Penderita kanker berpacu dengan waktu untuk berobat. Namun, tak semua daerah memiliki fasilitas memadai. Perjalanan ribuan kilometer ke Jakarta pun ditempuh demi meningkatkan peluang kesembuhan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI/YOLA SASTRA)
·4 menit baca
Sulistiani (39) tak pikir panjang saat dokter di tempat asalnya, Kabupaten Pandeglang, Banten, merujuk anaknya ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia pun bertolak ke Ibu Kota. Penanganan medis harus segera dilakukan karena anaknya, Fahmi (11), didiagnosis menderita kanker tulang atau osteosarkoma stadium akhir.
Awalnya muncul benjolan di kaki kanan Fahmi. Saat itu, anaknya dibawa ke tukang urut karena sang anak takut berobat ke dokter. Terapi bekam dijalani. Benjolan juga pernah ditempeli daun binahong atas saran beberapa orang. Namun, Fahmi tak kunjung sembuh. Setelah tiga bulan, Sulistiani membawa Fahmi ke rumah sakit di Pandeglang dan didiagnosis kanker.
”Dokter memarahi saya karena terlambat membawa anak ke dokter. Saya kaget sekali saat dokter memberi tahu soal kanker,” kata Sulistiani di Jakarta, Kamis (30/1/2020). Ada dua rumah sakit yang ia datangi di Pandeglang. Karena keterbatasan fasilitas, dokter di dua rumah sakit itu merujuk Fahmi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dia sempat sedih, tetapi sekarang semangat lagi. Enam siklus kemoterapi selesai dijalani.
Terapi kemoterapi tak tersedia di Pandeglang. Pemeriksaan menyeluruh pun dilakukan ulang di RSCM. Dokter memutuskan mengamputasi kaki kanan Fahmi agar sel kanker tak menyebar disertai kemoterapi. ”Padahal, dia ingin jadi pemain bola. Dia sempat sedih, tetapi sekarang semangat lagi. Enam siklus kemoterapi selesai dijalani,” katanya.
”Kemoterapi berikutnya dua kali lagi karena ada sedikit sel kanker di paru-paru Fahmi,” ujar Sulistiani. Pindah sementara dari Ambon ke Jakarta yang berjarak ribuan kilometer juga harus dilakukan Apriany (29), warga Ambon, Maluku, karena fasilitas kesehatan di Ambon tak selengkap di Jakarta, termasuk untuk kemoterapi. Abi, anak kedua Apriany yang berusia empat tahun, divonis menderita leukemia atau kanker darah pada 2018.
Demam dan batuk pada anaknya dianggap wajar oleh tenaga medis di puskesmas. Ketika muncul gejala berupa wajah pucat, perut membesar, dan demam 3-4 kali sebulan, Abi dibawa ke dokter spesialis anak dan hasil pemeriksaan darah menunjukkan positif leukemia. Kadar hemoglobinnya turun dan harus dilakukan transfusi darah.
Abi lalu dirujuk ke Jakarta guna kemoterapi. Perjalanan ke Ibu Kota dijalani dengan cemas karena kondisi Abi bisa menurun sewaktu-waktu. Seorang perawat mendampingi perjalanan. Serangkaian kemoterapi dijalani bocah itu dan akan selesai tahun depan.
Biaya transportasi
Pasangan Maimunah (47) dan Sudirman (52), warga Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menempuh rute jauh menuju Kota Padang demi mendampingi anaknya, Irfan (4,5), berobat. Irfan divonis menderita leukemia, Desember 2018. Saat itu, Irfan demam dan berkali-kali dibawa ke puskesmas, tetapi kondisinya memburuk. Ia dirujuk ke Rumah Sakit Ibnu Sina, Bukittinggi, dan diketahui hemoglobinnya rendah sehingga mendapat transfusi darah.
Setelah dirujuk ke RS Umum Pusat Dr M Djamil, Padang, Irfan dinyatakan mengidap kanker darah berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium di Jakarta. ”Irfan mengidap kanker leukemia tingkat II ALL standaris. Ada dua bulan Irfan diketahui mengidap kanker sejak gejala pertama,” kata Maimunah di Rumah Singgah Pasien (RSP) Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Sumbar, pekan lalu.
Kini, Irfan dikemoterapi di RSUP Dr M Djamil. Putra kelima dari enam bersaudara ini telah menjalani 19 kali kemoterapi. Menurut Maimunah, fasilitas terapi dan ketersediaan dokter onkologi di RSUP Dr M Djamil memadai, tetapi seminggu ini harus antre untuk kemoterapi.
Selama pengobatan, Maimunah dan suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai petani harus memikirkan ongkos transportasi dan biaya hidup selama mendampingi anaknya berobat di Padang meski biaya terapi ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Proses terapi di Padang membuat mereka harus tinggal di kota itu selama berbulan-bulan dan tak bisa bekerja.
Mereka juga terpaksa menitipkan lima anak mereka kepada sang nenek. Untuk mengurangi beban ongkos dan biaya hidup, tujuh bulan terakhir, mereka menumpang di RSP IZI Sumbar setiap ke Padang untuk kemoterapi. Di tempat itu, mereka tinggal tanpa dipungut biaya dan bahan makanan disediakan.
Ketua Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia Ira Soelistyo mengatakan, kanker pada anak berbeda dengan kanker pada orang dewasa dan peluang sembuh besar jika gejalanya terdeteksi dini. Namun, penanganan kanker kerap terlambat karena ketidaktahuan orangtua dan tak semua tenaga medis mengenali gejala kanker. Kendala lain, fasilitas terapi kanker terbatas sehingga harus ditempuh ribuan kilometer demi kesembuhan (Kompas, 18/1/2020).