Pemulihan lingkungan pascabencana banjir dan longsor di Kabupaten Bogor bagian barat dinilai penting. Namun, tak kalah penting, warga menanti hunian layak dan kepastian untuk kembali bercocok tanam.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Warga korban bencana banjir dan longsor di Kabupaten Bogor bagian barat, Jawa Barat, secara mandiri membangun hunian sementara. Mereka berharap Presiden Joko Widodo tidak hanya fokus pada pemulihan lingkungan, tetapi segera menyediakan hunian tetap sebab tempat pengungsian yang dihuni warga serba darurat dan tidak layak.
Berbekal sekop, cangkul, dan linggis, Iwan Setiawan (40), warga Pasir Walang II, mendirikan hunian semipermanen di lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di wilayah Pasir Walang. Hunian semipermanen ini untuk sejumlah pengungsi dari Kampung Nyomplong, Desa Kiarapandak. Sekitar 84 keluarga tak lagi bisa kembali ke kampungnya karena sudah ditetapkan sebagai daerah rawan bencana.
Iwan bergotong royong bersama pengungsi lain mengumpulkan kayu sisa longsoran. Selain itu, para sukarelawan juga membantu menyediakan semen untuk membangun hunian semipermanen. Sejak Minggu (26/1/2020) hingga Senin (3/2/2020) sudah terbangun 13 hunian. Tak jauh dari tempat Iwan mendirikan hunian semipermanen, hunian sementara berbahan terpal berjumlah 35 unit sudah terbangun.
”Kasihan jika harus tinggal di tenda, pasti panas. Sebelumnya mereka tinggal di tenda. Jadi kami sepakat mendirikan hunian semipermanen daripada hunian sementara yang menggunakan terpal. Kami bergerak sendiri, hanya dibantu sukarelawan. Sampai saat ini belum ada bantuan langsung yang datang selain sembako,” kata Iwan, Senin (3/2/2020).
Meski demikian, pengungsi tetap cemas karena hunian sementara mereka dibangun di lahan PTPN VIII. Mereka khawatir sewaktu-waktu dipermasalahkan dan diusir. Seperti yang diungkapkan Piah (32). Ia tak mau berlama-lama tinggal di hunian sementara dan berharap pemerintah segera menyediakan hunian tetap.
”Saya belum tahu mau dipindah ke mana. Jelas di kampung kami tidak mungkin. Kami pun tak tahu ke depan seperti apa. Kami tak mungkin terus mengandalkan bantuan dari sukarelawan. Kami harus tetap melanjutkan hidup,” kata Piah.
Iwan melanjutkan, kedatangan Presiden Joko Widodo sebenarnya sangat dinanti warga Kiarapandak, terutama para pengungsi yang meminta kejelasan hunian tetap dan berharap Presiden melihat kondisi hunian sementara yang ditempati pengungsi. Meski tak datang, ia berharap kedatangan Presiden di Desa Pasirmadang dan Harkatjaya berdampak positif bagi semua korban di sejumlah desa lain dan tidak hanya fokus pada pemulihan lingkungan.
”Pemulihan lingkungan dengan menanam vetiver atau tumbuhan lain tentu sangat penting. Namun, perlu pula memikirkan pemulihan warga seperti merealisasikan hunian tetap. Selain itu, bagaimana nasib perekonomian warga. Sawah dan ladang hancur. Mau bercocok tanam di mana, sementara tanah kami 11 hektar diklaim milik PTPN. Tolong ini menjadi perhatian Presiden,” tutur Iwan.
Nasib serupa dialami Yuyun (28), warga Kampung Sinar Harapan, Desa Harkatjaya. Ia bersama pengungsi lain sudah sebulan lebih sejak bencana longsor menyapu kampungnya mengungsi di tenda pengungsian milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Yuyun bersama suami, anak yang masih berusia 5 tahun, kedua orangtua, seorang keponakan berumur 2 tahun, dan empat adiknya harus berbagi ruang di tenda pengungsi bersama pengungsi lain.
Berdasarkan data terakhir 27 Januari 2020, pengungsi di Desa Harkatjaya berjumlah 30 keluarga atau 92 orang.
Lama tinggal di pengungsian membuat Yuyun dan sejumlah warga lain mulai tak betah karena kondisi panas saat siang hari dan menjadi sangat dingin pada malam hari. Kondisi tak kondusif seperti itu sangat berpengaruh terutama terhadap anak-anak. Anak Yuyun pun jatuh sakit, begitu pula keponakannya sudah lima kali sakit.
”Untungnya kebutuhan medis tidak ada halangan. Hanya saja jika terlalu lama di sini, tentu kami cemas dengan kondisi anak-anak. Saya berharap hunian tetap segera direalisasikan. Setidaknya bangunan semipermanen dulu. Hingga saat ini belum ada kepastian. Katanya, sih, kami akan direlokasi ke Kampung Parigi. Namun, belum tahu kapan. Kami juga takut ke depan seperti apa nanti, bagaimana kami akan menata hidup. Ladang kami hancur, semoga ada solusi. Minta tolong, Pak Presiden,” tutur Yuyun.
Yuyun beserta pengungsi lain dari Kampung Sinar Harapan tak lagi bisa tinggal di tempat asal mereka. Longsor meluluhlantakkan kampung mereka hingga menimbulkan korban jiwa sebanyak tujuh orang. Desa mereka pun ditetapkan sebagai zona merah atau zona rawan bencana.