Kepala Daerah Berperan Penting Wujudkan Komunitas Mandiri Siaga Bencana
›
Kepala Daerah Berperan Penting...
Iklan
Kepala Daerah Berperan Penting Wujudkan Komunitas Mandiri Siaga Bencana
Komunitas mandiri seperti keluarga tangguh bencana dan desa tangguh bencana perlu disiapkan untuk menghadapi bencana. Namun, efektivitas mereka tergantung dari kepala daerah untuk memberdayakannya.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Efektivitas komunitas mandiri seperti keluarga tangguh bencana dan desa tangguh bencana amat tergantung dari peran kepala daerah. Ada berbagai sumber pendanaan desa yang dapat mendukung penguatan kapasitas masyarakat menghadapi bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah meluncurkan program Keluarga Tangguh Bencana (Katana) dan Desa Tangguh Bencana (Destana) pada tahun lalu. Kedua program ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan kapasitas kepada masyarakat tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Menurut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, efektif atau tidaknya Katana dan Destana akan sangat ditentukan oleh komitmen kepala daerah. Kepala daerah mesti turut berperan dalam mengenali kerentanan bencana di wilayahnya dan hal-hal apa yang perlu disiapkan.
”Efektif sekali jika semua mau menggerakkan, terutama kepala daerah karena memiliki kekuatan dan sistem yang mudah dijalankan,” katanya dalam diskusi panel ”Sosialisasi Katana dan Edukasi Kebencanaan” dalam rapat koordinasi nasional di Bogor, Senin (3/2/2020).
Jawa Tengah, menurut Ganjar, siap mengimplementasikan program ini. Untuk memberikan pengaruh yang lebih luas, setiap hari ia akan menggunakan media sosial untuk memperkenalkan materi dalam modul yang telah disiapkan oleh BNPB. ”Di sisi lain, ada potensi kelompok masyarakat yang bisa digerakkan, seperti kelompok pengajian, karang taruna, atau PKK,” lanjutnya.
Ganjar mengatakan, program serupa sudah diterapkan di Jawa Tengah melalui beberapa desa di kaki Gunung Merapi. Program ini dinamakan ”Sister Villages”, yakni keluarga-keluarga di kedua desa tersebut saling berkenalan satu sama lain.
Jika salah satu dari dua desa tersebut mengalami bencana, keluarga di desa pasangannya bersiap menerima keluarga desa terdampak. Dari situ, pengungsi nantinya akan berbagi pengalaman mengenai cara menyelamatkan diri. ”Contoh lainnya juga ada sekolah sungai di Kabupaten Klaten, di mana sekolah tersebut mengajarkan kesiapsiagaan di hulu,” kata Ganjar.
Gempa Kobe
Deputi Bidang Pencegahan BNPB Lilik Kurniawan mengatakan, setidaknya terdapat 51 juta keluarga di Indonesia yang saat ini tinggal di kawasan rawan bencana alam. Belajar dari gempa bumi yang terjadi di Kobe, Jepang, pada 1995, ia menyebutkan, sebanyak 97 persen masyarakat yang selamat saat itu diselamatkan oleh diri sendiri, keluarga, dan tetangga. ”Petugas penyelamat baru datang beberapa hari kemudian. Untuk itu, komunitas masyarakat perlu diperkuat,” katanya.
Selain itu, Lilik menambahkan, dari hasil survei yang dilakukan BNPB sejak 2008, banyak korban bencana alam ditemukan di permukiman atau rumah. Lokasi selanjutnya ialah pusat layanan kesehatan, sekolah, pasar, perkantoran, rumah ibadah, dan fasilitas publik.
Dari dua alasan tersebut, BNPB menyusun strategi untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana melalui Katana dan Destana. Diharapkan budaya sadar bencana dapat terbangun pada semua keluarga, khususnya yang berada di wilayah rawan bencana. ”Pada saat bencana, mereka mampu menyelamatkan diri. Seusai bencana, mereka mampu bangkit kembali,” ujar Lilik.
Mandiri mencari dana
Sementara itu, Ganjar mengatakan, dalam membangun budaya kesiapsiagaan bencana, hendaknya pemimpin daerah dapat melakukan inovasi dan kreasi dalam mencari sumber pendanaan. ”Tinggal sejauh mana upaya para pemimpin yang dipercaya oleh rakyat, seperti kepala desa, bupati hingga gubernur,” ucapnya.
Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Desa pada Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Budi Antoro mengatakan, dalam upaya penanggulangan bencana, pemerintah desa bisa memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Tidak hanya dari dana desa, APBDes tersebut bisa diperoleh dari berbagai sumber.
Misalnya, pendapatan asli desa yang berasal dari badan usaha milik desa atau penyewaan aset. Selain itu, desa juga bisa mendapatkan penghasilan dari bagi hasil pajak daerah. Setiap desa berhak mendapatkan 10 persen dari penarikan pajak dan retribusi dari pemerintah daerah, seperti pajak restoran, pajak reklame, atau retribusi parkir.
”Ada juga bantuan dari APBD provinsi dan kabupaten dan sumbangan dari CSR (tanggung jawab sosial perusahaan),” lanjutnya.
Pada Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dijelaskan bahwa belanja desa bisa digunakan untuk pembinaan kemasyarakatan desa.