Indonesia-Turki Matangkan Peningkatan Kerja Sama Dagang 10 Kali Lipat
›
Indonesia-Turki Matangkan...
Iklan
Indonesia-Turki Matangkan Peningkatan Kerja Sama Dagang 10 Kali Lipat
Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki (IT CEPA) putaran ke-4 baru saja selesai. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan perdagangan barang sebesar 10 miliar dollar AS pada 2023.
Oleh
erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan Turki terus mematangkan perkuatan kerja sama melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki. Perjanjian itu menargetkan total perdagangan kedua negara dapat meningkat sampai sepuluh kali lipat pada 2023.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Senin (3/2/2020), menyampaikan, perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki (IT CEPA) putaran ke-4 baru saja selesai. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan perdagangan barang sebesar 10 miliar dollar AS pada 2023.
”Kami meminta dukungan para pelaku usaha Turki untuk mendorong Pemerintah Turki mempercepat penyelesaian IT CEPA. Dengan demikian, para pelaku usaha dari kedua negara bisa mendapatkan tarif khusus ke kedua pasar,” kata Jerry seusai bertemu dengan 30 pelaku usaha Turki di Kayseri, Turki, Sabtu (1/2/2020).
Kami meminta dukungan para pelaku usaha Turki untuk mendorong Pemerintah Turki mempercepat penyelesaian IT CEPA.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhammad Iqbal, Konsul Kehormatan Turki untuk RI Tahir Nursacan, dan Atase Perdagangan di Turki Eric Nababan.
Kementerian Perdagangan mencatat, Indonesia surplus atas Turki sebesar 733,73 juta dollar AS. Pada Januari-November 2019, total perdagangan Indonesia-Turki sebesar 1,38 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke Turki mencapai 1,05 miliar dollar AS. Adapun impor Indonesia dari Turki sebesar 321,23 juta dollar AS.
Produk ekspor utama dari Indonesia ke Turki antara lain minyak kelapa sawit, karet, fiber, benang, dan bubur kertas. Sementara produk ekspor utama Turki ke Indonesia antara lain minyak, tembakau, borat dan karbonat, bijih kromium dan konsentrat, serta perangkat telepon.
Dalam pertemuan tersebut, Jerry mengatakan, minyak kelapa sawit (CPO) berperan penting bagi terbukanya lapangan pekerjaan dan penurunan angka kemiskinan. Minyak kelapa sawit adalah sumber pendapatan langsung dan tidak langsung bagi 16,5 juta penduduk Indonesia.
”Minyak kelapa sawit tidak sekadar produk ekspor, tetapi merupakan representasi dari perdagangan, alam, dan budaya Indonesia,” ujarnya.
Bagi negara-negara mitra, seperti Turki, CPO merupakan komoditas yang sangat penting bagi industri pengolahan, seperti produk perawatan dan kosmetik, serta makanan dan minuman.
Produktivitas CPO juga terbesar dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. CPO juga menjadi sumber lapangan pekerjaan bagi banyak negara, termasuk Turki.
Peluang investasi
Selain perjanjian dagang, Indonesia dan Turki dinilai perlu memperkuat kerja sama investasi, termasuk pariwisata. Kondisi geosentris di antara keduanya, yang sama-sama masuk dalam 20 negara ekonomi terbesar di dunia, terbilang strategis.
Bagi Indonesia, Turki adalah hub untuk masuk ke pasar kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Sementara bagi Turki, Indonesia, yang memiliki pasar besar, juga menjadi hub untuk masuk ke pasar Asia Tenggara yang memiliki penduduk sekitar 600 juta jiwa.
Menurut Jerry, dari potensi yang besar itu, perdagangan, baik barang maupun jasa, serta investasi kedua negara saat ini masih terbilang sangat kecil. ”Masih banyak potensi yang bisa terus digali untuk meningkatkan perdagangan dan investasi kedua negara, termasuk dalam IT CEPA,” katanya.
Masih banyak potensi yang bisa terus digali untuk meningkatkan perdagangan dan investasi kedua negara, termasuk dalam IT CEPA.
Direktur Perundingan Bilateral sekaligus pemimpin delegasi Indonesia dalam IT CEPA, Ni Made Ayu Marthini, menambahkan, dalam IT CEPA, Indonesia-Turki membahas berbagai isu terkait perdagangan barang. Hal itu antara lain akses pasar, draf teks bea cukai dan fasilitas perdagangan (CTF), perlindungan produk dalam negeri atau trade remedies, hambatan teknis perdagangan (TBT), sanitasi dan fitosanitasi (SPS), serta isu legal perjanjian.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dalam empat tahun terakhir, ada sembilan perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Selain itu, ada dua perjanjian internasional dalam proses ratifikasi, lima perjanjian akan ditandatangani, dan satu perjanjian mendekati penyelesaian (Kompas, 7/12/2018).
Perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian perdagangan bebas (FTA), perjanjian tarif preferensial (PTA), perdagangan jasa dan investasi, serta kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA).
Perjanjian-perjanjian tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama di sektor perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi. Melalui perjanjian itu pula Indonesia dapat menurunkan defisit neraca perdagangan dan memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 defisit sebesar 3,19 miliar dollar AS atau Rp 43,98 triliun. Nilai ekspor Indonesia pada Januari-Desember 2019 turun 6,94 persen dari periode sama 2018 menjadi 167,53 miliar dollar AS. Adapun nilai impor pada 2019 juga turun 9,53 persen menjadi 170,72 miliar dollar AS.