Selain Penyakit, Virus Korona Juga Memancing Rasisme di Seluruh Dunia
›
Selain Penyakit, Virus Korona ...
Iklan
Selain Penyakit, Virus Korona Juga Memancing Rasisme di Seluruh Dunia
Dulu orang Islam yang terkena stigma buruk, kini giliran orang China yang dipelototi di tempat umum, begitu kesan SK Zhang, warga Sydney yang sudah tinggal di Australia selama 20 tahun.
Oleh
Harry Bhaskara, Brisbane, Australia
·5 menit baca
”Orang melihat kami seperti mereka melihat orang Islam sesudah (serangan) 9/11, seakan-akan semua orang Islam teroris,” kata Zhang merujuk pada serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, seperti dikutip Australian Broadcasting Corporation (ABC).
Sesudah virus korona merebak di Wuhan, China, Desember lalu, orang-orang bertampang Asia menjadi serba salah karena selain takut pada virus, mereka juga menjadi target tindakan rasis dan pelototan orang, ujar Zhang, yang sehari-hari menggunakan angkutan umum.
”Belum ada yang memaki, tetapi saya bisa merasa pandangan orang yang tidak senang ketika saya masuk ke dalam kendaraan umum. Orang melihat saya sepertinya berpikir saya membawa virus,” katanya. Sampai saat ini, virus korona telah menewaskan 494 orang di China dan menulari lebih dari 24.000 orang lainnya serta telah tersebar di lebih dari 20 negara.
Di Brisbane, Australia, beredar hoaks di media sosial yang seolah berasal dari Departemen Kesehatan Queensland yang mewanti-wanti orang agar tidak pergi ke beberapa kawasan yang banyak dihuni oleh orang China. Departemen kesehatan telah mengonfirmasi bahwa unduhan itu hoaks belaka.
Saya tidak pergi ke luar negeri. Komentar itu tidak lucu.
Seorang pelayan toko di Brisbane siap dengan masker di dekatnya. Apabila melihat calon pembeli bertampang China, ia langsung memasangnya. Pelayan lain masih lebih sopan karena bertanya dulu apakah pembeli baru datang dari China. Wartawan ABC, Iris Zhao, menuliskan pengalaman pribadinya. Ketika ia mendorong kereta belanjaannya di supermarket, seorang ibu setengah baya melewatinya sambil berkata, ”Orang Asia… tinggal di rumah saja… jangan menyebar virus.” Zhao tidak sendiri.
Seorang ahli bedah di Gold Coast, Rhea Liang, mengatakan, seorang pasiennya secara bercanda mengatakan tidak mau menjabat tangannya karena takut virus korona. ”Saya tidak pergi ke luar negeri. Komentar itu tidak lucu,” tulisnya. Seorang lain bercerita, pelayan restoran melempar saja uang kembalian ke atas meja sebelum cepat-cepat berlalu sesudah orang ini membayar di sebuah restoran di Melbourne.
Seorang lain yang memakai masker ketika berada di sebuah pertokoan diteriaki oleh tiga remaja: ”Daag! Pergi sana, tangkap itu virus korona.” Padahal, mereka ini tinggal di Australia, tidak bepergian ke China baru-baru ini, atau berhubungan dengan orang yang terjangkit atau dicurigai terjangkit virus korona.
Resah
Andrew Branchflower, seorang guru sekolah di Geelong, kota pelabuhan 75 kilometer di barat daya Melbourne, yang baru pulang dari China bersama keluarganya, mengatakan, ia sangat resah membaca berbagai celotehan di media sosial. ”Istri saya orang China. Anak-anak saya mirip ibunya. Retorika tentang Bahaya Kuning yang menyebar begitu cepatnya membuat saya khawatir dan marah,” tulisnya di cuitannya.
Branchflower mengatakan, ia gelisah memikirkan anak-anaknya yang baru berusia empat dan satu tahun jika membaca prasangka yang beredar secara daring. ”Untungnya komunitas Asia Australia menyampaikan protes,” katanya kepada ABC.
Pada Rabu (29/1/2020), beberapa anggota komunitas China di Australia melakukan kampanye daring untuk memprotes salah kaprah penyebutan penyakit China untuk virus korona di surat kabar The Herald Sun dan The Daily Telegraph. The Herald Sun menulis ”Ribut-ribut soal Virus China” dan The Daily Telegraph menulis ”Anak-anak China Tinggallah di Rumah” di kepala berita.
Para pemrotes khawatir kepala berita seperti itu membuat warga China Australia jadi target diskriminasi. Lebih dari 50.000 orang setuju dengan petisi di Change.org ini dan menuntut permintaan maaf dari kedua surat kabar tersebut.
”Tidak ada yang menyebut virus ebola sebagai virus Kongo. Tidak ada yang menyebut BSE (bovine spongiform encephalopathy) atau sapi gila sebagai virus Eropa atau Perancis atau Amerika. Coba tunjukkan sedikit rasa hormat dan kemanusiaan!” tulis Anna Ou di situs tersebut.
Rasis
Kejadian seperti ini tidak terbatas di Australia saja. Di beberapa negara Asia sudah ada kampanye untuk menghentikan kedatangan orang China meski mereka sehat. The New York Times melaporkan, koran Perancis, Le Courrier Picard, meminta maaf sesudah dikritik karena menggunakan kepala berita ”Awas Bahaya Kuning”.
Surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, juga dikritik sesudah memuat kartun yang menggantikan bintang di bendera China dengan ikon virus korona. Jyllands-Posten tidak mau meminta maaf dengan alasan kartun itu tidak menyinggung China. Orang-orang Asia di Kanada juga mengalami tindakan rasis, bukan kali pertama.
”Kalau sebuah penyakit dipelintir menjadi amunisi rasisme, orang-orang biasa menderita dan trauma serta keresahan itu akan tetap tinggal,” tulis Carrianne Leung di cuitannya, seperti dikutip ABC. Leung pernah meneliti dampak ”bahaya kuning” pada komunitas Asia di Kanada ketika SARS (sindrom pernapasan akut parah) berkecamuk pada 2002. Penelitiannya menemukan ”kepanikan pada orang asing” (xenophobic panic) dan pandangan bahwa imigran Asia ”kotor dan penyakitan”.
Merebaknya virus korona seharusnya memperkuat solidaritas antarbangsa, bukan sebaliknya.
Namun, bukan orang asing saja yang curiga dan bersikap diskriminatif terhadap orang berlatar belakang China. Penduduk Wuhan sendiri disalahkan dan didiskriminasi oleh orang China yang tinggal di daerah lain, tulis Iris Zhao di ABC. Orang yang datang dari Wuhan, baik yang sehat maupun yang sakit, sering dicari dan dilaporkan ke polisi ketika mereka mengunduh foto mereka di media sosial untuk sekadar menginformasikan bahwa mereka berada di luar kawasan yang terjangkiti virus korona.
Situasi itu tentu memprihatinkan. Virus, apa pun dan dari mana pun asalnya, adalah bahaya dan ancaman bagi umat manusia secara keseluruhan. Bahaya itu seharusnya dihadapi bersama, bukan malah membangun ”batas-batas” baru yang merendahkan manusia lain. Merebaknya virus korona seharusnya memperkuat solidaritas antarbangsa, bukan sebaliknya. (JOS)