Bara Dendam Perundungan Menghanguskan Rekan Kerja
Pemuda di Banyuwangi membunuh dan membakar jasad rekan kerjanya. Pembunuhan itu berawal dari dendam karena selalu dirundung oleh rekannya.
”Mereka mengira dengan melampiaskan dendam, maka urusannya selesai. Nah, mereka keliru. Dengan cara itu bahkan mereka memulai urusan baru yang panjang dan lebih genting.” (Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk)
Benar memang yang dituliskan sastrawan Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk. Pelampiasan dendam yang dilakukan korban perundungan AHS (27) sehingga menyebabkan rekan kerjanya tewas justru menyeretnya menjadi pesakitan.
AHS selama ini kerja serabutan di berbagai wilayah di Jawa Timur dan Bali. Awal Januari, ia diterima bekerja di sebuah warung makan di Banyuwangi. Di tempat inilah ia bertemu dengan sejumlah rekan kerja sesama pelayan, termasuk Rosidah (18).
Selama 14 hari bekerja di rumah makan tersebut, Rosidah kerap memanggil AHS dengan sebutan ”Boboho”, ”Sumo”, dan ”Gendut”. Jenggot dan kumis yang tumbuh justru membuat AHS tampak jauh lebih macho daripada tokoh Boboho di film-film Mandarin yang khas dengan pipi tembem. Namun dengan berat badan dan tinggi yang tidak ideal, AHS memang terlihat gemuk.
Baca juga: Penemuan Mayat dalam Koper di Blitar Diselidiki
Dari sejumlah rekan kerja yang ada, hanya Rosidah yang biasa merundung AHS. Rosidah kerap memanggil AHS dengan julukan-julukan tersebut, bahkan saat AHS sedang melayani pelanggan.
”Cuma dia (Rosidah) saja yang mengejek. (Saya) tidak tahu kenapa kok selalu diejek,” ujar AHS seusai reka ulang kejadian di Polresta Banyuwangi, Rabu (5/2/2020).
Mendapat perundungan berulang-ulang dan di depan umum, membuat amarah AHS membara. Terlebih pelaku perundungan adalah orang yang baru dikenalnya selama 14 hari.
”Saya sebenarnya sakit hati, tetapi saya diam saja. Saya tidak pernah bilang, hanya saya tahan-tahan,” kata AHS.
Saya sebenarnya sakit hati, tetapi saya diam saja. Saya tidak pernah bilang, hanya saya tahan-tahan.
Pelampiasan
Bendungan kesabaran AHS akhirnya jebol. Bagaikan banjir bandang yang tak terkendali, AHS mulai merencanakan membalas kelakuan Rosidah. Dalam seminggu, ia merencanakan membunuh Rosidah.
Hingga pada Jumat (24/1/2020) pukul 17.00, AHS melancarkan aksinya. AHS berpura-pura minta tolong diantarkan pulang. AHS semula membonceng Rosidah, di tengah jalan keduanya bertukar tempat.
Baca juga: Memutus Lingkaran Tak Berujung Perundungan
Di suatu tempat yang sepi, AHS meminta Rosidah berhenti dan turun. Di tempat itulah, AHS memukul Rosidah dengan tangan kosong. Rosidah langsung jatuh tersengkur. Tak puas sampai di situ, AHS lantas mencekik sehingga akhirnya Rosidah tewas.
Di lokasi kejadian, AHS melihat tumpukan lanjaran (bambu kecil yang digunakan untuk penyangga tanaman palawija) dan terbersit untuk menghilangkan jejak kejahatan dengan membakar korban. Ia lantas membeli bensin eceran dan kembali ke lokasi untuk membakar jenasah Rosidah.
Penebusan
Tak cukup hanya membunuh. AHS yang saat itu butuh uang Rp 2,1 juta untuk menebus sepeda motornya yang digadaikan akhirnya menjual sepeda motor dan telepon genggam milik Rosidah. Dari hasil penjualan, ia mendapat uang Rp 5,25 juta.
”Dari hasil pemeriksaan, motif utama pelaku adalah untuk membalas dendam. Namun, karena sedang butuh uang, ia akhirnya menjual harta benda milik korban,” ujar Kepala Polresta Banyuwangi Komisaris Besar Arman Asmara.
Baca juga: Lagi, Perundungan Siswa di Prabumulih
Kasus ini terungkap setelah warga melaporkan penemuan mayat yang hangus terbakar pada Sabtu (25/1/2020). Polisi langsung bergerak cepat untuk mencari pelaku hingga akhirnya AHS tertangkap pada Selasa (28/1/2020).
Sejak tertangkap hingga reka ulang, sama sekali tak tampak raut sedih, takut, atau penyesalan AHS. Ia bahkan masih bisa melempar senyum kepada wartawan dan tertawa saat diajak bercanda Kapolresta Banyuwangi Komisaris Besar Arman Asmara.
Karakter dan latar belakang
Umumnya, korban perundungan cenderung menarik diri. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban perundungan justru nekat melakukan bunuh diri. Namun, yang terjadi dengan AHS, ia justru berani melakukan aksi pembunuhan yang kejam.
