Infeksi virus korona galur baru dari Wuhan atau 2019-nCoV telah menjadi viral, dalam artian biologis dan sosial. Dengan perkembangan terbaru, para ilmuwan khawatir virus ini akan bersama manusia dalam waktu lama.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Infeksi virus korona galur baru dari Wuhan atau 2019-nCoV telah menjadi viral, dalam artian biologis dan sosial. Seiring dengan terus meningkatnya infeksi, virus ini juga semakin menyedot perhatian global. Data di mesin pencari Google, kata kunci ”coronavirus” telah disitasi sebanyak 871.000.000 dalam 0,42 detik.
Hingga Selasa (4/2/2020), berdasarkan kompilasi berbagai sumber data resmi dalam gisanddata.maps.arcgis.com, jumlah orang yang terinfeksi mencapai 20.659 penderita, dengan jumlah kematian meningkat menjadi 427 orang. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan dengan empat hari sebelumnya.
Hampir semua korban jiwa terdapat di China daratan dan hanya dua orang di luar, yaitu di Hong Kong dan Filipina. Jumlah kasus infeksi di China sendiri telah mencapai 20.485 orang atau empat kali lipat dibandingkan dengan wabah infeksi saluran pernapasan akut atau SARS. Wabah SARS pada 2002-2003, yang juga dipicu oleh jenis virus korona, telah menginfeksi 5.327 orang di China dan menewaskan 349 orang.
Karena bisa ditularkan oleh orang yang terinfeksi, tetapi tanpa gejala sakit alias asimptomatik, virus korona galur baru ini bisa menyebar luas tanpa terdeteksi lebih awal. Sekalipun Pemerintah China telah menutup kota-kota di pusat epidemi dan negara-negara lain menghentikan penerbangan ke sana, virus ini kemungkinan sudah telanjur menyebar ke luar.
Dengan perkembangan baru ini, banyak ilmuwan yang mulai khawatir bahwa kita mungkin menghadapi virus yang akan bersama manusia untuk waktu yang lama. Bahkan, mungkin selamanya dan virus menjadi endemik bagi manusia.Virus disebut endemik jika bersirkulasi terus-menerus dalam suatu populasi manusia. Virus influenza merupakan endemik di banyak negara dan secara periodik menjadi pandemi global.
Sekalipun saat ini belum ada angka pasti karena data terus bergerak, jika melihat tren perbandingan kasus infeksi dan jumlah korban meninggal, angka kematian rata-rata 2019-nCoV ini sekitar 2 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan SARS yang mencapai 9 persen, atau infeksi korona sindrom pernapasan timur tengah (MERS) yang mencapai 30 persen.
Dengan perkembangan baru ini, banyak ilmuwan yang mulai khawatir bahwa kita mungkin menghadapi virus yang akan bersama manusia untuk waktu yang lama.
Namun, kita tak boleh silap dengan rendahnya kematian rata-rata virus baru korona ini. Jika virus menyebar ke seluruh dunia, jumlah kematian bisa sangat besar. Tingkat kematian saat ini 2 persen, cukup tinggi untuk penyakit menular.
Kecanggihan mutasi
Kita juga harus memperhitungkan, rendahnya tingkat kematian inang menandai kecanggihan mutasi virus ini sehingga meluas dan terus bersikulasi dalam kehidupan manusia. Barangkali, virus korona galur baru ini telah belajar dari kegagalan pendahulunya, yaitu SARS dan MERS, yang lebih mematikan, tetapi hanya menular saat inangnya mengalami sakit parah.
Perlu dicatat, tujuan terbesar virus adalah untuk masuk ke dalam sel, memakai fasilitas sel untuk mereproduksi dirinya sendiri, dan kemudian menyebar ke inang berikutnya.
Belajar dari sejarah, virus yang menjadi pandemi global ternyata bukan yang memiliki tingkat kematian rata-rata tertinggi. Sebagai contoh, wabah influenza 1918 atau yang dikenal sebagai flu Spanyol yang disebabkan oleh virus H1N1 memiliki tingkat kematian rata-rata 2,5-10 persen.
Namun, virus yang ditetapkan sebagai wabah terbesar abad ke-20 ini telah menginfeksi sekitar setengah miliar orang atau sepertiga dari populasi dunia pada saat itu sehingga korban meninggal diperkirakan 50 juta orang. Sebanyak 1,5 juta korban diperkirakan berasal di Indonesia.
Bahkan, virus influenza biasa atau kerap disebut flu, yang disebabkan oleh tujuh genera virus, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahunnya telah membunuh sekitar 290.000-650.000 orang. Menurut perhitungan Pusat Pengendalian Penyakit atau Centers for Desease Control (CDC), dengan tingkat kematian rata-rata yang hanya 0,095 persen, virus flu menyebabkan 140.000-810.000 pasien dirawat di rumah sakit dan 12.000-61.000 kematian setiap tahun di Amerika Serikat sejak 2010.
Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan, termasuk melalui vaksinasi dan obat-obatan, flu masih terus menghantui. Selain karena kemampuannya yang terus bermutasi, sekitar 33 persen orang yang terinfeksi juga asimptomatis.
Untuk mencegah agar 2019-nCoV tidak menjadi endemis sebagaimana flu, jalan satu-satunya adalah mengisolasi penyebarannya, terutama di luar China. Meski banyak informasi hoaks, viralnya informasi virus korona sejak pertama diidentifikasi membantu banyak negara menjadi lebih waspada. Akibatnya, penularan 2019-nCoV di banyak negara lain tidak segawat saat wabah SARS yang saat itu awalnya cenderung ditutupi.