Hari-hari Tak Biasa di Penagi, Desa Terdekat Observasi WNI di Natuna
›
Hari-hari Tak Biasa di Penagi,...
Iklan
Hari-hari Tak Biasa di Penagi, Desa Terdekat Observasi WNI di Natuna
Sebanyak 29 keluarga dari total 128 keluarga di Penagi pergi mengungsi pada Minggu (2/2) siang. Mereka khawatir tertular virus korona tipe baru di ”rumah” mereka. Namun, sembilan keluarga telah kembali.
Oleh
PANDU WIYOGA/ Priyombodo
·5 menit baca
Warga Penagi dikenal ringan tangan menolong sesama, apalagi saudara. Hati dan tangan mereka selalu terbuka memeluk yang lemah. Namun, kini mereka dipeluk keraguan dan ketakutan. Dalam diam, jauh dari perhatian orang banyak, sendirian mereka berjuang merawat karakter baik itu.
Pagi itu, Rabu (5/2/2020), jalanan di Kampung Tua Penagi, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, lengang. Sebagian besar warung dan rumah warga tertutup rapat. Perahu nelayan juga dibiarkan tertambat di dermaga. Sudah hampir empat hari, roda perekonomian di kampung itu mandek.
Sebanyak 29 keluarga dari total 128 keluarga di Penagi pergi mengungsi pada Minggu (2/2) siang. Mereka khawatir tertular virus korona tipe baru di ”rumah” mereka. Namun, sembilan keluarga telah kembali, termasuk Narti. Seperti disampaikan Ketua RT 001 Penagi Yohanes Suprianto, Selasa lalu, secara perlahan warga mulai tenang.
Sebelumnya tak ada sosialisasi dari pemerintah. Jadi, kami ketakutan waktu lihat orang pakai baju putih-putih di lanud.
Kemarin, sejumlah warga desa beraktivitas di luar rumah seperti biasa. Ada yang mengenakan masker bedah, tetapi tak sedikit yang tanpa masker. Pemukiman itu berjarak 1,3 kilometer dari hanggar pesawat di Pangkalan Udara Raden Sadjad. Di sanalah lokasi observasi bagi 238 orang yang dievakuasi dari Wuhan, China, sejak Minggu lalu hingga setidaknya dua pekan ke depan.
Lalu, kenapa sebagian warga memilih mengungsi? ”Sebelumnya tak ada sosialisasi dari pemerintah. Jadi, kami ketakutan waktu lihat orang pakai baju putih-putih di lanud. Akhirnya, kami ngungsi ke rumah saudara yang agak jauh,” kata Narti (53). Narti baru saja kembali ke rumahnya. Ia tak enak hati terlalu lama menumpang di rumah kerabat yang berlokasi sekitar 12 km dari Penagi itu.
Selain itu, dari media massa, ia juga mulai memahami, ternyata 238 orang yang dievakuasi dari Wuhan itu dalam kondisi sehat sehingga kekhawatirannya berkurang. Butuh waktu lebih dari dua hari hingga ia memahami situasi. Mayoritas warga yang tinggal di Penagi bekerja sebagai nelayan dan pedagang makanan. Begitu juga dengan Narti. Ia membuka warung makan di depan rumah yang menjual berbagai jenis kue, nasi bungkus, dan teh manis.
Semua dijual seharga Rp 1.000 agar terjangkau buruh pelabuhan yang mayoritas jadi pelanggannya. ”Sehari biasanya habis 200 porsi, tetapi, kan, untungnya cuma sedikit. Jadi, kalau beberapa hari tak bekerja seperti ini, ya, sama sekali tidak ada pemasukan,” ujarnya.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan warga saat memilih tempat observasi di Natuna. Padahal, ia yakin, seandainya pemerintah memberi tahu warga secara proporsional, kepanikan warga seperti dirinya tak perlu terjadi. Sifat warga Penagi sebenarnya sangat terbuka.
Mereka terbiasa menerima kedatangan orang baru. Pada saat Natuna masih jadi bagian dari Kecamatan Pulau Tujuh, Penagi adalah pusat perdagangan di Pulau Natuna Besar. Orang Melayu, keturunan Tionghoa, dan pendatang dari wilayah lain berbaur di tempat itu dengan damai. Hal itu misalnya terlihat dari bangunan surau yang bersebelahan dengan kelenteng di Penagi. Imlek dan Cap Go Meh setiap tahun juga dirayakan bersama secara turun-temurun tanpa memandang latar belakang kesukuan.
