Tantangan pertama yang akan dihadapi Sofia Kenin sebagai juara baru di Australia Terbuka bukanlah mempertahankan prestasi, melainkan mengatasi tekanan dan ekspektasi publik sebagai petenis dengan gelar juara Grand Slam.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Menjadi juara Australia Terbuka adalah mimpi yang menjadi nyata bagi petenis Amerika Serikat, Sofia Kenin. Kenin menjadi harapan untuk meneruskan generasi Venus dan Serena Williams yang selama ini menjadi andalan tenis Amerika Serikat. Namun, jalan untuk itu sangat panjang, dimulai dari tekanan yang akan dihadapinya sebagai juara Grand Slam.
Kenin muncul sebagai kejutan di antara petenis putri yang difavoritkan juara, seperti Serena, Simona Halep, dan petenis tuan rumah peringkat satu dunia, Ashleigh Barty. Pada laga final, petenis berusia 21 tahun itu mengalahkan petenis Spanyol, Garbine Muguruza, juara Perancis Terbuka 2016 dan Australia Terbuka 2017.
Kenin membalikkan prediksi banyak pihak yang menjagokan Muguruza juara. Apalagi, kemampuan Kenin hanya diuji oleh petenis-petenis nonunggulan sebelum bertemu Barty, petenis nomor satu dunia, pada semifinal. Sebaliknya, Muguruza menyingkirkan tiga unggulan sepuluh besar.
Akan tetapi, selama bertanding di Melbourne Park, petenis yang lahir di Moskwa, Rusia, itu dikenal tangguh. Dia tak gentar meski tertinggal dalam perolehan skor. Gelar juara didapat setelah kehilangan set pertama. Dia juga mengalaminya di semifinal ketika Barty mendapat set point pada setiap set.
Saya mencapai ini (juara) dengan kepercayaan diri. Itu selalu ada dalam diri saya.
Itulah kalimat pertama yang diucapkan Kenin pada konferensi pers. Sambil sesekali meminum anggur yang disediakan penyelenggara, wajahnya sangat ceria sepanjang acara itu. Dia juga berbagi kebahagiaan dengan membalas ucapan selamat di media sosial.
Kenin masih merasakan keceriaan itu, apalagi gelar juara Australia Terbuka telah menempatkannya pada peringkat ketujuh dunia, naik delapan tingkat dari posisi sebelumnya. Ujian akan mulai dirasakan pada turnamen WTA Dubai, 17-22 Februari, turnamen pertamanya setelah Australia Terbuka. Sebelum Grand Slam berikutnya, Perancis Terbuka (24 Mei-7 Juni), Kenin juga akan bersaing dalam turnamen WTA Premier Mandatory.
Beban psikologis
Seperti dituturkan para seniornya, menjadi juara Grand Slam tak sekadar mewujudkan mimpi. Status tersebut akan membawa beban lebih besar secara psikologis. Juara Perancis Terbuka 2017, Jelena Ostapkenko, dan Sloane Stephens (AS Terbuka 2017) adalah contoh petenis yang tak bisa mengatasi tekanan tersebut hingga saat ini.
”Setelah memenangi Grand Slam, semua berpikir saya akan menjuarai semua turnamen, padahal tidak seperti itu,” kata Ostapenko, menyebut tekanan yang dia rasakan.
Pada Grand Slam berikutnya di Wimbledon, Ostapenko bertahan hingga semifinal. Namun, dia tersingkir pada babak pertama ketika harus mempertahankan gelarnya di Roland Garros.
Apa yang dialami Stephens setelah juara di Flushing Meadows, New York, 2017, lebih parah. Dia kalah dalam delapan pertandingan beruntun pada enam kejuaraan berikutnya, termasuk Australia Terbuka 2018. Di Melbourne Park tahun ini, Stephens tersingkir pada babak pertama.
Seperti yang pernah diutarakan Stephens kepada The New York Times, dia kesulitan beradaptasi dengan status juara Grand Slam. Dia selalu jadi sorotan pada setiap turnamen.
”Saya sangat stres menghadapinya,” kata Stephens yang menempati peringkat ketiga pada 2018, tetapi hanya peringkat ke-35 saat ini.
Petra Kvitova bahkan harus didampingi psikolog olahraga untuk mengatasi tekanan setelah menjuarai Wimbledon 2011 sebelum akhirnya bisa menambah gelar Grand Slam, juga dari Wimbledon, tiga tahun kemudian.
Temukan jalan
Novak Djokovic, yang menjuarai Grand Slam untuk ke-17 kali setelah menjadi yang terbaik di Melbourne Park tahun ini, juga pernah merasakan itu setelah Australia Terbuka 2008, Grand Slam pertama yang memberinya titel juara. Apalagi, Djokovic harus bersaing dengan maestro tenis asal Swiss, Roger Federer, dan jago lapangan tanah liat asal Spanyol, Rafael Nadal, dua rival utama yang lebih dulu menguasai Grand Slam.
Baru tiga tahun kemudian Djokovic menemukan jalan untuk bersaing dengan Federer dan Nadal. Selain membenahi kondisi fisik, dengan menjalani diet gluten, Djokovic memperkuat mentalnya. Dia juga tak pernah kehilangan motivasi untuk berkembang setiap hari.
Faktor itulah yang membuat Djokovic, Nadal, dan Federer—”Big Three”—menguasai turnamen mayor. Mereka mengumpulkan 56 gelar juara Grand Slam dari 67 turnamen terakhir sejak Federer meraih gelar pertama Grand Slam di Wimbledon 2003. Hanya ada enam tunggal putra dengan sebelas gelar menjadi selingan di antara mereka, yaitu Gaston Gaudio, Marat Safin, Juan Martin Del Potro, Andy Murray, Stan Wawrinka, dan Marin Cilic.
Kondisi ini kontras dengan persaingan tunggal putri yang melahirkan 27 nama dalam daftar juara pada periode yang sama. Mantan petenis nomor satu dunia putri, Kim Clijsters, berpendapat, kemungkinan banyak juara putri yang tak bisa mengatasi situasi setelah menjuarai Grand Slam.
”Banyak pihak yang akan masuk dalam kehidupan sang juara, yaitu tim manajemen, sponsor, penggemar, dan media. Ini bisa memunculkan efek negatif. Mungkin mereka belum bisa mengatasi efek negatif ini,” ujar petenis Belgia berusia 36 tahun yang akan kembali bertanding tersebut.
Situasi yang sama akan dihadapi Kenin. Ketangguhan seperti yang terlihat di Melbourne Park, kali ini, akan menguji mentalnya di luar lapangan.