Danse Macabre, Seni Menghadapi Epidemi
Sebagaimana virus korona, kehadiran epidemi selalu menghantui perjalanan hidup umat manusia. Percaya pada spekulasi akan wabah, justru menjadi cara menanggapi yang gegabah.
Cara menghadapi epidemi dari masa-masa mengalami perkembangan tersendiri. Salah satunya dengan karya seni. Lahirnya alegori Danse Macabre (Tarian Kematian) justru terinspirasi dari bencana wabah penyakit.
Tahun kemunculan awal alegori ini memang sulit dipastikan, tetapi ide ini memberikan napas bagi seni lukis, puisi, musik, dan drama hingga saat ini. Salah satu yang paling terkenal ialah goresan lukisan dari Guyot Marchant.
Dalam tiap lukisan bertema Danse Macabre, tersimpan makna bahwa kematian adalah hal yang niscaya. Digambarkan di sana, selalu ada sosok manusia dan kematian (dalam rupa tengkorak atau malaikat maut) yang sedang menari atau bergembira. Si seniman seakan berpesan bahwa kematian tidak dapat dihindari, lebih baik diajak menari saja.
Sebelum 1669, seni lukis Danse Macabre masih dapat dinikmati di kalangan masyarakat. Misalnya, dengan menyaksikan deretan lukisan mural yang menghiasi Cimetiere des Innocents, Paris, Perancis, kala itu. Sayangnya, demi alasan memperlebar jalan, dinding-dinding tersebut dihancurkan oleh pemerintah setempat.
Ekspresi atas Danse Macabre turut diperkenalkan dalam seni sastra oleh Edgar Allan Poe. Sastrawan yang dikenal dengan karya-karyanya yang getir dan sarat misteri ini membawa pengaruh besar dalam sastra romantik. Karyanya yang berjudul The Masque of the Red Death menyiratkan pesan lain dari Danse Macabre bahwa kematian kerap datang seperti pencuri yang mengendap-endap di tengah malam.
Epidemi
Apa pun wujudnya, karya seni Danse Macabre tidak dapat dilepaskan dari konteks di baliknya. Epidemi Black Death yang menyerang Eropa pada 1337 hingga 1453 telah menelan sekitar 20 juta orang di Eropa kala itu. Kehadiran Danse Macabre menjadi salah satu tanggapan manusia atas wabah penyakit yang saat itu belum dapat dijelaskan secara ilmiah.
Lebih dalam lagi, kemunculan Black Death berada dalam konteks masa Abad Pertengahan. Maksudnya, pada masa itu manusia masih didominasi oleh hal-hal spiritual, magis, atau mitos dalam upaya memahami fenomena yang terjadi. Implikasinya, masyarakat Eropa saat itu menganggap bahwa penyakit tersebut adalah sebuah kutukan atau hukuman dari Tuhan.
Baca juga: Antisipasi Penyebaran Virus Korona
Mengerikannya, orang-orang yang terjangkit penyakit dinilai sebagai orang yang berdosa dan telah mendatangkan wabah tersebut. Dengan cara berpikir ini, pembunuhan massal kepada para korban menjadi jalan yang ditempuh, seperti yang dialami ribuan orang Yahudi (1348-1349) atas tuduhan sebagai orang-orang yang memiliki pandangan sesat.
Tidak hanya itu, tindakan manusia yang tidak logis juga tercatat dalam wabah pes atau sampar (bubonic plague) yang terjadi di London. Tepatnya di 1665, sebanyak 20 persen populasi atau sekitar 100.000 penduduk di kota itu meninggal karena terserang wabah.
Mirisnya, kala itu ribuan kucing dan anjing dimusnahkan karena dituding sebagai penyebab wabah. Di masa selanjutnya ditemukan bahwa virus yang dibawa oleh tikus yang menjadi penyebab wabah. Bahkan, wabah ini menjadi cerita sumir di balik peristiwa kebakaran besar di London (Great Fire of London) yang menyebabkan 3.000 orang meninggal.
Kedua temuan tersebut, yakni wabah penyakit dan tindakan manusia yang semena-mena dalam menghadapinya, dikritik oleh Albert Camus (1913-1960), filsuf dan peraih Nobel Sastra 1957. Melalui novel Le Peste (Sampar) ia menuliskan kisah tentang wabah sampar yang menyerang sebuah kota.
