Pemerintah menargetkan inflasi 2020 sebesar 3,1 persen, sedangkan Bank Indonesia pada kisaran 2-4 persen. Stabilitas harga dijaga agar inflasi tahun ini sesuai sasaran.
Oleh
Dewi Indriastuti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga kebutuhan pokok, terutama makanan, minuman, dan tembakau, perlu dicermati. Sebab, secara historis memiliki kecenderungan tetap untuk menjadi kontributor inflasi terbesar.
Kelompok yang tak kalah penting untuk dicermati adalah tarif jalan tol, tarif listrik, dan iuran BPJS Kesehatan. Itu karena kendati dampaknya kecil terhadap inflasi, efek psikologisnya bagi masyarakat perlu dijaga agar tidak menimbulkan efek terhadap pembentukan harga di pasar.
”Pemerintah, tim pengendalian inflasi pusat, dan tim pengendalian inflasi daerah perlu mencermati pergerakan harga ini,” kata Kepala Ekonom Bank BNI Kiryanto di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi Januari 2020 sebesar 0,39 persen. Kelompok bahan makanan, minuman, dan tembakau dengan tingkat inflasi 1,62 persen memiliki andil paling besar, yakni 0,41 persen.
Adapun kelompok transportasi justru mengalami deflasi 0,89 persen. Hal ini terjadi akibat tarif angkutan udara dan bensin yang turun.
BPS membandingkan, inflasi pada Januari 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan Januari 2019 yang sebesar 0,32 persen. Namun, lebih rendah daripada Januari 2018 yang sebesar 0,62 persen.
Kiryanto menambahkan, peran tim pengendalian inflasi (TPI) dan tim pengendalian inflasi daerah (TPID) sangat penting untuk memantau harga barang di pasar. Dengan cara itu, distorsi harga yang berpengaruh terhadap pencetus inflasi dapat dicegah.
”Maka, proyeksi inflasi 2020 yang berkisar 3 persen bisa dijaga sampai akhir tahun,” kata Kiryanto.
Inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada penurunan daya beli. Inflasi bisa terjadi akibat dorongan biaya dan peningkatan permintaan.
Jaga stabilitas
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko dalam siaran pers menyebutkan, BI akan terus konsisten menjaga stabilitas harga. ”Juga memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk memastikan inflasi 2020 tetap rendah dan stabil,” katanya.
Selalu defisit transaksi berjalan adalah alasan yang lebih utama dalam menurunkan suku bunga acuan BI.
Bank Indonesia menargetkan inflasi 2020 pada kisaran 2-4 persen.
Asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2020 manargetkan inflasi 3,1 persen. Adapun inflasi pada 2019 sebesar 2,72 persen.
Meski demikian, BI mencatat inflasi kelompok makanan yang harganya bergejolak sebesar 1,93 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan Desember 2019 yang sebesar 0,86 persen. ”Peningkatan ini antara lain akibat banjir di sebagian daerah sehingga memengaruhi produksi dan distribusi sejumlah komoditas makanan yang harganya bergejolak,” ujar Onny.
Komoditas yang harganya naik itu di antaranya cabai, ikan segar, minyak goreng, beras, bawang, kentang, dan tomat.
Sementara Kepala Ekonom BCA David Sumual menyebutkan, dengan mencermati sejumlah kondisi, inflasi sebenarnya bukan menjadi faktor utama dalam mendorong pelonggaran kebijakan moneter BI. ”Selalu defisit transaksi berjalan adalah alasan yang lebih utama dalam menurunkan suku bunga acuan BI,” kata David.
Ia menyebutkan, kekhawatiran akibat merebaknya virus korona tipe baru di China akan berdampak yang diperkirakan sementara. Selanjutnya, dampak berkurang jika kasus yang disebutkan Organisasi Kesehatan Dunia ini bisa dikendalikan dan ditekan.
Data neraca pembayaran Indonesia menunjukkan, transaksi berjalan defisit 7,665 miliar dollar AS atau 2,66 persen produk domestik bruto (PDB) pada triwulan III-2019. Pada 2017, transaksi berjalan defisit 16,196 miliar dollar AS, yang membengkak menjadi hampir dua kali lipatnya pada 2018, yakni 30,484 miliar dollar AS.