Pesan Toleransi dari Aceh di Film ”Satu Kampung, Tiga Cahaya”
›
Pesan Toleransi dari Aceh di...
Iklan
Pesan Toleransi dari Aceh di Film ”Satu Kampung, Tiga Cahaya”
Film dokumenter berjudul “Satu Kampung, Tiga Cahaya” mengangkat sisi lain Provinsi Aceh yang penuh toleransi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
Film dokumenter berjudul ”Satu Kampung, Tiga Cahaya” mengangkat sisi lain Provinsi Aceh. Film itu menghadirkan pesan toleransi dari Desa Asir-asir Asia di Kabupaten Aceh Tengah dan Desa Pusong Lama di Kota Lhokseumawe. Di dua desa itu umat berbeda agama hidup rukun dan saling menghargai.
Film ini digarap Sehat Ihsan Shadiqin dan Andri Saputra. Sehat adalah dosen Prodi Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh dan Andri alumnus dari prodi yang sama. Sesuai dengan judulnya, film ini menceritakan tiga cahaya (agama) di satu desa.
”Awalnya ingin kasih judul satu kampung, tiga Tuhan. Namun, saya ganti dengan cahaya sebab agama memberi cahaya bagi pemeluknya,” kata Sehat dalam acara nonton bersama dan bedah film di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Sabtu (1/2/2020).
Desa Asir-asir Asia berada di tepi Danau Lut Tawar, Aceh Tengah. Warga desa itu beragama Islam, Kristen, dan Buddha. Di sana terdapat tiga rumah ibadah dan berdekatan. Meski berbeda keyakinan, mereka hidup rukun. Tidak pernah terjadi konflik sosial yang dipicu karena perbedaan keyakinan antarpenduduk.
Meski berbeda keyakinan, mereka hidup rukun.
Begitu juga dengan Desa Pusong Lama, Lhokseumawe. Bahkan, pada saat konflik, pernah gereja akan dibakar orang tidak dikenal, tetapi warga desa melarang sehingga gereja itu kokoh sampai kini.
Dalam film berdurasi 30 menit itu ditampilkan interaksi warga desa yang berbeda agama. Mereka bercengkerama, bermusyawarah, bahkan pergi bersama dengan sepeda motor. Di salah satu sekolah taman kanak-kanak di Desa Asir-asir, siswa Muslim dan non-Muslim berbaur. Pengajarnya juga Muslim dan non-Muslim.
”Sejak dini mereka diajarkan tentang toleransi. Bagi saya, ini ibarat cahaya yang memberi harapan saat maraknya intoleransi,” kata Sehat.
Film itu menjadi harapan akan toleransi yang tumbuh di Aceh. Pasalnya, pada akhir 2019, Kementerian Agama RI mengeluarkan survei indeks kerukunan umat beragama di Indonesia. Dari 34 provinsi, Aceh menjadi provinsi dengan indeks terendah. Adapun Papua Barat berada di peringkat pertama.
Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Banda Aceh Taufik Riswan, yang hadir dalam nonton bersama itu, mengatakan, film Satu Kampung, Tiga Cahaya menyampaikan pesan positif tentang Aceh. ”Meski bukan tujuan untuk menutupi intoleransi, setidaknya bisa menjadi cermin bagi daerah lain bahwa masih ada desa yang sangat toleran,” kata Taufik.
Walaupun indeks kerukunan umat beragama di Aceh rendah, ternyata masih ada harapan. Menurut dia, film ini bagus digunakan untuk kampanye kerukunan umat beragama.
Direktur Aceh Documentary Community (ADC) Faisal Ilyas mengatakan, film menjadi media alternatif untuk mengampanye nilai-nilai luhur kepada publik. Semakin baik kualitas film, semakin mudah diterima publik.
Secara kualitas film produksi sineas muda Aceh juga semakin bagus. Pada 2016 dan 2019 film dokumenter karya sineas Aceh masuk dalam daftar nominasi Festival Film Indonesia (FFI). Pada tingkat pelajar, film dokumenter karya sineas didikan ADC pada 2016, 2017, dan 2018 berhasil menjadi film terbaik pada Festival Film Dokumenter (FFD).
Secara kualitas film produksi sineas muda Aceh juga semakin bagus.
Menurut Faisal, iklim perfilman di Aceh cukup cerah. Banyak lahir sineas baru dan film baru. ADC, misalnya, mampu memproduksi minimal 10 film dalam setahun. Film produksi anggota ADC bercerita tentang budaya, wisata, toleransi, dan lingkungan. ”Tiga tahun terakhir ini, kami sudah tidak mengejar kuantitas, yang penting kualitas film,” kata Faisal.