Pada pertengahan 1970-an, misalnya, ada banyak pengungsi dari Vietnam yang ditampung di Penagi. Saat itu, warga sama sekali tak mempermasalahkan kehadiran orang asing tersebut. Mereka senang karena bisa menolong orang lain. Bahkan, sebagian ada yang dianggap sebagai anggota keluarga. ”Apalagi, yang sekarang dievakuasi dari China itu orang Indonesia, saudara kita sendiri, mana mungkin kami menolak. Kami ini enggak marah, tetapi sedih karena tidak pernah dilibatkan,” ucapnya.
Kurang informasi
Warga lain yang juga baru pulang mengungsi, Haryono (40), mengatakan, mereka sekarang bingung harus mencari informasi kepada siapa. Kampung mereka sangat dekat dengan lanud, tetapi petugas yang setiap hari bertemu tidak dapat menjawab pertanyaan warga yang sedang dilanda ketakutan.
”Seharusnya pemerintah bisa menempatkan petugas kesehatan di sini agar warga merasa tenang. Itu juga akan berguna seandainya ada warga yang sakit supaya bisa ditangani lebih cepat,” katanya. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Natuna berencana meliburkan siswa SD dan SMP selama 14 hari sampai proses observasi WNI yang dievakuasi dari Wuhan selesai.
Namun, hal itu dibatalkan karena Kementerian Dalam Negeri menilai tidak ada alasan bagi Pemkab meliburkan siswa-siswa tersebut. Meskipun begitu, sebagian besar warga di Penagi masih melarang anaknya pergi sekolah karena khawatir pengawasan selama di kelas tidak maksimal. ”Kami ini warga kecil. Sejak dulu belum pernah melihat orang ditaruh di lokasi khusus karena penyakit. Jadi, kami memang sangat ketakutan,” ujar Haryono.
Kebanyakan warga di Penagi saat ini masih mengurangi aktivitas di luar rumah, mengurangi risiko tertular penyakit. Haryono yang juga nelayan pun belum melaut. Ia khawatir tidak ada di rumah jika terjadi sesuatu terhadap istri dan empat anaknya, selain ombak laut yang lagi tinggi.
Keramaian di Pasar Ranai, sekitar 4 km dari hanggar lanud, juga belum sepenuhnya pulih. Aktivitas jual beli tidak seramai hari-hari normal. Namun, aneka jenis dagangan, seperti sayur-mayur, daging ayam, dan ikan segar, sudah dijajakan di sana. Memang pembelinya belum seramai hari biasa. ”Ini sudah mendingan dibandingkan hari Minggu atau Senin kemarin,” kata perempuan transmigran asal Cilacap, Jawa Tengah, yang merupakan salah seorang pedagang sayuran segar di sana.
Meskipun tidak banyak, ada kios di pasar yang masih tutup, di antaranya karena kekhawatiran pada isu penularan virus. Sebagian pedagang dan pembeli saja yang mengenakan masker. Di rumahnya, Narti juga mulai berpikir kembali membuka warung, tetapi buruh pelabuhan yang selama ini menjadi pelanggannya masih takut datang ke Penagi karena lokasinya sangat dekat dengan tempat observasi. Namun, ia tidak menyerah dan bertekad melawan keraguan.
”Besok mau nyoba jualan lagi, tetapi sedikit dulu saja. Biar kalau tak laku juga ruginya tak terlalu banyak,” katanya. Ia melakukan itu karena memang masih ada buruh yang bekerja. Selasa lalu, di Natuna, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I Laksamana Madya Yudo Margono mengatakan, semua WNI yang diobservasi dalam kondisi sehat. Warga diminta beraktivitas sehari-hari seperti biasa tanpa dilanda keresahan. Warga juga diimbau beraktivitas mengenakan masker.
Hingga kemarin, satu per satu pengungsi kembali ke rumah mereka. Hal itu tidak sepenuhnya didasarkan pada pemahaman warga atas situasi sekitar mereka atau informasi yang cukup mengenai virus korona. Kesungkanan kepada saudara tempat mereka menumpang lebih utama. Jika saja sosialisasi pemerintah cukup dan memadai, observasi WNI dari Wuhan itu tidak perlu disambut kehebohan dan pengungsian. Hingga kini, Narti dan Haryono masih diselimuti kekhawatiran.