Saat Lampu Sepeda Motor Presiden ”Muncul” di Mahkamah Konstitusi
›
Saat Lampu Sepeda Motor...
Iklan
Saat Lampu Sepeda Motor Presiden ”Muncul” di Mahkamah Konstitusi
Dua mahasiswa menjadikan peristiwa tak menyalanya lampu sepeda motor Presiden Jokowi sebagai argumen dalam sidang perdana uji materi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di MK. Berpangkal dari tilang oleh polisi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Hak-hak warga negara sama di depan hukum dan konstitusi menjamin hal itu. Kecuali ada ketentuan lain yang diatur oleh undang-undang, persamaan kedudukan di depan hukum tanpa pengecualian atau diskriminasi adalah salah satu asas penting negara hukum.
Asas itu menjadi salah satu alasan pengajuan uji materi atas Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) diajukan dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), Eliadi Hulu (23) dan Ruben Saputra H Nababan (22).
Permohonan itu dibangun atas dasar pengalaman pribadi pemohon yang ditindak dan diberi tilang (bukti pelanggaran) oleh polisi dalam perjalanan ke kampus, 8 Juli 2019. Mereka ditindak karena tidak menyalakan lampu utama sepeda motor mereka.
Eliadi dan Ruben keberatan dengan tindakan langsung yang mereka alami. Mereka lalu menguji konstitusionalitas Pasal 107 Ayat (2) dan Pasal 293 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Sebagai warga negara, mereka antara lain merasa tidak diperlakukan sama di depan hukum. Mereka mencontohkan Presiden Joko Widodo yang tidak ditilang polisi pada saat tidak menyalakan lampu sepeda motornya, 4 November 2018. Ketika itu, Presiden Jokowi sedang melintas di Jalan Sudirman, Kebon Nanas, Tangerang, Banten.
”Saat itu Presiden tidak menyalakan lampu sepeda motor yang dikemudikannya. Namun, tidak dilakukan tilang oleh polisi. Hal ini telah melanggar asas kesamaan di mata hukum,” kata Ruben, Selasa (4/2/2020), di Jakarta.
MK menggelar sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara mereka, Selasa. Sidang dipimpin Ketua Panel Sidang Suhartoyo dan dua hakim konstitusi sebagai anggota, yakni Saldi Isra dan Daniel Yusmic.
Pemohon keberatan dengan tindakan yang dilakukan polisi dengan sejumlah alasan. Pertama, ketentuan di Pasal 107 Ayat (2) yang berbunyi ”Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari” dinilai tidak memberikan kepastian dan kemanfaatan hukum.
”Ketentuan Pasal 107 Ayat (2) yang mewajibkan pengemudi sepeda motor untuk menyalakan lampu utama pada siang hari tidak bermanfaat dan justru merugikan karena menghambat kegiatan masyarakat, seperti berangkat kerja dan sekolah, karena adanya tindakan langsung,” kata Ruben.
Sebelumnya, terkait posisi Presiden di jalan raya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono mengatakan, Presiden Jokowi sebagai simbol negara pasti memiliki keistimewaan atau privilese ke mana pun ia pergi. Sementara itu, berkenaan dengan gugatan di MK itu, Argo mengatakan, hal itu hak warga negara. Dia minta publik menunggu putusan MK (Kompas.com, 14/1/2020).
Kepastian hukum
Pemohon uji materi juga menilai frasa ”siang hari” tidak dapat memberikan kepastian hukum karena batasan ”siang hari” itu tidak jelas.
”Kami menilai pukul 09.00 itu masih pagi kalau merujuk kebiasaan orang Indonesia. Jika norma yang diatur ialah ’siang hari’, harus jelas batasannya sehingga ada kepastian hukum kapan bisa disebut siang hari dan bisa menyalakan lampu utama motor,” tuturnya.
Menyalakan lampu sepeda motor pada siang hari, kata pemohon, tidak ada manfaatnya lantaran lampu utama motor tidak akan kelihatan atau kalah dengan sinar matahari. Dengan demikian, aturan menyalakan lampu utama motor pada siang hari itu juga tidak memiliki manfaat.
Aturan yang mewajibkan menyalakan lampu pada siang hingga malam hari itu, menurut pemohon, tidak hanya mengganggu orang lain, tetapi juga tidak sopan karena lampu menyorot langsung kepada warga. Lampu juga hanya bisa dimatikan ketika mesin motor dimatikan. Pemohon juga berpandangan aturan itu membuat aki motor lebih boros dan menyusahkan pengemudi ojek daring.
Hakim panel memberikan masukan kepada para pemohon, baik dalam teknis maupun substansi permohonan. Saldi, misalnya, menyarankan mereka memperbaiki pilihan kalimat saat mencontohkan Presiden Jokowi. Para pemohon antara lain menyebut, ”Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan yang, menurut Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, ikut membahas RUU.”
”Tolong carikan bahasa lainnya karena pada kenyataannya Presiden tidak ikut membahas RUU meskipun dalam konstitusi disebutkan bersama-sama dengan DPR membahas UU. Jadi, bagaimana ini dikonstruksikan dengan bahasa lainnya,” kata Saldi.
Daniel juga memberi perhatian soal contoh Presiden yang disebut pemohon. Sebab, ketika itu, posisi Jokowi sedang berkampanye. Selain itu, Daniel mengingatkan ada kewajiban menyalakan lampu, misalnya ketika kabut, jarak pandang terbatas, terowongan, malam hari, dan hujan lebat.
”Kondisi tertentu itu bukankah sudah memberikan batasan kapan lampu utama wajib dinyalakan,” katanya.
Berlaku tanpa kecuali
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, mengatakan, boleh dan sah-sah saja pemohon mencontohkan Presiden dalam permohonannya. Itu karena pada dasarnya hukum berlaku tanpa pengecualian, kecuali jika UU memang memberikan pengecualian.
”Kalau, misalnya, Presiden dinyatakan melanggar hukum karena tidak menyalakan lampu motor; ini bukan soal norma, melainkan pelaksanaan norma,” katanya.
Di sisi lain, MK adalah pengadilan yang memeriksa konstitusionalitas suatu norma dengan menggunakan batu pijakan pada pasal-pasal di dalam konstitusi. Penerapan norma atau UU menjadi wilayah penegak hukum.
Mengenai permohonan uji materi yang menyinggung soal lampu sepeda motor Presiden, menurut Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, tentu menjadi perhatian hakim.
”Permohonan itu akan dilihat dulu oleh hakim, barulah dapat diberikan penilaian mengenai relevan atau tidaknya fakta itu dijadikan bahan pertimbangan. Kalau memang contoh tindakan Presiden itu relevan, apa alasannya, dan kalau tidak relevan, kenapa alasannya,” tuturnya.
Fakta mengenai lampu sepeda motor Presiden yang tidak menyala itu, lanjut Fajar, mungkin memang ada dan ditemui praktiknya. Namun, hakim yang akan lebih jauh menilai apakah problem dalam praktik itu berpangkal dari soal implementasi norma ataukah konstitusionalitas norma.
Hakim yang memeriksa perkara ini akan melihat secara komprehensif apa yang menyebabkan problem praktik itu. Demikian pula halnya dengan peristiwa yang dialami para pemohon yang ditilang. Apakah mereka memang melanggar hukum, dan karena itu harus diberi sanksi, ataukah hukumnya sendiri yang bermasalah atau inkonstitusional. Di sisi lain, kenapa Presiden tidak ditilang, apakah itu bentuk ketidaksamaan perlakuan di depan hukum?