Perusahaan Induk BUMN Farmasi Siap Turunkan Biaya Kesehatan
›
Perusahaan Induk BUMN Farmasi ...
Iklan
Perusahaan Induk BUMN Farmasi Siap Turunkan Biaya Kesehatan
Pembentukan perusahaan induk BUMN farmasi ditargetkan menjadikan industri farmasi BUMN nomor satu di Indonesia, sekaligus merebut pasar industri farmasi sampai 7,5-10 persen pada akhir tahun 2020.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Badan Usaha Milik Negara resmi menetapkan perusahaan induk atau holding farmasi pada 31 Januari 2020. Perusahaan induk yang menggabungkan tiga perusahaan sekaligus bertujuan memperkuat kemandirian industri farmasi nasional sehingga dapat mengefisienkan biaya kesehatan.
Penetapan perusahaan induk ditandai dengan keluarnya surat persetujuan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam rapat umum pemegang saham. Menteri BUMN menyetujui pengalihan seluruh saham seri B milik negara kepada Kimia Farma Tbk maupun Indofarma Tbk ke PT Bio Farma (Persero).
Selaku kepala induk holding, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/2/2020), mengatakan, pemerintah mengamanatkan holding untuk memperkuat kemandirian industri farmasi nasional dan ketersediaan produk melalui inovasi bersama.
”Banyak permasalahan di dunia farmasi, mulai dari keterjangkauan produk, ketergantungan bahan impor, hingga biaya berobat yang mahal. Keberadaan holding ini diharapkan membantu menata industri sehingga bisa berkontribusi ke masyarakat,” ujarnya.
Solusi atas permasalahan itu akan dipecahkan oleh setiap perusahaan yang memiliki modal bisnis masing-masing. Bio Farma dengan keahlian memproduksi vaksin dan antisera di satu pabrik telah memiliki jejaring di 140 negara. Indofarma yang ahli dalam pembuatan obat dan alat kesehatan dengan didukung satu pabrik serta satu laboratorium bioavailabilitas dan bioekivalensi.
Adapun Kimia Farma, yang banyak memproduksi produk kesehatan dan kecantikan dengan tujuh anak usahanya, memiliki banyak aset. Aset tersebut mulai dari 11 pabrik, 565 klinik kesehatan, 3 klinik kecantikan, 1.300 apotek, 64 laboratorium klinik, 48 cabang distribusi, hingga 24 apotek di luar negeri.
Sinergi ketiganya diharapkan bisa menekan impor bahan baku farmasi yang saat ini mencapai 90 persen. Bahan baku farmasi impor itu paling banyak diambil dari Eropa, China, dan India.
Holding dibentuk agar harga obat murah karena ada sinergi dari ujung ke ujung, dari produsen ke konsumen. Kita lakukan kolaborasi sehingga kami yakin masyarakat bisa mendapatkan obat murah.
Ketergantungan pada produk impor akan diatasi melalui peningkatan kapasitas produksi bahan baku. Meski tidak mungkin dihilangkan, produk impor ditargetkan diturunkan sebanyak 15 persen menjadi 75 persen pada 2021.
Selain pengurangan impor, integrasi proses bisnis juga akan meningkatkan keterjangkauan dan efisiensi biaya produk kesehatan hingga 12 persen.
”Harga murah memang amanah (dari pemerintah), karena holding dibentuk agar harga obat murah sebab ada sinergi dari ujung ke ujung, dari produsen ke konsumen. Kita lakukan kolaborasi sehingga kami yakin masyarakat bisa mendapatkan obat murah,” kata Honesti.
Badan Pusat Statistik melaporkan, pada Januari 2020, inflasi dari pengeluaran kesehatan mencapai 3,87 persen secara tahunan dengan andil 0,01 persen terhadap inflasi secara keseluruhan.
Adapun selama 2019, inflasi kesehatan mencapai 3,46 persen atau tertinggi sejak tahun 2016. Nilai inflasi itu juga lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2018 yang hanya sebesar 3,14 persen.
Nilai itu dihitung dari pengeluaran untuk obat dan layanan kesehatan, seperti tarif pengecekan kesehatan umum dan gigi, di layanan kesehatan swasta ataupun negeri.
Pengembangan bisnis
Upaya menekan biaya kesehatan nasional dinilai bisa dilakukan dengan memperbaiki ekosistem kesehatan. Untuk itu, ke depan, perusahaan induk farmasi akan memperbanyak riset dan pengembangan bisnis.
Direktur Utama Indofarma Tbk Arief Pramuhanto pada kesempatan yang sama mengatakan, upaya itu di antaranya akan dilakukan dengan mengembangkan sistem untuk menghubungkan dokter spesialis di kota besar dengan masyarakat di pedesaan (rural).
”Kami akan mencoba menjembatani dokter spesialis di kota besar dengan masyarakat di rural. Sistem ini masuk pada tahap beta. Jadi, hasil pemeriksaan di puskesmas bisa dikirim secara real time ke dokter spesialis di rumah sakit sehingga mereka bisa membuat diagnosisnya,” jelasnya.
Selain itu, Indofarma yang baru memiliki pangsa pasar nasional sebesar 0,5 persen akan fokus mengembangkan obat herbal dan alat kesehatan. Pengembangan itu akan dilakukan dengan penambahan pabrik industri alat kesehatan yang mengutamakan tingkat kandungan lokal dalam negeri.
”Tahun ini kami harapkan alat kesehatan berkontribusi 30 persen, dari sebelumnya 10 persen, terhadap total pendapatan Indofarma,” kata Arief.
Pengembangan bisnis holding sejauh ini akan menggunakan strategi investasi. Menurut Direktur Utama Kimia Farma Tbk Verdi Budidarmo, sudah banyak investor asing yang berminat berinvestasi di perusahaan induk tersebut, terutama menyangkut bahan baku farmasi.
”Investor asing yang telah mendaftar ada 18 industri. Kami yakin adanya investasi di bahan baku ini bisa menekan biaya impor serta meningkatkan produksi kimia farma kita agar bisa digunakan oleh dunia,” ujarnya.
Strategi investasi itu diharapkan bisa meningkatkan pengeluaran modal. Pembentukan perusahaan induk farmasi awal tahun ini menghasilkan pengeluaran modal sampai sekitar Rp 3 triliun. Perusahaan induk juga memiliki total aset konsolidasi mencapai Rp 17 triliun, dengan ekuitat tambahan senilai Rp 12,5 triliun.
Pembentukan perusahaan induk ditargetkan menjadikan industri farmasi BUMN nomor satu di Indonesia, sekaligus merebut pasar industri farmasi 7,5-10 persen pada akhir tahun 2020. Pada 2018, nilai pasar farmasi di Indonesia mencapai Rp 50 triliun.