Bahayanya, berbagai macam orang justru memandang wabah ini dengan versinya masing-masing. Ada yang menganggap penyebabnya adalah penyakit mematikan, tindak kejahatan oleh sejumlah pihak, atau bahkan karena kemarahan Tuhan.
Kendati Albert Camus tidak hanya membahas wabah penyakit dalam Le Peste, kritik yang dilontarkannya makin memperjelas kondisi masyarakat dalam menanggapi wabah saat itu. Pesannya jelas, di masa lalu dalam menghadapi wabah penyakit, manusia berupaya menanggapinya dengan berbagai cara yang dianggap wajar seturut zamannya.
Metode logis
Cara berpikir tidak logis ini perlu dimaklumi karena pendekatan ilmiah baru ditempuh pada kisaran abad ke-18. Di masa itulah, politisi dan filsuf Perancis, Auguste Comte, merumuskan pemikirannya dan melahirkan cikal bakal Positivisme.
Secara singkat, positivisme merujuk pada pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena. Dalam positivisme, tidak ada tempat bagi mitos, hal-hal spiritual, atau magis.
Dilatarbelakangi positivisme, iklim akademis makin berkembang dan upaya medis seturut metode klinis akhirnya mengambil peran dalam menangani wabah penyakit. Tercatat, pandemi kolera yang pertama pada 1817 ditangani dengan memberikan vaksin kepada para korban. Kala itu, paling banyak korban ditemukan di daerah Sungai Gangga, India.
Mirisnya, kala itu ribuan kucing dan anjing dimusnahkan karena dituding sebagai penyebab wabah.
Dengan peran ilmu kedokteran, para ahli telah menemukan vaksin khusus untuk mengatasi wabah tersebut. Vaksin pertama yang ditemukan bernama Vaxchora dan kemudian kini telah dikembangkan tiga jenis vaksin lainnya, yaitu Dukoral, ShanChol, dan Euvichol-Plus/Euvichol. Dengan begitu, jika wabah yang disebabkan oleh bakteri vibrio cholerae ini menyerang kembali, sudah tersedia penanganan dan pengobatan untuk mengatasinya.
Seiring waktu, metode klinis dalam menghadapi wabah terus-menerus diterapkan dan dikembangkan. Hal ini ditempuh dengan menyadari bahwa berbagai wabah kian berevolusi dan sewaktu-waktu dapat menyerang manusia. Misalnya dengan wabah flu yang saat ini menjadi momok dalam wujud virus korona.
Hingga kini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus-menerus memantau perkembangan virus korona. WHO turut menyediakan informasi terkait penanganan dan pencegahan di lamannya. Masyarakat di berbagai belahan dunia pun dapat memantau perkembangan wabah melalui laman yang disediakan oleh John Hopkins Center of System Science and Engineering (CSSE).
Tetap logis
Langkah pemerintah melalui koordinasi antarlembaga negara dalam memulangkan WNI yang terisolasi di Wuhan patut diapresiasi. Strategi lainnya untuk meningkatkan pencegahan risiko penularan virus masih dilanjutkan. Selanjutnya, masyarakat tetap membutuhkan perkembangan informasi agar menjaga daya logis atas epidemi ini.
Narasi-narasi yang mengarah pada teori konspirasi perihal virus korona belum dapat dibuktikan. Spekulasi bahwa epidemi ini adalah senjata biologis dan ancaman terhadap penduduk dunia perlu disingkap dengan bijaksana. Penanganan medis dan logika positivisme tetap perlu dijaga agar tidak mengundang virus hoaks yang dapat mereduksi sisi kemanusiaan.
Jika melihat kembali pada sejarah panjang wabah di dunia, percaya pada spekulasi dan narasi sumir adalah suatu kemunduran dalam cara manusia menyingkapi fenomena.
Menjalani pola hidup sehat, mengikuti panduan resmi yang dirilis, dan tetap memantau perkembangan medis menjadi pilihan bijaksana untuk dilakukan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa musibah ini nantinya justru melahirkan daya kreatif manusia melalui ekspresi seni atau menciptakan versi Danse Macabre yang baru. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?