Pemerintah Myanmar kembali menutup akses internet di dua negara bagian, yakni Rakhine dan Chin. Penutupan itu terkait konflik etnis minoritas.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·3 menit baca
YANGON, SELASA — Pemerintah Myanmar kembali menutup akses internet di dua negara bagian, yakni Rakhine dan Chin. Penutupan itu terkait konflik etnis minoritas. Operator seluler Norwegia, Telenor Group, yang beroperasi di Myanmar, Senin (3/2/2020), mengatakan, sebenarnya sebagian jaringan internet di wilayah itu telah dibuka lima bulan lalu.
Akses internet di empat kota di Negara Bagian Rakhine, yakni Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, dan Myebon, serta satu kota di Negara Bagian Chin, telah dicabut pada September 2019 di tengah pembicaraan damai untuk mengakhiri pertikaian antara pasukan Pemerintah Myanmar dan tentara Arakan dari etnis Rohingya.
Namun, menurut Telenor Group, muncul pernyataan dari Kementerian Transportasi dan Komunikasi Myanmar yang memerintahkan agar jaringan internet seluler dihentikan lagi di lima kota kecil di Rakhine dan Chin selama tiga bulan.
Telenor mengatakan, Pemerintah Myanmar menyatakan perlunya persyaratan keamanan dan kepentingan publik untuk pemulihan kembali situasi di dua negara bagian tersebut.
Tun Tun Nyi, juru bicara militer Myanmar, mengatakan, militer Myanmar tidak mengetahui soal pemutusan jaringan internet di dua negara bagian itu. ”Kami tidak tahu dan kami belum mendengarnya,” kata Tun Tun Nyi saat dikontak Selasa (4/2/2020).
Pejabat Kementerian Transportasi dan Komunikasi Myanmar tidak menanggapi saat dimintai komentar mengenai pemutusan jaringan internet tersebut.
Memanas
Perintah dari Kementerian Transportasi dan Komunikasi Myanmar itu muncul di tengah meningkatnya kekerasan di wilayah itu. Dua perempuan tewas dan tujuh orang lainnya cedera saat sebuah desa yang dihuni etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine dihantam tembakan artileri pada 25 Januari 2020.
Militer Myanmar menolak tuduhan bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan yang terjadi dua hari setelah Mahkamah Internasional memerintahkan Myanmar untuk melindungi warga Rohingya.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya terpaksa mengungsi dari Negara Bagian Rakhine pada 2017 setelah militer Myanmar membalas serangan tentara Arakan Rohingya. Menurut Pemerintah Myanmar, tindakan militer Myanmar itu adalah operasi kontra-pemberontakan yang sah.
Baru-baru ini, di wilayah itu pertempuran antara militer Myanmar dan pemberontak Arakan terus berlanjut. Kelompok pemberontak terus memperjuangkan otonomi lebih luas di Negara Bagian Rakhine. Konflik itu mengakibatkan puluhan ribu warga mengungsi dan menewaskan puluhan orang.
Dampak negatif
Parlemen lokal mengatakan bahwa pemutusan jaringan internet di Rakhine dan Chin akan berdampak negatif pada bisnis dan akan memperlambat bantuan untuk mencapai desa-desa yang terperangkap dalam pertempuran.
”Beberapa penduduk desa harus mengungsi dari desa mereka ketika pertempuran terjadi. Kami dapat membantu mereka jika kami melihat dari unggahan di Facebook bahwa mereka membutuhkan makanan atau dalam masalah,” kata Khin Saw Wai, anggota parlemen nasional untuk Rathedaung.
Anggota parlemen lainnya, Maung Kyaw Zan, dari kota Buthidaung, mengatakan bahwa pemutusan atau penutupan akses pada jaringan internet itu dinilai tidak baik untuk Rakhine karena konflik sedang berlangsung.
Aung Marm Oo, pemimpin redaksi kelompok media daring yang berbasis di Rakhine, mengatakan, penutupan akses pada jaringan internet akan mengganggu publikasi berita tentang konflik tersebut. ”Pemutusan internet berdampak negatif pada jurnalisme. Internet sangat penting bagi kami untuk dapat mengirim berkas video dan gambar untuk berita kami,” kata Aung Marm Oo. (REUTERS)