Wacana pemulangan WNI eks NIIS ke Indonesia masih dibahas pemerintah. Sejumlah pihak mengingatkan tentang bahaya pemulangan itu jika dilakukan tanpa pertimbangan matang.
Oleh
Anita Yossihara, Nina Susilo, Defri Werdiono, I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Jakarta, Kompas Pemerintah belum mengambil keputusan terkait wacana pemulangan 660 warga negara Indonesia eks anggota Negara Islam di Irak dan Suriah ke Tanah Air. Meski begitu, Presiden Joko Widodo keberatan memfasilitasi kepulangan para bekas kombatan NIIS itu ke Indonesia.
”Ya, kalau bertanya kepada saya (pribadi), saya akan bilang tidak (dipulangkan),” kata Jokowi, Rabu (5/2/2020), di Istana Merdeka, Jakarta, saat ditanya sikap pemerintah terkait pemulangan WNI eks NIIS.
Pemerintah masih akan membahas persoalan itu di dalam rapat terbatas. ”Sampai saat ini masih dalam proses pembahasan dan nanti sebentar lagi diputuskan kalau sudah di-ratas-kan,” ujar Jokowi.
Secara terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sidarto Danusubroto, menilai rencana pemulangan 660 WNI yang kini tersebar di Afghanistan, Suriah, dan Turki itu bisa menjadi preseden buruk. Kepulangan bekas kombatan kelompok garis keras itu dikhawatirkan akan melegalisasi tindakan mereka sehingga kejadian serupa bisa terulang.
”Apa yang mereka lakukan menabrak konstitusi. Jika memulangkan mereka, artinya kita melegalisasi tindakan orang yang salah,” ujarnya.
Tindakan menabrak konstitusi yang dimaksud adalah bepergian ke luar negeri secara ilegal, membakar paspor Indonesia mereka, dan menyebut Indonesia merupakan negara kafir. Di masa mendatang, pemerintah akan dituntut untuk memulangkan kembali WNI jika ada kejadian serupa.
”Harus tegas, orang yang sudah meninggalkan kewarganegaraan dengan merobek paspor, harus kita relakan. Bahwa mereka memang sudah tidak mengakui negara kita sebagai negara yang pro-Pancasila. Itu faktanya,” tutur Sidarto.
Kemarin, Presiden Jokowi melantik Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi menjadi Ketua Badan Pengkajian Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam pidatonya, Presiden meminta, dengan pengangkatan Yudian, pembumian Pancasila bisa lebih cepat terealisasi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, eks NIIS itu sebenarnya telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan, ada klausul yang menyebutkan, WNI akan kehilangan kewarganegaraan jika ”masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden” atau ”secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”.
”Mereka (eks NIIS) itu statusnya stateless,” ucap Jimly. Untuk kembali menjadi WNI, mereka harus mengikuti sejumlah prosedur yang berlaku.
Namun, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, WNI eks ISIS itu tetap memiliki hak sebagai warga negara, termasuk hak untuk mendapat perlindungan dari Negara. Oleh karena itu, menurut Mahfud, pemerintah tengah mencari formula agar aspek hukum dan konstitusi dari persoalan WNI eks NIIS tersebut terpenuhi.
Mahfud mengakui, ada kekhawatiran pemulangan WNI eks NIIS justru akan menjadi masalah di Tanah Air. Pemerintah memang memiliki program deradikalisasi untuk para eks teroris. Akan tetapi deradikalisasi tetap tak menjamin para eks NIIS tidak kembali ke aktivitas lama sebagai teroris.
“Deradikalisasi ini kan waktunya terbatas, sehingga kalau nanti diterjunkan ke masyarakat nanti kambuh lagi. Kenapa? Karena di tengah masyarakat nanti dia diisolasi, dijauhi. Kalau dijauhi, nanti jadi teroris lagi kan?,” kata Mahfud.
Soal kekhawatiran tersebut, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyarankan agar pemerintah melakukan penilaian sejauh mana mereka terpapar ideologi dan paham yang diyakini NIIS. Penilaian tersebut harus dilakukan secara cermat untuk setiap individu. Tanpa penilaian ini, bisa saja warga yang kembali ke Indonesia malah menyebarkan ideologi dan paham ISIS di Indonesia. Hal ini penting agar mereka tak malah menebarkan ideologi dan paham NIIS di Indonesia.
Yang tak kalah penting, tambahnya, pemerintah perlu berkomunikasi dengan masyarakat, termasuk pemerintah daerah, yang akan menerima kembali eks NIIS ini. Komunikasi dapat meminimalkan penolakan dari masyarakat.
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida) Hasibullah Satrawi mengingatkan pentingnya kesiapan pemerintah menangani eks kombatan NIIS ketika pulang. Sebab, mereka sudah terpapar radikalisme parah, terlatih, dan memiliki semangat tempur tinggi. Ia menyarankan agar para eks kombatan itu dikarantina dahulu dengan ketat dan menjalani deradikalisasi. Ia optimistis pemerintah memiliki tim dan perangkat untuk menjalankan program tersebut.
Sementara itu, Christian Salomo (44), korban bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004, mengatakan tak setuju jika mereka dipulangkan.