Psikolog RSUD Blambangan Betty Kumala Febriawati menjelaskan, setiap individu memiliki cara berbeda dalam menghadapi perundungan. Latar belakang pendidikan, lingkungan tempat tinggal, ekonomi, keluarga, dan banyak hal lain menjadi faktornya.
”Saat seseorang menjadi korban perundungan, ada yang membalas merundung, memilih diam, menarik diri, bunuh diri, dan sebagainya. Perundungan juga bisa memunculkan perilaku agresif pada korbannya. Perilaku agresif ini bisa berbentuk kekerasan fisik, verbal, atau bahkan seksual,” ungkapnya.
Baca juga: Perundungan Saudara Kandung Meningkatkan Risiko Bunuh Diri
Lantas bagaimana latar belakang, AHS? Ketua RW 001 Lingkungan Brak, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Muhammad Masykur Rofiqi mengungkapkan, AHS baru tiga tahun terdaftar dalam kartu keluarga ayah dan ibu kandungnya.
”Sejak umur 17 hari, AHS diadopsi seorang kerabat ayahnya yang tinggal di Kecamatan Blimbingsari. Namun, tahun 2017, Ayah asuhnya meninggal. AHS lantas kembali ke orangtua aslinya yang hanya tinggal di sebuah tanah kubur,” ungkapnya.
Orangtua AHS memiliki 10 anak. Namun, anak pertama hingga kedelapan meninggal dalam kandungan. Hanya AHS dan Y (20), adiknya, yang lahir dan masih hidup sampai saat ini. Berbeda dengan AHS yang sempat diadopsi, Y hidup dan tinggal bersama kedua orangtuanya.
Baca juga: Perundungan Meningkat, Kebudayaan Harus Jadi Perhatian
Rofiq mengatakan, AHS sempat mengurus surat pindah dan dimasukkan ke dalam kartu keluarga kandungnya. Namun, dalam kartu keluarga tersebut, AHS tidak dinyatakan sebagai anak kandung, tetapi famili (keluarga).
”AHS tidak aktif bersosialisasi dengan warga sekitar. Ia jarang tinggal di rumah ayahnya yang ada di atas tanah kubur itu. Namun, sebagian besar warga yang sempat berinteraksi menilai AHS bukan pribadi yang sopan karena kerap menanyakan sesuatu kepada warga tanpa turun dan mematikan sepeda motor,” kata Rofiq.
Baca juga: Kepedulian Bersama Bisa Cegah Perundungan
Dengan latar belakang dan kondisi seperti itu, Betty menilai AHS sedang dalam kondisi mental yang labil. Mengetahui kondisi dan asal-usul keluarga kandung bukanlah sebuah kondisi yang mudah diterima sebagian orang.
Saat kondisi sedang labil inilah, AHS mendapatkan perundungan. Dalam situasi tersebut, AHS memilih diam untuk menekan perasaannya. ”Ini bahaya. Perasaan yang ditekan itu bagaikan bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Tindakannya terhadap korban merupakan ledakan emosi yang terpendam,” kata Betty.
Terkait sikapnya yang santai dan tidak menunjukkan rasa penyesalan atau rasa bersalah, Betty tidak mau gegabah menyebut AHS sebagai psikopat. Menurut dia, perlu ada observasi yang lebih dalam untuk memberikan penilaian tersebut.
Ini bahaya. Perasaan yang ditekan itu bagaikan bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Tindakannya terhadap korban merupakan ledakan emosi yang terpendam
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat agar tidak melakukan perundungan. Bagaimanapun juga perundungan hanya membawa dampak buruk dan berbahaya bagi korban ataupun pelaku.
”Secara fisik, korban perundungan mungkin tampak baik-baik saja. Namun, kita tidak pernah tahu kondisi psikis orang lain. Perundungan bisa terjadi dan dilakukan siapa saja, antarteman, antarsuami-istri, atau antara orangtua dan anak. Lebih baik saling memuji dengan mengatakan hal baik daripada harus merudung,” katanya.
Baca juga: Proses Hukum Perundungan Dilanjutkan
Betty mengimbau agar orang-orang terdekat memperhatikan kerabatnya yang kerap kali mengalami perundungan. Terlebih apabila korban perundungan mengalami perubahan sikap.
Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak perundungan, yaitu look (amati), listen (dengarkan), dan link (mencari jaringan). Amati apabila terjadi perubahan sikap, dengarkan apa yang menjadi keluhan, dan cari jaringan untuk pergi kepada tenaga yang mumpuni.
Bagi korban perundungan, ia harus mampu mencari pencetus mengapa ia kerap dirundung. Korban perundungan juga harus mampu memaafkan dan melupakan hal itu. Betty sadar, memaafkan dan melupakan peristiwa pahit bukanlah hal mudah. Konsultasi dengan orang tepat bisa menjadi salah satu obat bagi korban perundungan.
Jangan sampai perundungan membuat korban yang sudah terluka batinnya terluka pula fisiknya. Atau justru korban perundungan melampiaskan dendamnya.
Seperti yang ditulis Ahmad Tohari, pelampiasan dendam yang dilakukan AHS tidak membuat urusannya selesai, tetapi memulai urusan baru yang panjang dan lebih genting.