Sampel Babi yang Mati di Bali Telah Diuji di Medan
›
Sampel Babi yang Mati di Bali ...
Iklan
Sampel Babi yang Mati di Bali Telah Diuji di Medan
Balai Veteriner Medan telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel babi yang mati di Bali. Tujuannya, melihat penyebab kematian babi di Bali apakah karena demam babi Afrika atau bukan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Balai Veteriner Medan telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel babi yang mati di Bali. Hasilnya telah dikirim ke Kementerian Pertanian untuk analisis lebih lanjut penyebab kematian babi di Bali, apakah karena demam babi Afrika (African swine fever/ASF) atau tidak.
”Kami melakukan uji PCR (polymerase chain reaction) terhadap sampel babi dari Bali. Saat ini sedang dilakukan analisis lebih lanjut oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan melihat juga gejala klinis ternak babi yang mati di Bali,” ujar Kepala Balai Veteriner Medan Agustia, Selasa (4/2/2020).
Agustia mengatakan, gejala klinis ternak babi yang mati di Bali akan dilihat, apakah seperti ASF yang sudah menyerang Sumatera Utara lebih dulu. Mereka juga akan membandingkan jumlah kematian yang terjadi di Bali.
ASF pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumut pada September 2019. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pun telah mendeklarasikan wabah penyakit ASF di 16 kabupaten dan kota di Sumut pada 12 Desember 2019.
Dalam keputusannya itu, Syahrul meminta agar dilakukan karantina ketat dengan penutupan lalu lintas ternak babi agar ASF tidak menyebar ke daerah lain. Namun, wabah terus menyebar dan sudah menjangkit ke 18 kabupaten/kota di Sumut.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Muhaimin mengatakan, penutupan lalu lintas ternak babi dilakukan di Sumut dengan cara tidak mengeluarkan surat keterangan kesehatan hewan, baik di provinsi maupun kabupaten. Perdagangan ternak babi pun hanya bisa dilakukan di dalam kabupaten yang terjangkit.
Muhaimin mengatakan, jumlah kematian babi yang dilaporkan di 18 kabupaten/kota kini sebanyak 43.600 ekor. Ada penambahan jumlah kematian sebanyak 7.714 ekor sejak 6 Januari. Ketika itu, jumlah kematian babi 35.886 ekor.
”Kematian babi masih terus terjadi di daerah terjangkit, tetapi jumlah kematian terus menurun,” ucapnya.
Muhaimin menyebutkan, peternak saat ini menghadapi persoalan menurunnya harga dan permintaan terhadap daging babi. Penurunan permintaan terjadi karena babi dari Sumut tidak bisa dijual lagi ke luar daerah. Sementara konsumsi di Sumut pun menurun karena masyarakat takut mengonsumsi daging babi. Padahal, daging babi masih aman dikonsumsi karena ASF bukan penyakit zoonosis sehingga tidak bisa menular ke manusia.
Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumatera Utara Hendri Duin Sembiring mengatakan, peternak berharap pemerintah menyusun strategi jangka panjang penanggulangan dan pemulihan ASF di Sumut. ”Langkah ini sangat penting untuk mengembalikan Sumut menjadi bebas ASF dan mencegah ASF menyebar ke daerah lain,” ujarnya.
Menurut Hendri, langkah penanggulangan ASF yang dilakukan pemerintah hingga saat ini masih sangat minim. Pemerintah seharusnya perlu ikut meningkatkan konsumsi babi di Sumut agar depopulasi bisa berlangsung secara alami tanpa merugikan peternak. Pengurangan populasi mutlak dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus karena hingga saat ini belum ada vaksin ataupun obat ASF.