Target pertumbuhan ekonomi China terbuka kemungkinan untuk diturunkan akibat merebaknya virus korona jenis baru. Konsumsi dan rantai produksi telah terganggu.
Oleh
·4 menit baca
BEIJING, SENIN— Pejabat China dikabarkan tengah mengevaluasi apakah target pertumbuhan ekonomi tahun ini harus diperlunak di tengah aneka tekanan akibat merebaknya virus korona jenis baru. Lembaga riset Bloomberg Economics memperkirakan pertumbuhan ekonomi China bisa turun menjadi 4,5 persen pada triwulan pertama tahun ini.
Bloomberg melansir, Senin (3/2/2020), proyeksi pertumbuhan ekonomi tahunan biasanya diluncurkan pada Maret. Hal itu awalnya dimunculkan pada sesi legislatif setelah didukung oleh pimpinan pada Konferensi Kerja Ekonomi Pusat secara tertutup menjelang pergantian tahun.
Sebelum kasus virus korona jenis baru meledak, ekonomi China diproyeksikan tumbuh sekitar 6 persen sepanjang tahun ini. Angka proyeksi itu sendiri sebenarnya telah turun dari proyeksi tahunan 2019, yakni di kisaran 6-6,5 persen. Dua tahun terakhir, perekonomian China semakin tertekan akibat perang dagang China-Amerika Serikat.
Efek virus korona jenis baru diperkirakan bakal lebih besar secara global.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi China akan turun dari 6,1 persen pada 2019—paling lambat sejak 1990—menjadi 6 persen tahun ini dan 5,8 persen berikutnya. Perlambatan tersebut mencerminkan transisi China yang sulit dari pertumbuhan yang cepat, tetapi tidak berkelanjutan, menjadi pertumbuhan yang lebih mantap dan dibangun di atas tumpuan belanja konsumen kelas menengah negara yang sedang tumbuh.
Efek merebaknya virus korona jenis baru ini, sebagaimana diwartakan, menarik untuk dibandingkan dengan efek saat merebaknya SARS tahun 2002-2003. Wabah SARS kala itu melumpuhkan ekonomi China dan Hong Kong selama berminggu-minggu. Efek virus korona jenis baru diperkirakan bakal lebih besar secara global.
Selain karena jumlah orang yang terpapar lebih banyak dan respons oleh para pelaku industri di sejumlah sektor lebih panik, ekonomi dunia kini memiliki bobot ketergantungan yang semakin besar pada China. Pada 2003, China menyumbang 4 persen dari total produk domestik bruto (PDB) global. Menurut Bank Dunia, kini ekonomi China mencakup sekitar 16 persen dari PDB global.
”Perlambatan pertumbuhan di China dapat memiliki efek riak yang besar di seluruh Asia dan seluruh dunia, mengingat ukuran ekonomi China dan perannya sebagai pendorong utama pertumbuhan global dalam beberapa tahun terakhir,” kata Eswar Prasad, ekonom di Universitas Cornell dan mantan Kepala IMF Divisi China.
Secara sektoral dan dalam kerangka proses produksi, penundaan lebih lanjut dalam memulai kembali produksi di China diproyeksikan dapat menjadi sinyal gelombang kejut bagi pemasok-pemasok di Asia. Hal itu antara lain meliputi komponen, bijih besi, tembaga, dan komoditas lain dengan jaringan ke Australia, Brasil, dan Afrika.
Pemasok asing biasanya melihat adanya lonjakan pesanan dari China karena pabrik-pabrik mengajukan permintaan kembali setelah tutup selama 10 hari atau lebih selama liburan hari raya Imlek. Data teraktual terkait itu akan terlihat dalam beberapa waktu mendatang.
”Hilangnya hasil ekonomi bisa sangat besar dan itu memiliki konsekuensi untuk rantai pasokan manufaktur Asia karena pesanan tidak akan datang seperti yang diharapkan banyak orang,” kata Rajiv Biswas, Kepala Ekonom Asia pada lembaga IHS Markit.
Saham anjlok
Respons negatif investor tersaji di pasar keuangan China pasca-kembali dibukanya pasar keuangan negeri itu setelah perpanjangan libur Imlek, awal pekan ini. Indeks acuan Shanghai Composite Index anjlok 7,72 persen pada akhir perdagangan, ke level terendahnya dalam kurun waktu 4,5 tahun terakhir.
Modal investor 420 miliar dollar AS keluar dari pasar saham Shanghai kemarin. Yuan juga turun ke level terlemahnya pada 2020, meluncur melewati level 7 yuan per dollar AS.
Indeks saham MSCI seluruh dunia, yang menggambarkan saham di 47 negara, turun 0,2 persen pada awal pekan ini. Hal itu menyebabkan indeks itu menyentuh level terendah sejak 16 Desember. Indeks ini turun 1,3 persen sepanjang tahun ini.
Meskipun kerugian bagi China sangat besar, diperkirakan sebagian besar aksi investor itu merupakan gambaran dari tekanan jual yang telah meningkat selama liburan Tahun Baru Imlek, bukan cerminan dari ketakutan baru di kalangan investor. ”Pasar tampaknya bereaksi cukup masuk akal,” kata Manajer Portofolio Pala Asset Management David Nietlispach. ”Aksi-aksi itu seluruhnya terkait efek virus korona jenis baru. Namun, intervensi pemerintah sangat berat sehingga Anda akan melihat dampak pada ekonomi global.”
Efek bagi pasar keuangan di Asia lebih luas. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang turun untuk hari kedelapan berturut-turut. Indeks Nikkei Jepang turun 1 persen ke level terendah sejak November lalu. (AFP/REUTERS)