Kekerasan tak kunjung tertangani di Rakhine, Myanmar. Situasi ini semakin mempersulit repatriasi pengungsi Rohingya. Tidak ada jaminan keamanan dari Myanmar.
Oleh
·2 menit baca
Di tengah kekerasan yang terus bergulir di Negara Bagian Rakhine itu, Pemerintah Myanmar menutup kembali akses internet di dua negara bagian, yakni Rakhine dan Chin. Tidak sulit memahami mengapa pemblokiran akses internet dilakukan Myanmar. Ketika kekerasan sulit dikendalikan, langkah instan dan paling mudah diambil adalah memutus akses internet bagi warga.
Dengan langkah itu diharapkan kekerasan di satu tempat tak menyebar lewat unggahan daring, termasuk media sosial, dan menginspirasi kekerasan di tempat lain. Dengan latar belakang dan akar persoalan yang berbeda, langkah seperti itu juga dilakukan, misalnya, oleh otoritas India di Kashmir dan juga Pemerintah Indonesia saat kekerasan terjadi di Papua. Apakah langkah pemblokiran akses internet ini bisa menghentikan kekerasan, tentu, tergantung banyak faktor lainnya.
Seperti diberitakan harian ini, Rabu (5/2/2020), langkah terbaru pemutusan akses internet di Myanmar berlaku di empat kota di Rakhine, dan satu kota di Chin atas perintah Kementerian Transportasi dan Komunikasi. Akses internet di lima kota itu sebenarnya telah dipulihkan sejak September 2019. Namun, di tengah meningkatnya kekerasan di wilayah itu, Pemerintah Myanmar kembali memblokir akses internet itu. Diberitakan, pada 25 Januari 2020 sebuah desa warga etnis Rohingya dihantam tembakan artileri dan menewaskan dua perempuan dan mencederai tujuh warga lain.
Anggota parlemen setempat, warga desa, dan kelompok bersenjata Tentara Arakan menuding militer Myanmar bertanggung jawab. Militer Myanmar sebaliknya menunjuk Tentara Arakan sebagai penyerang. Sulit memverifikasi klaim mana yang benar. Yang pasti, kekerasan tak kunjung tertangani di negara bagian itu. Situasi ini membuat kita prihatin karena menghambat proses repatriasi pengungsi Rohingya, yang mengungsi ke Bangladesh setelah kekerasan meletus pada pertengahan 2017.
Padahal, repatriasi itu berulang kali ditekankan, antara lain, dalam pertemuan-pertemuan ASEAN dan PBB. Pertemuan menteri luar negeri ASEAN di Nha Trang, Vietnam, 17 Januari 2020, juga kembali menekankan repatriasi sebagai salah satu solusi krisis Rohingya. Namun, bagaimana mungkin repatriasi bisa dilakukan jika wilayah untuk merepatriasi tak aman. Jaminan keamanan ini pernah diminta para menlu ASEAN kepada Pemerintah Myanmar tahun lalu. Hingga kini jaminan keamanan itu tak ada, setidaknya seperti terlihat di lapangan.
Banyak kalangan telah memberikan sejumlah rekomendasi kepada otoritas negara itu. Misalnya, rekomendasi komisi pimpinan Kofi Annan, lalu juga ”formula 4+1” Indonesia dan lain-lain, yang mensyaratkan penghentian kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Ini tanggung jawab tak mudah, tetapi harus dijalankan Pemerintah Myanmar agar krisis ini tuntas.