Perkuat Kewenangan BPTJ dalam Pengembangan Transportasi Jabodetabek Terintegrasi
›
Perkuat Kewenangan BPTJ dalam ...
Iklan
Perkuat Kewenangan BPTJ dalam Pengembangan Transportasi Jabodetabek Terintegrasi
Persoalan transportasi antarwilayah Jabodetabek menjadi terbengkalai karena tidak ada pihak mana pun yang merasa bertanggung jawab. Pemerintah daerah masing-masing cenderung saling lempar tanggung jawab.
Oleh
ayu pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewenangan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek atau BPTJ dalam pengembangan sistem transportasi perkotaan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi bisa lebih diperluas. Sebuah badan otoritas transportasi dibutuhkan untuk mengintegrasikan pengembangan transportasi perkotaan lintas administrasi dan sistem angkutan.
Saat ini, perkembangan sistem transportasi di Jabodetabek tidak merata. Perkembangan angkutan berbasis rel dan bus semakin maju di Jakarta. Sementara di daerah lain, transportasi umum masih cenderung berbasis jalan serta kualitas sarana dan layanannya tak senyaman Jakarta.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, Selasa (4/2/2010), berpendapat, tingkat kelembagaan BPTJ sebaiknya ditingkatkan hingga setara dengan lembaga kementerian. Kalau ini terjadi, BPTJ bisa menggerakkan semua kementerian dan lembaga pemerintah secara lebih efisien.
Saat ini, BPTJ merupakan badan di bawah Kementerian Perhubungan. Dengan posisi tersebut, sulit bagi BPTJ menyelesaikan masalah transportasi Jabodetabek.
”Masalah transportasi bukan hanya masalah satu kementerian/lembaga, tetapi menyangkut banyak kementerian/lembaga. Kelemahan kelembagaan dalam bentuk badan adalah kewenangannya terbatas sehingga sulit menggerakkan kementerian/lembaga lain,” ujarnya di sela-sela Rapat Koordinasi Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang digelar BPTJ di Jakarta.
Acara tersebut dibuka Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan dihadiri pejabat dan staf dari seluruh pemerintah daerah Jabodetabek.
Menurut Darmaningtyas, persoalan transportasi antarwilayah Jabodetabek menjadi terbengkalai karena tidak ada pihak mana pun yang merasa bertanggung jawab. ”Masing-masing (pemerintah daerah) saling lempar tanggung jawab. Akibatnya, kondisi jalan di wilayah perbatasan Jakarta rata-rata buruk,” ucapnya.
Persoalan transportasi antarwilayah Jabodetabek menjadi terbengkalai karena tidak ada pihak mana pun yang merasa bertanggung jawab. Masing-masing (pemerintah daerah) saling lempar tanggung jawab.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kennedy Simanjuntak menyatakan, penanganan persoalan transportasi di Jabodetabek memang masih kurang merata. Hal itu karena ada masalah batas administrasi serta kapasitas fiskal yang berbeda antarpemerintah daerah masing-masing.
Kennedy mencontohkan, angkutan moda raya terpadu (MRT) baru dibangun di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan belum tersedia di daerah sekitarnya. Hal tersebut salah satunya didukung dengan kemampuan fiskal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.
”Wilayah Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pun baru mampu mengembangkan sistem transportasi umum berbasis bus. Jadi, jauh sekali ketimpangan antardaerah,” katanya.
Untuk mengatasi ketimpangan itu, Kennedy berharap, sebuah lembaga otoritas transportasi yang memiliki kewenangan untuk merencanakan, membangun, dan mengoperasikan sistem transportasi perkotaan dapat dibentuk. Beberapa kota di negara maju, seperti New York, London, dan Chicago, telah memiliki lembaga itu dalam bentuk korporasi.
Lembaga itu memiliki kewenangan merencanakan, membangun, dan mengoperasikan sistem transportasi. Kewenangan lembaga itu tidak dibatasi wilayah administrasi.
”Pengembangan lembaga otoritas transportasi yang terdiri dari sejumlah pemerintah daerah akan diusulkan. Lembaga itu mengintegrasikan pengembangan transportasi perkotaan lintas administrasi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala BPTJ Polana B Pramesti menjelaskan, BPTJ hanya memiliki kewenangan terbatas mendorong pemerintah daerah melaksanakan RITJ. Dalam perencanaan yang berlangsung hingga 2029 itu, pergerakan orang dengan angkutan umum mencapai 60 persen dari total pergerakan orang di Jabodetabek.
”Memang kewenangan BPTJ perlu diperkuat, terutama agar bisa memberikan sanksi kepada operator dan memiliki fungsi cukup kuat untuk memastikan pemerintah daerah melaksanakan program yang dicanangkan dalam RITJ,” kata Polana.
Terkait kelembagaan BPTJ sebaiknya setara dengan kementerian, Polana mengaku belum bisa menentukan hal tersebut. Namun, dia menegaskan, pembangunan sistem transportasi Jabodetabek tidak bisa sepotong-potong dan harus terintegrasi.
”Saya berharap, BPTJ dapat memiliki kewenangan yang cukup signifikan agar transportasi Jabodetabek terhubung dengan baik,” kata Polana, yang dilantik menjadi Kepala BPTJ oleh Menteri Perhubungan pada 28 Januari 2020.