Mariana Ibo Pulanda Menghidupkan Batik Papua
Selama seperempat abad, Mariana Ibo Pulanda (77) menekuni batik Papua.
Ia melatih banyak pembatik dari Papua dan menghasilkan batik tulis dengan beragam motif khas yang digali dari masyarakat Papua dari Sentani, Kabupaten Jayapura.
Tangan kiri Mariana Ibo atau biasa disapa Mama Ibo masih diperban pascaoperasi patah tulang. Namun, dalam kondisi seperti itu ia masih cekatan membimbing lima anak didiknya dari Kampung Ayapo yang sedang belajar membuat batik tulis di Sanggar Batik Sentani, Kelompok Putri Dobonsolo, Senin (26/1/2020) pagi.
Sejak lama, Mama Ibo secara sukarela mengajarkan kaum perempuan di kampungnya untuk menjadi pembatik. Kadang ia membagi bahan baku seperti kain, malam, atau pewarna secara cuma-cuma kepada para ibu. Ia ingin sekali para perempuan itu bisa jadi pembatik dan punya penghasilan sendiri sehingga tidak terlalu bergantung pada suami.
Saat ini, ada 15 ibu rumah tangga dari Kampung Ayapo yang bergabung sebagai pengrajin batik tulis Papua di sanggar itu. Di luar itu, ada banyak mama-mama Papua lainnya, siswa SMP/SMA, mahasiswa, Institut Seni Budaya Indonesia Papua, hingga wisatawan asing.
Hasil produksi batik tulis para ibu dengan aneka motif ini dijual di galeri batik Papua milik Mama Ibo yang ada di lantai dua Sanggar Batik Sentani. Kain batik ia jual Rp 100.000-Rp 300.000 bergantung panjangnya. Jika telah dijadikan gaun atau kemeja harganya antara Rp 500.000-Rp 1 juta. Uang itu dikembalikan kepada para mama pembatik. Di antara mereka ada yang mendapat penghasilan Rp 3 juta- Rp 4 juta per bulan.
"Saya selalu memberi nasihat bagi para pembatik di kelompok Putri Dobonsolo agar menyisihkan uang hasil penjualan batik untukbiaya pendidikan anak mereka," kata Mama Ibo yang kini berusia 78 tahun.
Perkenalan pertama
Mama Ibo pertama kali mengenal batik dan kebudayaan membatik dari sejumlah dosen yang datang dari Yogyakarta tahun 1962 ke Waena, Kota Jayapura. Kegiatan yang ini difasilitasi Pemprov Papua itu sangat menarik buat Mama Ibo karena saat itu masyarakat Papua masih awam dengan kebudayaan membatik.
"Pertama saya melihat kain batik dari Jawa ada perasaan takjub. Saya ingin Papua bisa mempunyai motif batik yang digali dari kebudayaan masyarakat sehari-hari," ujarnya.
Namun, kesempatan untuk berlatih membuat batik baru terwujud pada 1991. Saat itu, Pemerintah Provinsi Papua mendatangkan sejumlah pelatih batik tulis dari Yogyakarta. Mama Ibo dan 14 orang dari sejumlah kabupaten ikut dalam pelatihan itu. Sayangnya, pelatihan itu tidak berjalan maksimal karena salah satu mentor tidak mau memberikan materi campuran bahan untuk mewarnai batik.
Mama Ibo sempat kecewa namun tidak mengurungkan niatnya untuk belajar membatik. Tahun 1994, Mama Ibo bersama suaminya Hans Ibo pergi ke Yogyakarta untuk belajar di salah satu mentor batik tulis bernama Siti Zaenab selama dua kali. Dalam satu kunjungan, Mama Ibo tinggal selama dua minggu. Selama itu, ia belajar cara menggambar motif, cara memilih kain berkualitas serta murah, serta memilih bahan pewarna yang aman.
Berbekal ilmu dari Yogyakarta, ia mengembangkan batik Papua sejak 1994 hingga saat ini. Selama kurun waktu itu, ia telah menghasilkan sekitar 60-an motif batik papua. Motif itu tidak hanya dari Sentani, tapi juga Sarmi, Asmat dan Waropen.
Setiap motif memiliki makna tersendiri. Motif Ro Bhe atau dua orang yang memegang gelang, misalnya melambangkan gotong royong kampung adat. Motif Aye Hiyake melambangkan burung cenderawasih jantan di atas pohon bersiul memanggil sang betina.
Motif batik tulis yang diproduksi mama Ibo mengangkat simbol keseharian warga dan alam setempat, antara lain tifa, burung cenderawasih, tombak, perahu, sempe atau gerabah dari tanah liat untuk menyimpan makanan sagu dan ritual adat. "Terdapat 12 motif khas Kampung Ayapo yang telah dipatenkan agar tidak diklaim pembatik dari luar Sentani sebagai motif kebudayaan miliknya," ujar Mama Ibu.
Ia bersyukur kerja kerasnya mendapat bantuan dari pemerintah daerah setempat dan sejumlah instansi. Salah satu lembaga yang aktif membantunya adalah Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua. Institusi itu membantu menyediakan alat kerja, pelatihan, dan kesempatan untuk pameran di Jakarta.
Bencana
Perjalanan Mama Ibo mengembangkan batik papua tidak selalu mulus. Cobaan terbesar datang ketika bencana banjir bandang menghantam empat distrik atau kecamatan di Kabupaten Jayapura, yakni Sentani, Waibu, Sentani Barat dan Ravenirara pada 16 Maret 2019. Sebanyak 106 orang meninggal dunia, 153 orang luka berat, 768 luka ringan dan 17 orang belum ditemukan hingga kini.
Total kerugian akibat banjir bandang di Kabupaten Jayapura mencapai Rp 506 miliar. Fasilitas publik yang mengalami kerusakan, antara lain, 7 unit jembatan, jalan sepanjang 21 kilometer, 21 unit sekolah, 115 ruko dan 5 tempat ibadah.
Sementara itu jumlah rumah yang mengalami kerusakan meliputi 291 unit rusak berat, 209 unit rumah rusak sedang dan 1.288 unit rumah rusak ringan.
Mama Ibo turut menjadi korban dalam bencana alam ini. Sanggar yang menjadi tempat kerja untuk pembuatan batik dihantam banjir dan terendam sedimen lumpur hingga setinggi paha orang dewasa. Sejumlah bahan baku seperti pewarna, kain putih yang digambarkan motif batik Papua hilang dan meja kerja rusak dihantam banjir bandang.
Meskipun mendapat musibah banjir bandang, mama Ibo tak pernah berhentu menekuni pembuatan batik Papua. Ia tetap konsisten melanjutkan membatik dengan bahan baku seadanya sejak bulan November 2019.
"Saya ingin ada generasi muda di Papua yang terus melanjutkan kebudayaan ini. Karena itu, saya terus berbagi ilmu membatik kepada siapa pun yang membutuhkannya. Harus ada mama Ibo yang lain setelah saya," tuturnya.
Mariana Ibo Pulanda
Lahir: Kabupaten Jayapura, 22 Mei 1942
Suami: Hans Ibo
Pendidikan: SMA Katolik Taruna Bakti (lulus 1961)
Penghargaan: Piagam Siddhakarya Penghargaan Produktivitas Tahun 2018 untuk CV Batik Karya Putri Dobonsolo dari Kementerian Tenaga Kerja.