Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana merevisi sejumlah kebijakan periode 2014-2019. Termasuk operasi bagi kapal ikan buatan luar negeri atau eks asing yang pernah dilarang di periode sebelumnya.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain kebijakan soal kapal eks asing, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengubah sejumlah kebijakan di era sebelumnya, yakni larangan pemakaian alat tangkap cantrang, pembatasan ukuran kapal penangkap dan pengangkut ikan, serta larangan ekspor benih lobster.
Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan memaparkan rencana itu dalam forum konsultasi publik ”Arah Baru Kebijakan: Bergerak Cepat untuk Kesejahteraan, Keadilan, dan Keberlanjutan”, di Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Revisi kebijakan itu merupakan bagian dari rencana revisi 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari jumlah itu, 18 peraturan di antaranya ada di sektor perikanan tangkap.
Koordinator Penasihat Menteri Rokhmin Dahuri menyatakan, ada setidaknya sembilan kebijakan yang akan direvisi karena dinilai menghambat dunia usaha. Draf itu antara lain memuat rencana diizinkannya kembali kapal eks asing beroperasi di perairan Indonesia, sepanjang memenuhi persyaratan.
Ia berpendapat, kapal Indonesia dengan ukuran di atas 30 gros ton (GT) jumlahnya hanya 3.600 unit atau 0,6 persen dari total kapal di Indonesia. Hal itu menyebabkan perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia kosong dan menggoda nelayan asing untuk masuk.
”Kapal eks asing mendapat stigma seolah barang haram. Kapal boleh beroperasi asalkan (kapal) sah milik (pengusaha) Indonesia,” ujarnya.
Larangan kapal eks asing tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI sebagaimana diubah dalam Permen KP No 10/ 2015. Ketentuan itu antara lain untuk mencegah kepemilikan modal asing di usaha perikanan tangkap.
Peraturan Presiden No 44/2016 tentang Daftar Negatif Investasi menyebutkan, usaha perikanan tangkap tertutup bagi modal asing. Usaha penangkapan ikan hanya boleh dilakukan pengusaha nasional dan nelayan Indonesia.
Menurut Rokhmin, dari hasil analisis dan evaluasi tim Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (Satgas 115), pihaknya mencermati ada sekitar 550 kapal ikan eks asing milik pengusaha Indonesia.
”Kapal ikan (eks asing) yang relatif clear and clean tinggal didorong. Kalau soal pajak (bermasalah), ya, tinggal pajaknya saja (diselesaikan),” katanya.
Sementara itu, ada sekitar 800 kapal eks asing yang bermasalah dan masih ada di Indonesia. Kapal-kapal itu diusulkan dibeli dan dioperasikan koperasi nelayan atau BUMN Perikanan.
Kapal eks asing boleh beroperasi dengan syarat mempekerjakan anak buah kapal (ABK) Indonesia 75 persen. Pengawasan akan ditingkatkan agar ikan tak langsung dibawa ke luar negeri, tetapi didaratkan dan diolah di Indonesia.
Dari catatan Kompas, hasil analisis dan evaluasi Satgas 115 terhadap 1.132 kapal ikan eks asing tahun 2015 menunjukkan, seluruh kapal itu terbukti melanggar. Dari jumlah itu, 769 kapal di antaranya dinilai melakukan pelanggaran berat dan 363 kapal pelanggaran ringan.
Perusahaan perikanan dinilai melakukan pelanggaran berat, antara lain, jika tidak memenuhi lebih dari separuh kriteria penilaian kepatuhan usaha serta terindikasi kuat melakukan tindak pidana, meliputi perdagangan manusia, perbudakan, penggunaan ABK asing, dan kapal berbendera ganda.
Langkah mundur
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan berpendapat, pemerintah seharusnya tetap memprioritaskan ABK dalam negeri. Secara teknik, ABK Indonesia sudah menguasai teknologi penangkapan. Izin bagi ABK asing berpotensi jadi pintu masuk bagi kapal ikan asing.
”Kebijakan ini langkah mundur. Kegiatan usaha di Indonesia tinggal sedikit yang dikelola secara mandiri, salah satunya perikanan tangkap. Jika ini diliberalisasi, kita tidak punya kemandirian,” ujarnya.
Kepala Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia Muhammad Billahmar juga menyoroti rencana mewajibkan kapal Indonesia mempekerjakan 75 persen tenaga kerja Indonesia. Hal itu mengindikasikan adanya peluang penggunaan tenaga kerja asing sebesar 25 persen. ”Kalau kapal ikan betul dimiliki pengusaha nasional, lantas buat apa menggunakan tenaga kerja asing?” ujarnya.
Ia menambahkan, dibukanya peluang untuk pemanfaatan 800 kapal eks asing yang bermasalah oleh koperasi nelayan atau BUMN perikanan juga dinilai meragukan. ”Sejauh mana kemampuan koperasi nelayan untuk memanfaatkan kapal eks asing?” ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan, draf revisi peraturan menteri akan dikaji berdasarkan hasil konsultasi publik. ”Draf ini bisa berubah 100 persen atau 180 derajat sesuai kebutuhan publik, tetapi yang terpenting (ada) solusinya. Jangan hanya egosektoral, kepentingan kita dikedepankan, tetapi tidak tahu arahnya ke mana,” kata Edhy.