Intoleransi di sejumlah daerah di Indonesia merepresentasikan relasi kuasa tidak seimbang berbasis sentimen agama. Perspektif mayoritarianisme harus dihindari karena bisa membuat
Oleh
Rini Kustiasih dan Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Fenomena perusakan tempat ibadah dan ancaman terhadap kebebasan beribadah dan berkeyakinan di Tanah Air beberapa tahun terakhir merepresentasikan ketimpangan relasi kuasa yang didasari sentimen agama.
Kondisi ini diperberat aturan yang berpotensi memperuncing ketimpangan karena ukuran yang dipakai bukan penghargaan dan jaminan atas hak beribadah dan berkeyakinan. Dalam kondisi ketimpangan relasi kuasa itu, umat beragama apa pun rentan jadi korban.
Perusakan Mushola Al-Hidayah di Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, pekan lalu menambah catatan buruk kebebasan beragama di Tanah Air. Mushola Al-Hidayah itu masih dalam proses perizinan. Polisi menetapkan tiga warga sebagai tersangka perusakan.
Sebelum itu, pertengahan Januari 2020, muncul penolakan izin pendirian Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Sampai sekarang, kasus perizinan gereja GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia, Bekasi, juga belum tuntas.
“Tindakan itu mencerminkan relasi kuasa yang timpang dalam hubungan antarumat beragama di Tanah Air. Ini bukan merujuk satu agama tertentu, karena Islam, misalnya, sekalipun mayoritas, tetapi di wilayah lain di Indonesia, adalah minoritas. Karena itu, sikap intoleransi ini mencerminkan bagaimana pentingnya kelompok minoritas di mana pun di Indonesia dilindungi dan dijamin hak-haknya oleh negara,” kata Alamsyah Djafar, peneliti Wahid Foundation, Minggu (2/2/2020) di Jakarta.
Laporan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan 2018, Wahid Foundation, menunjukkan, perusakan rumah ibadah merupakan satu dari 10 tindakan intoleransi yang menonjol. Selain perusakan, pembatasan, penutupan atau penyegelan juga masuk 10 besar.
Sinyal persoalan intoleransi juga muncul dari Indeks Demokrasi, The Economist Intelligence Unit tahun 2019. Dari lima komponen yang dinilai, Indonesia mendapat nilai terrendah di aspek kebebasan sipil, yakni 5,59. Dalam skala 1-10, makin mendekati 10 makin baik kondisinya. Aspek kebebasan sipil mencakup sejumlah indikator, termasuk toleransi dan kebebasan beragama, diskriminasi berbasis agama dan rasial. Selain itu, juga ada indikator kebebasan berpendapat, dan kesamaan di mata hukum.
Alamsyah mengatakan, hak beragama dan izin pendirian rumah ibadah semestinya tak didasarkan pada kuantitas tertentu, yang berpotensi memicu ketimpangan relasi kuasa.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah, misalnya, antara lain mengatur pendirian rumah ibadah harus disetujui 60 persen warga sekitar, dan memiliki 90 jamaah atau umat yang menandatangani pendirian rumah ibadah.
“Dalam kajian kami, persetujuan warga sekitar diberikan, tapi lalu ada penolakan dari warga lain yang tidak tinggal di lingkungan itu. Pada beberapa kasus, warga yang menolak lalu menyoal persetujuan warga lainnya karena dinilai ada suap dan intimidasi. Ini akhirnya jadi persoalan,” katanya.
Tinjau ulang
Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menilai, pemerintah perlu meninjau ulang PMB tentang Rumah Ibadah agar tak melanggar prinsip kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah. “Perlu dirumuskan aturan yang selaras dengan Undang-Undang Dasar dan standar hak asasi manusia internasional,” kata Alissa.
Alissa mengatakan, dalam menata kehidupan beragama, perlu menggunakan kacamata yang lebih besar, bukan mengenakan kacamata daerah yang akan terjebak pada perspektif mayoritarianisme yang bertolak dari kepentingan kelompok mayoritas.
Menurut Peneliti Setara Institute Bonar Tigor, PBM Rumah Ibadah sudah seharusnya direvisi. Dorongan agar adanya evaluasi itu sudah disuarakan sejak lama, mengingat angka kasus pelarangan rumah ibadah di berbagai daerah di Indonesia terhitung tinggi.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Nifasri mengatakan, persoalan mendasar terletak pada sosialisasi yang kurang efektif terkait PBM itu, sehingga penerapannya kerap jadi problematik. Ia mengatakan, sebenarnya PBM itu sudah tepat, tetapi persepsi pasal demi pasalnya pada level implementasi belum dipahami dengan sama di berbagai daerah.
Dia mengatakan, sudah ada beberapa masukan untuk mengevaluasi PBM tersebut. Ke depan, pemerintah sedang membahas tiga opsi untuk mengatasinya, yakni mengevaluasi dan merevisi PBM; mengembangkannya lewat peraturan lebih tinggi; atau menurukannya dalam bentuk petunjuk teknis.