Pendidikan Karakter
Karena pendidikan karakter sangat penting, maka tidak ada jalan lain, hanya guru yang menguasai bahan ajar saja yang diperkenankan untuk mengajar.
Tajuk Rencana "Kompas" (5/12/2019) yang membahas Program for International Student Assessment (PISA), membuat kita miris. Indonesia berada pada peringkat ke-66 dari 76 negara yang diuji.
Tahun 2016, kita berada di peringkat 62 dari 70 negara peserta. China menjadi pemuncak pada assessment ini. Sejak pertama PISA diadakan pada tahun 2000, kita seperti tidak berbuat apa pun, peringkat kita belum berubah signifikan. Tampaknya kita memang tidak pernah belajar dari suatu musibah.
Dalam PISA ada tiga bidang yang diukur: kemampuan membaca (memahami apa yang dibaca), matematika, dan sains. Tiga hal ini sangat fundamental, dan dalam kemampuan dasar ini pula kita terperosok ke dalam jurang yang cukup dalam. Tajuk Rencana Kompas memandang hal ini sangat ironis, di tengah euforia kita menyambut bonus demografi.
Sudah sejak Kemendikbud dipimpin oleh M Nuh kita bersiap-siap menyambut bonus demografi (virtual) ini. Tapi, sepertinya kita tidak menyiapkan apapun. Semuanya berjalan seperti biasa, business as usual.
Sudah sejak Kemendikbud dipimpin oleh M Nuh kita bersiap-siap menyambut bonus demografi (virtual) ini. Tapi, sepertinya kita tidak menyiapkan apapun.
Ibarat hujan yang terjadi terus menerus, yang kita ketahui secara jelas di depan mata kepala kita, tetapi tidak satu pun payung yang kita persiapkan. Uang habis hanya untuk upacara seremonial, tanpa ada konsep jelas, apa yang harus kita lakukan untuk menyambut bonus demografi ini.
Sejak pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), isunya sedikit bergeser, yaitu agar pendidikan karakter diperkuat. Alasannya jelas, pendidikan karakter itu sangat penting.
Baru sekarang kita menyadari bahwa karakter itu penting, dan manusia Indonesia belum memiliki karakter yang memadai. Tanpa karakter yang memadai, Indonesia tidak cukup syarat dan tidak berpotensi untuk menjadi negara maju. Untung saja kita masih ditopang oleh sumber daya alam (SDA) yang melimpah, sehingga roda kehidupan masih bisa berjalan.
Baca Juga: Salah Kaprah Pendidikan Karakter di Sekolah
Kesimpulannya, manusia yang hidup di Indonesia sekarang sebenarnya adalah manusia yang makan tabungan berasal dari alam. Ini berbeda dengan negara-negara maju, yang ditopang oleh sumber daya manusia unggul dan tidak mengandalkan SDA.
Kesimpulannya, manusia yang hidup di Indonesia sekarang sebenarnya adalah manusia yang makan tabungan berasal dari alam.
Negara-negara seperti di Eropa barat, Jepang, dan Selandia Baru secara rata-rata begitu hebat karakter manusianya: pekerja keras, akhlak yang mulia, respek terhadap sesama tanpa membedakan suku dan agama, tidak saling menyakiti dan menghina, mampu bekerja sama dalam tim, saling tolong-menolong, jujur, cinta tanah air, dan seterusnya.
Membangun karakter
Mengapa kita tidak bisa seperti mereka? Ternyata, menurut pemerintah penyebabnya adalah outcome dari sistem pendidikan kita yang tidak beres. Pendidikan kita gagal membentuk manusia yang berkarakter hebat.
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan pendidikan karakter di dalam sistem pendidikan kita? Apa syaratnya agar pendidikan karakter bisa menjadi sukses?
Kalau saya tidak membeli tiket, jawab teman saya itu, dan orang Jerman lain juga seperti itu, maka perusahaan transportasi di Jerman pasti akan bangkrut. Pemerintah Jerman tidak sanggup menggaji karyawan yang kerjanya khusus memeriksa tiket.
