Pandeglang, Banten, adalah daerah terdampak tsunami Selat Sunda terparah pada akhir 2018. Setahun berlalu, mitigasi tsunami di wilayah ini belum berjalan. Padahal, pesisir Pandeglang masih rentan dari ancaman tsunami.
Sinar matahari mulai meredup saat ”Lampard” menggiring bola. Bukan di lapangan hijau, melainkan di dalam bangunan beralaskan tegel. Seusai mengecoh lawan yang menghadang, sepakan kerasnya berhasil menembus batas gawang yang ditandai dengan dua buah sandal.
”Gol!” teriaknya seusai mencetak gol, Sabtu (21/12/2019) sore. Tentu saja yang berteriak bukanlah Frank Lampard. Adalah Tegar yang mengenakan kostum sepak bola tim Chelsea berwarna biru bertuliskan ”Lampard” di bagian punggung. Bersama sejumlah temannya, Tegar asyik bermain sepak bola di lantai dua bangunan evakuasi (shelter) tsunami di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Terbagi dalam dua tim, enam bocah yang berusia rata-rata di bawah 10 tahun tersebut asyik bermain sepak bola di ruangan kosong tak berdinding seluas sekitar 50 meter x 50 meter itu. Ketika salah satu dari bocah-bocah ini menendang terlalu keras, bola pun keluar dari bangunan dan terjun bebas turun ke bawah. Permainan harus terhenti sementara. ”Kami hampir tiap sore main bola di sini. Enak, ruangannya luas. Sepi tidak ada yang ganggu,” ujar Tegar yang berusia delapan tahun.
Begitulah gambaran aktivitas tiap sore di lantai dua shelter tsunami tersebut. Aan (40), pedagang es kelapa muda di depan shelter, mengatakan, selain digunakan untuk main sepak bola anak-anak, selebihnya hampir tidak ada kegiatan di bangunan ini. Hanya sekali digelar simulasi terkait kebencanaan di gedung yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Selat Sunda tersebut.
Eneng (35), pedagang lain di sekitar shelter, mengakui bahwa bangunan untuk evakuasi tsunami tersebut tidak ada yang mengurus dan menjaganya secara khusus. Akibatnya, kerap kali digunakan sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk mengonsumsi minuman beralkohol.
”Karena enggak ada yang ngurus jadi anak-anak ini leluasa,” kata Eneng. Padahal, shelter tsunami hanya berjarak sekitar 50 meter dari kantor Polsek Labuan.
Tidak hanya itu, bangunan untuk evakuasi ini minim sentuhan perawatan dan pemeliharaan. Memiliki luas 2.456 meter persegi dengan tinggi 100 meter, bangunan tersebut kusam dan dipenuhi coretan di tembok. Terdapat enam bilik kamar mandi yang tidak berpintu, kloset rusak, dan tanpa air. Saat malam hari, tidak ada penerangan di bangunan ini.
Selain penuh coretan dan sampah, pada lantai teratas shelter sebagian lampu dan panel surya telah hilang. Adapun lantai dasar shelter digunakan untuk markas dinas pemadam kebakaran Kabupaten Pandeglang dan tempat pemberhentian angkutan kota. Dengan kata lain, shelter yang mampu menampung 3.000 jiwa tersebut mangkrak dan tidak siap dipakai lokasi evakuasi saat tsunami.
Pada saat tsunami menerjang pesisir Banten, termasuk Pandeglang, pada 22 Desember 2018, ribuan warga Labuan berbondong-bondong naik menyelamatkan diri ke shelter tsunami tersebut. Namun, mereka urung mengungsi di sana karena tidak ada penerangan dan air di kamar mandi.
Tsunami Selat Sunda yang melanda pesisir Banten dan Lampung tersebut menyebabkan 437 orang tewas, 41.132 jiwa mengungsi, dan ribuan bangunan rusak. Setahun berlalu pascatsunami, tetapi shelter masih terbengkalai. Mangkraknya shelter tersebut menunjukkan mitigasi tsunami di kawasan ini masih diabaikan.
Peneliti sekaligus Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Gegar Prasetya mengatakan, shelter seharusnya dirawat dan dimanfaatkan untuk kebutuhan publik selain untuk evakuasi tsunami agar masyarakat semakin sadar dengan fungsinya. ”Kalau tidak diurus dan tidak pernah digunakan, kan, masyarakat jadi tidak tahu gunanya apa. Jika tidak tahu, mana mungkin dia berlindung ke shelter kalau ada tsunami,” ujar Gegar.
Terkait dengan tata ruang, menurut Gegar, zona merah yang rawan terkena tsunami bisa saja didirikan bangunan. Hanya saja, keberadaan bangunan itu harus disertai desain bangunan yang didasarkan atas kajian risiko tsunami.
Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten M Juhriyadi mengatakan, selama setahun setelah tsunami, pihaknya sudah melakukan banyak hal. Ia mengatakan, pihaknya sudah membuat desa tangguh bencana di daerah-daerah yang pernah diterjang tsunami. Selain itu, pihaknya juga sudah memberikan pelatihan mitigasi dan evakuasi bencana kepada aparatur kecamatan dan desa.
”Pelatihan ini diharapkan agar warga dan aparatur tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana itu datang,” ucap Juhriyadi.
Selain peningkatan kesadaran warga dan aparatur, pihaknya juga telah membenahi infrastruktur dengan memperbanyak rambu-rambu penanda daerah rawan tsunami dan penanda arah jalur evakuasi. Tidak hanya itu, pihaknya membagikan radio komunikasi kepada aparat kecamatan dan desa.
Juhriyadi mengatakan, tanggung jawab pengelolaan shelter berada di bawah pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang. Pada tahun mendatang, pihaknya berencana menggunakan bangunan itu sebagai kantor sekretariat bersama posko penanggulangan dan pencegahan bencana di pesisir barat Banten.
Bupati Pandeglang Irna Narulita mengatakan, upaya mitigasi tsunami di Pandeglang masih terus berproses. Untuk bangunan evakuasi atau shelter tsunami, misalnya, pemerintah daerah mengupayakan agar dapat dikelola badan usaha milik desa (BUMDes) setempat agar shelter itu bermanfaat dan fungsinya sebagai bangunan evakuasi tsunami kian tertanam dalam benak warga.
Terkait dengan kondisi bangunan shelter yang tidak terurus, Irna mengakui, hal itu tidak terlepas dari gagalnya kegiatan lelang untuk instalasi listrik dan air. Ke depan, dia meminta shelter itu juga dijadikan sebagai kantor perwakilan BPBD Pandeglang selain dikelola BUMDes agar tetap dirawat.