Salahuddin Wahid, Sosok Pemersatu dari NU Itu Akhirnya Berpulang
›
Salahuddin Wahid, Sosok...
Iklan
Salahuddin Wahid, Sosok Pemersatu dari NU Itu Akhirnya Berpulang
KH Salahuddin Wahid, adik Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid, berpulang, Minggu (2/2/2020). Selama hidupnya, KH Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah dikenal sebagai sosok pemersatu bangsa dari NU.
Oleh
Insan Alfajri/Mohammad Bakir/Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid tutup usia, Minggu (2/2/2020) malam, di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Ia dikenal sebagai kiai yang punya integritas.
Putra sulung almarhum, Irfan Asy’ari Sudirman Wahid atau akrab disapa Ipang Wahid, menjelaskan, ayahnya tutup usia pada Minggu malam pukul 20.55. Ipang sempat berkomunikasi dengan ayahnya pada Jumat kemarin, beberapa saat menjelang operasi jantung.
Dalam percakapan itu, Gus Sholah, panggilan akrab Salahuddin Wahid, masih memikirkan tentang kondisi umat dan kemajuan pesantren. Ayah tiga anak ini juga masih sempat berbincang terkait pembuatan film Jejak Langkah Dua Ulama.
”Tetapi, sayang, beliau tidak sempat menontonnya,” katanya.
Dia melanjutkan, Gus Sholah merupakan orang idealis, jujur, sederhana, dan berintegritas. ”Beberapa waktu lalu ia masih sempat menulis di Kompas tentang Nahdlatul Ulama. Ia membuat tulisan tersebut di gawainya,” katanya. Tulisan opini terakhir Gus Sholah di Kompas itu berjudul Refleksi 94 Tahun NU yang terbit 27 Januari lalu.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj yang turut menjenguk ke rumah sakit menjelaskan, Gus Sholah memiliki pembawaan tenang dan punya prinsip. Ia ikhlas dan tanpa pamrih. Di tangannya, Pesantren Tebu Ireng semakin maju.
Dia melanjutkan, Gus Sholah juga merupakan kiai yang rutin menulis. Tak jarang beberapa tulisannya mengkritik NU. ”Memang harus ada yang kritis terhadap NU supaya seimbang,” katanya.
Sementara itu, mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, mengatakan, yang berduka tidak hanya keluarga besar Pesantren Tebu Ireng. ”Kita semua, bangsa ini, turut merasakan kehilangan atas wafatnya beliau,” katanya.
Beliau adalah salah satu tokoh yang merupakan obor persatuan. Ketika obor padam, sulit sekali dicari penggantinya. Ini kehilangan yang besar. Beliau selama hidupnya banyak memberikan teladan persatuan, kerukunan tanpa membeda-bedakan, termasuk dengan umat beragama lain.
Politisi Golkar, Nusron Wahid, mengingat Gus Sholah sebagai kiai yang berdisiplin. ”Biasanya kiai NU itu tidak disiplin waktu. Gus Sholah itu figur kiai NU yang berdisiplin soal waktu. Itu patut kita tiru,” katanya.
Sebagai alumnus Institut Teknologi Bandung, lanjut Nusron, Gus Sholah merupakan kiai yang cukup memperhatikan gagasan tentang perlunya NU berkecimpung di ranah teknokrasi. Akan tetapi, memang ide tersebut belum begitu mendapat panggung.
Pada 2017 lalu, Nusron pernah menunaikan ibadah haji bersama Gus Sholah. ’Di situ banyak diskusi tentang perlunya gagasan teknokrasi di NU. Tentang perlunya kader NU berpartisipasi di sektor energi, pangan, dan telekomunikasi,” katanya.
Setelah dimandikan di rumah sakit, almarhum dibawa ke rumah duka di Jalan Kapten Tendean, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pada Senin (3/2/2020) pagi, jenazah akan akan dibawa ke Jombang, Jawa Timur. Gus Sholah akan dimakamkan di Tebu Ireng, di samping makam kakaknya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Obor persatuan
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini, Minggu, di Jakarta, mengatakan, NU dan Indonesia kembali berduka. Salahuddin Wahid atau Gus Sholah ibarat obor yang selama ini tak henti menyalakan semangat perdamaian dan kerukunan antarwarga bangsa. Berpulangnya Gus Sholah merupakan kehilangan besar bagi bangsa ini.
”Beliau adalah salah satu tokoh yang merupakan obor persatuan. Ketika obor padam, sulit sekali dicari penggantinya. Ini kehilangan yang besar. Beliau selama hidupnya banyak memberikan teladan persatuan, kerukunan tanpa membeda-bedakan, termasuk dengan umat beragama lain. PBNU sangat berduka,” kata Helmy.
Kepergian Gus Sholah meninggalkan pesan mendalam karena sebelumnya Gus Sholah menulis artikel di Kompas yang menyerukan NU kembali kepada khittah. Helmy mengatakan, tulisan tersebut antara lain menjadi pesan terakhir Gus Sholah yang akan berupaya terus diikuti. Bahkan, pemikiran Gus Sholah itu secara khusus juga akan dibahas di dalam muktamar NU di Lampung.
”Sebagai keluarga Tebuireng, ini tentu kehilangan besar. Selama ini beliau yang mengampu pondok pesantren dan meneruskan mendidik para santri. Sebagai keluarga, kami memohon doa kepada semua warga Indonesia bagi almarhum Gus Sholah,” kata salah seorang kerabat Gus Sholah, KH Agus Zaki Hadzik.
Zaki mengatakan, untuk sementara dalam suasana duka, pengelolaan pesantren akan ditangani oleh wakil pengasuh Ponpes Tebuireng, yang juga keponakan Gus Sholah, yakni KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin.
Kritis dengan siapa pun
Dikenal kritis terhadap siapa pun, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Shalahuddin Wahid, sering kali menjadi rujukan anak muda di lingkungan NU. Bahkan, kepada sang kakak, KH Abdurrahman Wahid, Gus Sholah juga kritis.
”Meski diam-diam, beliau sering kali mengkritisi kebijakan Gus Dur sebagai presiden. Tetapi, kritik bukan asal kritik, melainkan kritik membangun,” ujar Mashudi Mochtar, mantan Sekretaris PWNU Jatim, yang juga alumnus Pesantren Tebuireng ini.
Selain kritis, Gus Sholah sering menjadi titik temu di antara beragam kelompok di lingkungan NU. Dengan gaya bicara yang santun, Gus Sholah diterima hampir semua kelompok, baik politik, konservatif, maupun liberal, di tubuh NU. Bahkan, beliau sering menjadi mediator untuk menyambungkan para kiai yang berbeda pandangan.
Sering dikritik kurang mendalami ilmu-ilmu keislaman, Gus Sholah tak lalu surut dan kecil hati. Bahkan, beliau menerima tongkat estafet kepemimpinan Pesantren Tebuiring pada saat tak ada satu pun dari keturunan (dzurriyah) KH Wahid Hasyim mau kembali ke Jombang. Di tangan beliau, Pesantren Tebuireng maju pesat dan terus melakukan inovasi.
Pada Muktamar NU 2015 di Jombang, Gus Sholah menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai markas pendukung KH Hasyim Muzadi dan kawan-kawan. Meski merasa dicurangi, toh Gus Sholah pada akhirnya menerima kepemimpinan KH Said Aqil Siroj. ”Semua ada batasnya,” kata Gus Sholah kepada Kompas suatu waktu.