Kota Wuhan, China, belakangan ini mendapat publikasi negatif akibat virus korona baru. Sebelum ada wabah, kota itu diproyeksikan menjadi salah satu pusat pengembangan teknologi informasi di China.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Kota Wuhan, yang relatif kurang populer bagi kebanyakan kita di Tanah Air, belakangan mendunia gara-gara tempat asal penyebaran virus korona tipe baru, 2019- nCoV. Kota itu merupakan kota pedalaman China yang terletak di posisi tengah negara tersebut. Wuhan menjadi titik persimpangan kereta cepat antara Guangzhou—kota nomor satu di selatan—dan ibu kota Beijing di utara, serta antara Shanghai di timur laut dan Chengdu di barat daya.
Dalam kunjungan Kompas ke Wuhan, akhir November 2019, terlihat pentingnya posisi kota itu bagi China dalam pengembangan teknologi informasi (TI) negara itu. Wuhan juga merupakan salah satu kota pusat Revolusi China 1911 ketika dokter Sun Yat Sen memimpin perlawanan bersenjata di kota itu dan menggerakkan tentara Republik China.
Kota Wuhan adalah kota tua berusia 3.500 tahun yang merupakan gabungan dari tiga kota, yakni Wuzhang, Hankou, dan Hanyang. Kota lama Hankou terkenal sebagai tempat pertemuan lima gaya arsitektur Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, dan Rusia.
Wuhan pernah menjadi ibu kota China semasa perang melawan Jepang pada tahun 1937 dan 1938. Semasa itu pula pilot-pilot Angkatan Udara China (Chinese Air Force) bertempur melawan Jepang di udara Hankou.
Buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara hingga Republik Indonesia terbitan Penerbit Buku Kompas mencatat adanya pilot-pilot asal Jawa di Hankou yang bergabung dengan Angkatan Udara China untuk melawan Jepang semasa itu. Sebagian dari mereka adalah veteran Perang Saudara Spanyol (1936-1939) di Escadrille Espania (Skuadron Spanyol) yang dipimpin oleh filsuf Perancis, Andre Malraux.
Kota Wuhan, sebagai kota persimpangan strategis, dipertahankan mati-matian oleh militer Jepang semasa Perang Dunia II. Amerika Serikat pernah mengirimkan misi pengeboman untuk menghancurkan pusat perkeretaapian Wuhan yang sangat vital bagi transportasi militer Jepang.
Pusat TI
Perang usai, Wuhan pun bangkit dari reruntuhan dan kini menjadi pusat TI China, tempat berbagai teknologi, seperti 5G dan bahkan 6G, dikembangkan oleh para ahli. Ditemani Syaifuddin Zuhri, Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) China yang menempuh studi S-3 di Wuhan, akhir November lalu, Kompas mengunjungi pusat TI China di Optical Valley yang luasnya ribuan hektar dan diproyeksikan menjadi Silicon Valley-nya China.
Pengembangan teknologi 5G dan berbagai perusahaan TI raksasa, seperti Huawei dan Xiaomi, turut membangun perkantoran dan pusat riset di sana. Pemerintah pusat dan Pemerintah Kota Wuhan berkongsi membangun Optical Valley yang memiliki landmark bangunan berkubah bundar futuristik. Tepat di sebelah Optical Valley terdapat pusat pertokoan yang membentang bilangan kilometer panjangnya, yakni Optic Valley Pedestrian Street. Berbagai pertokoan kelas atas hingga kelas bawah ada di Optic Valley.
Tenaga ahli perusahaan-perusahaan di Optic Valley tersebut kabarnya dipasok, antara lain, oleh Huazhong University. Ini salah satu dari sejumlah kampus tempat para mahasiswa asal Indonesia menuntut ilmu. Kampus lain adalah Central China Normal University—kampus IKIP nomor dua di China setelah Beijing Normal University—yang mencetak guru dan dosen-dosen terbaik di China, Wuhan University, dan lain-lain.
Taufik Arif, Sekretaris PCNU China yang juga kuliah S-3 di Wuhan, bercerita, mahasiswa asing berjumlah ribuan di Wuhan dengan negara asal lima terbesar, yakni Pakistan, Vietnam, Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand.
Standar kampus di China biasa ada kantin khusus halal ataupun kedai halal.
Bagi mahasiswa asing, termasuk dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, urusan makan tidak jadi persoalan. Tidak sulit menemukan restoran Muslim yang menyajikan menu masakan halal di kota itu. Seperti kota-kota lain di China, restoran Muslim adalah bagian dari tradisi kuliner di Wuhan.
Di kawasan menengah atas dan menengah bawah, restoran Muslim (jing zhen atau halal dalam Mandarin) selalu ada dan ramai dikunjungi tamu Muslim dan non-Muslim. Para mahasiswa asing dari Timur Tengah dan Eropa pun kerap dijumpai Kompas saat meluangkan malam berkumpul bersama para pelajar Indonesia selama empat petang di Kota Wuhan.
Zuhri menuturkan, terdapat empat masjid dan ada kantin halal di kampus Central China Normal University. ”Standar kampus di China biasa ada kantin khusus halal ataupun kedai halal. Di kampus saya, CCNU, ada satu lantai khusus kantin halal dengan lebih dari 20 kedai di dalamnya,” katanya.
Fasilitas publik
Seperti halnya Beijing, Shanghai, Nanjing, Xiamen, Anhui, Guangzhou, Nanning, dan sejumlah kota menengah dan kecil di China, Kota Wuhan terbagi atas berbagai blok hunian, taman, danau, dan berbagai fasilitas publik, serta tentu saja kereta bawah tanah—dengan 11 jalur—yang memudahkan transportasi warga. Mobil listrik dan motor listrik juga menjamur di seantero Wuhan.
Berbagai taman, bangunan modern, transportasi umum, dan bagian kota tua Wuhan di Distrik Wuchang adalah bagian dari perjalanan sejarah ribuan tahun daerah tersebut.
Warga Wuhan kini tengah didera wabah virus korona jenis baru. Zuhri mengingatkan agar masyarakat di Indonesia tidak ikut menyebarkan berita palsu terkait virus tersebut. Terkait keberadaan WNI di kota itu dan Provinsi Hubei, Pemerintah Indonesia telah mengevakuasi 238 WNI dari Wuhan dengan pesawat carter, Minggu (2/2/2020). Mereka tengah menjalani observasi selama 14 hari di Natuna, Kepulauan Riau.
Sebelum dievakuasi, para mahasiswa Indonesia mencoba bertahan di Wuhan dan terus menjaga koordinasi dengan pihak kampus. Ketabahan para mahasiswa Indonesia dan solidaritas mereka dalam masa krisis ini adalah salah satu inti dari hubungan kemanusiaan dan persahabatan Indonesia dan China sebagai sesama perintis persaudaraan Asia-Afrika—bersama India dan Mesir— tahun 1955 yang melahirkan Semangat Bandung.