sejak dini, pada stadium awal, terapi lebih mudah diberikan dan memberi kesembuhan bagi pasien.
“Negara berkembang seperti Indonesia, upaya deteksi dininya belum berjalan baik. Lebih dari 70 persen pasien datang ke dokter dengan keluhan kanker sudah pada stadium lanjut, yakni pada stadium 3 dan stadium 4. Ini memprihatinkan karena bisa mengganggu produktivitas mereka, bahkan membebani negara,” tuturnya.
Negara berkembang seperti Indonesia, upaya deteksi dininya belum berjalan baik. Lebih dari 70 persen pasien datang ke dokter dengan keluhan kanker sudah pada stadium lanjut.
Anik Ismawati (37), ibu tunggal dari empat anak, yang tinggal di Surabaya, misalnya, divonis menderita kanker payudara stadium empat. Sejak mengalami kelumpuhan tiga bulan terakhir, keluarga ini ditopang belas kasihan tetangga dan pemerintah daerah setempat. Tiga tahun lalu muncul benjolan di payudara, tetapi diabaikan karena menganggap tak berbahaya.
Menurut Aru, gejala awal pada tubuh perlu diwaspadai dan ditelusuri lebih lanjut seperti ada benjolan yang tidak hilang dalam waktu lama, penurunan berat badan signifikan tanpa upaya diet, ada nyeri yang tidak kunjung hilang di bagian tubuh, serta pendarahan di tempat dan waktu yang tidak lazim seperti darah menstruasi yang tidak normal.
“Hal ini perlu diedukasi ke masyarakat sehingga kanker bisa disembuhkan. Kanker bisa diobati dan sembuh jika ditemukan pada stadium dini, yakni stadium 1 dan stadium 2. Sayangnya masyarakat lebih cenderung menyangkal adanya gejala-gejala tersebut,” kata Aru.
Kanker merupakan gangguan pada tubuh akibat pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel tubuh. Sel kanker ini dapat menyebar atau bermutasi ke bagian tubuh lain sehingga bisa menyebabkan kematian. Beberapa jenis kanker bisa datang tanpa diketahui gejala awal. Namun, ada pula jenis kanker yang bisa dideteksi lebih dini, seperti kanker payudara yang ditandai adanya benjolan tidak normal di area payudara, kanker leher rahim atau serviks, kanker usus besar atau kolorektal, dan kanker paru.
Meski bisa dideteksi dini, sebagian besar jenis kanker tersebut merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada masyarakat. Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) pada 2018, kanker pada perempuan di Indonesia paling banyak ditemukan untuk kasus kanker payudara dengan kejadian 42,1 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 17 per 100.000 penduduk. Pada urutan kedua terbanyak pada kejadian kanker serviks pada perempuan 23,4 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 13,9 per 100.000 penduduk.
Sementara, kejadian kanker pada laki-laki di Indonesia paling banyak ditemukan kasus kanker paru, yakni 12,4 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 10,9 per 100.000 penduduk. Kasus terbanyak kedua yakni kanker kolorektal sebanyak 12,1 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 6,9 per 100.000 penduduk.
Deteksi dini
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie menyampaikan, pemerintah telah mendorong peningkatan deteksi dini pada kanker melalui sejumlah program kesehatan. Setidaknya, program deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks sudah bisa diakses masyarakat di fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas.
Adanya layanan sadanis (pemeriksaan payudara klinis) sudah diberikan di seluruh puskesmas. Selain itu, layanan deteksi dini kanker serviks dengan metode inspeksi visul dengan asam asetat (IVA) atau metode pap smear juga bisa didapatkan masyarakat. “Belum semua masyarakat, terutama perempuan memaksimalkan layanan deteksi dini ini,” tuturnya.
Sejumlah tantangan yang dihadapi dalam upaya peningkatan deteksi dini kanker pada masyarakat antara lain, budaya dan kepercayaan masyarakat untuk menjalani pengobatan alternatif serta anggapan masyarakat yang merasa tidak perlu melakukan deteksi dini jika tidak ada keluhan. Akibatnya, masyarakat baru datang ke fasilitas kesehatan setelah kondisi kankernya memburuk.
Selain itu, pemerintah sudah memberikan fasilitas pemberian vaksin human papillovirus (HPV) untuk mencegah adanya kanker serviks. Sebagai langkah awal, kini sudah ada enam kota yang menjalani program vaksi HPV untuk anak usia 11-12 tahun. Harapannya, upaya ini bisa dilanjutkan oleh seluruh pemerintah daerah untuk menjaga kesehatan masyarakatnya.
Gaya hidup
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono menuturkan, pengobatan kanker saat ini semakin maju dan lebih baik. Meski begitu, pencegahan kanker sejak dari hulu lebih baik untuk dilakukan. Pencegahan itu mulai dari cara yang sederhana yakni dengan menjalani gaya hidup yang sehat.
Beberapa cara yang bisa dilakukan dengan rutin melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit sehari, tidak merokok, mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang dengan kandungan sayur dan buah yang cukup, serta menjaga berat badan ideal.
Selain itu, masyarakat juga harus menghindari makanan yang bersifat karsinogenik atau yang bisa memicu kanker. Itu seperti makanan dengan kandungan zat pengawet. Hal lainnya adalah mengurangi bahkan menjauhi konsumsi makanan cepat saji.
Aru mengatakan, tiga hal utama dalam pencegahan seperti olahrga, konsumsi makanan yang sehat, serta menjaga berat badan yang ideal bisa mengurangi kemungkinan seseorang mengalami kanker sebanyak 35 persen. Hal ini akan semakin besar jika seseorang tersebut berhenti merokok dan menghindari hal-hal yang bersifat karsinogenik.
“Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan terutama yang ada di garda terdepan di puskesmas harus ditingkatkan dalam mendeteksi kanker. Kewaspadaan akan kanker harus dibentuk dari dua pihak, baik dari masyarakat maupun tenaga kesehatan,” ujarnya.