Suplai gas dipastikan bertambah seiring beroperasinya sejumlah lapangan gas beberapa tahun ke depan. Pemerintah mewacanakan porsi gas untuk dalam negeri jadi 70 persen.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menjamin tak ada masalah pasokan gas untuk kebutuhan di dalam negeri. Pasokan gas semakin kuat menyusul berproduksinya sejumlah lapangan gas dalam beberapa tahun ke depan. Adapun soal harga gas, opsi untuk penurunan harga terus dikaji.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, pada 2026 dan 2027 ada dua proyek gas yang bakal berproduksi dalam jumlah besar. Proyek tersebut adalah Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar dan Lapangan Abadi Blok Masela di laut lepas Maluku.
IDD ditargetkan menghasilkan gas bumi 844 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan Lapangan Abadi menghasilkan gas alam cair 9,5 juta ton per tahun.
”Tidak ada masalah untuk pasokan gas di dalam negeri. Kontrak penjualan ke luar negeri yang selesai bisa dialihkan ke dalam negeri. Selain itu, akan ada dua proyek hulu yang bakal berproduksi dalam jumlah besar, yaitu IDD dan Masela, yang akan menambah pasokan,” ujar Dwi seusai menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komite II Dewan Perwakilan Daerah, Selasa (4/2/2020), di Jakarta.
Pemerintah juga berkomitmen memperbesar pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri. Tahun lalu, porsi pasokan gas ke dalam negeri sebesar 64 persen, sedangkan sisanya 36 persen diekspor. Ada rencana untuk meningkatkan porsi gas bagi kebutuhan dalam negeri menjadi 70 persen.
”Kebutuhan gas dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam beberapa tahun mendatang kemungkinan porsi dalam negeri naik menjadi 70 persen,” ucap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
Sepanjang 2019, realisasi produksi siap jual (lifting) gas bumi 5.934 MMSCFD atau masih di bawah target APBN yang sebanyak 7.000 MMSCFD. Adapun realisasi pada 2018 adalah 6.434 MMSCFD. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan lifting gas sebanyak 6.670 MMSCFD.
Terkait rencana pemerintah mengoptimalkan serapan gas di dalam negeri, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, apabila pemerintah benar-benar ingin mengoptimalkan gas, industri yang masih menggunakan bahan bakar jenis solar harus dialihkan ke gas.
Menurut dia, 70 persen sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); industri kecil dan menengah (IKM); sampai industri besar di Jawa menggunakan solar sebagai bahan bakar utamanya.
”Itu memerlukan penanganan khusus bagi mereka yang menggunakan solar agar beralih ke gas. Apakah pemerintah mau? Itu permasalahannya,” kata Achmad.
Achmad juga menyanggah masalah infrastruktur gas yang kerap dijadikan alasan optimalisasi gas di dalam negeri terhambat. Menurut dia, dua kapal regasifikasi dan penyimpanan terapung (FSRU) yang selama ini kurang optimal bisa ditingkatkan perannya lebih jauh lagi. Selain itu, jaringan pipa di lintas Jawa tinggal kurang terhubung di Jawa bagian tengah.
”Selain itu, untuk jaringan pipa di Sumatera yang sebagian besar dimiliki BUMN, seharusnya diterapkan open access (penggunaan pipa gas bersama) agar harga gas semakin terjangkau bagi konsumen,” ujar Achmad.
Dalam kajian
Pemerintah masih tengah mengkaji berbagai pilihan mengenai penurunan harga gas. Harga gas untuk industri diatur pemerintah lewat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Jaringan pipa di Sumatera seharusnya open access agar harga gas semakin terjangkau.
Perpres itu menyebutkan, jika harga gas tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas lebih tinggi dari 6 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU), menteri dapat menetapkan harga gas tertentu.
Penetapan itu dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. ”Soal harga gas, pemerintah sudah punya berbagai opsi. Semuanya masih dalam kajian,” kata Dwi.
Opsi yang disiapkan pemerintah adalah mengurangi bagian negara pada harga gas di hulu, mewajibkan produsen gas di Indonesia memenuhi kebijakan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri, dan membebaskan swasta mengimpor gas untuk kawasan industri yang belum tersambung dengan infrastruktur gas.