Kalau perusahaan transportasi bangkrut, seluruh sendi perekonomian Jerman akan lumpuh, dan seluruh sektor lainnya juga akan terseret menuju jurang kehancuran. Saya tidak mau kejadian seperti ini terjadi pada negara saya. Saya beserta seluruh keluarga saya pasti akan menderita sekali karenanya.
Sebagian besar orang Jerman berpendapat dan kompak berlaku jujur seperti itu. Hal itu diwariskan turun-temurun. Ini adalah wujud dari mencintai tanah air yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya yakin di Jepang dan negara-negara maju lainnya juga seperti itu. Karena untuk menjadi negara maju, syaratnya adalah kualitas karakter manusianya harus hebat.
Bagaimana dengan kita? Seharusnya kita bisa lebih hebat dari itu. Mengapa? Karena kita bangsa yang sangat religius, sangat takut pada pengawasan Tuhan. Kita pun punya Pancasila yang menjadi pegangan dan dasar negara kita.
Memotivasi siswa
Terkait pendidikan karakter, saya berpendapat kita tidak perlu mata pelajaran tambahan pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Setiap guru, melalui mata pelajaran yang diajarkannya, hendaknya mampu memotivasi siswanya, membentuk siswa untuk berpikir kritis, mengarahkan siswa menyayangi teman-temannya, bekerja keras, dan menanamkan nilai-nilai karakter mulia lainnya.
Guru harus mengajarkan pelajaran dengan pendekatan kasih sayang. Untuk itu memang membutuhkan kreativitas yang tinggi. Kreativitas seperti ini tentu tidak perlu diatur dalam regulasi pemerintah.
Apa syarat mutlak untuk bisa menjadi guru seperti itu? Syaratnya adalah guru harus sangat menguasai bahan ajar yang harus diajarkannya. Guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak akan mungkin memotivasi siswa, agar siswa menjadi jujur, menjadi pekerja keras dan seterusnya.
Guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak mungkin kreatif dalam mengajar. Guru seperti ini cenderung tertutup, dan tidak ingin siswa banyak bertanya. Guru seperti ini menjadi guru pemarah, guna menutupi kekurangan dan kelemahannya.
Guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak mungkin kreatif dalam mengajar. Guru seperti ini cenderung tertutup, dan tidak ingin siswa banyak bertanya.
Oleh sebab itu, yang harus dipunyai oleh Mendikbud sekarang ini adalah database kemampuan setiap guru dalam menguasai bahan ajar. Berdasarkan database inilah Mendikbud dapat membuat kebijakan ke depan.
Mendikbud dan timnya harus mempersiapkan soal yang diujikan secara online dan berbiaya murah kepada setiap guru di seluruh Indonesia. Soal yang didesain harus mampu mengungkapkan kemampuan setiap guru dalam menguasai bahan ajar.
Mendikbud dan kita semua, tentu saja, harus tahu kompetensi guru di Indonesia secara eksak. Tanpa database kompetensi guru dalam penguasaan bahan ajar, kebijakan apapun yang ditelurkan oleh Kemendikbud, hanya bersifat tambal-sulam saja.
Apalagi kita ingin memperkuat pendidikan karakter yang sangat penting buat fondasi bangsa dan negara kita. Hanya guru yang menguasai bahan ajar secara baik, yang berpotensi untuk sukses mengajarkan pendidikan karakter kepada para siswa. Sedangkan pada guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak mungkin ditugaskan untuk mengajarkan pendidikan karakter.
Karena pendidikan karakter sangat penting, maka tidak ada jalan lain, hanya guru yang menguasai bahan ajar saja yang diperkenankan untuk mengajar. Sedangkan guru yang belum menguasai bahan ajar harus dilatih terlebih dahulu, sampai betul-betul menguasai bahan yang harus diajarkannya. Sebelum menguasai bahan ajar, seorang guru tidak boleh diberi tugas berdiri di depan kelas untuk mengajar.
Kualitas pendidikan kita sudah jauh tertinggal. Hasil PISA hendaknya mampu membuat kita tersentak, bangkit, dan membuat terobosan baru. Kita harus berlari cepat, secara serentak dan kompak di seluruh Indonesia, untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita.
(Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)