Sumber daya manusia tetap jadi faktor penting dalam revolusi industri, termasuk dalam industri 4.0. Ada perubahan model industri, dari padat karya menjadi padat teknologi, yang mesti dihadapi.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan teknologi, termasuk dalam konteks era revolusi industri keempat, pada hakikatnya untuk meningkatkan efisiensi. Penyiapan sumber daya manusia menjadi hal penting dalam menyikapi perkembangan dan penerapan teknologi, termasuk di sektor manufaktur.
”Melalui teknologi dapat diciptakan output (keluaran) lebih banyak tanpa harus banyak keluar uang untuk biaya input (masukan),” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Terkait biaya masukan, menurut Faisal, hal yang sudah menjadi keniscayaan adalah akan terjadi transformasi proporsi, dari semula padat karya menjadi padat teknologi. ”Itu konsekuensi dari (era industri) 4.0,” ujarnya.
Ketika industri lebih efisien karena menggunakan teknologi sehingga bisa memproduksi lebih banyak, ada pula potensi transformasi ketenagakerjaan yang tercipta dari segi pendukungnya.
Ada juga sektor jasa pendukung bagi industri yang muncul, misalnya dari sisi pengiriman, pemasaran, dan pengemasan. ”Akan tetapi, input pekerja di produksinya biasanya akan menyusut,” ujar Faisal.
Selain ada pergeseran berupa penyusutan di sisi hulu dan penambahan tenaga kerja di sisi hilir, ada juga perubahan kemampuan tenaga kerja yang harus disiapkan.
Perubahan kemampuan tenaga kerja dinilai tidak gampang dan dapat dilakukan dengan cepat. ”Makanya untuk mendorong industri 4.0 harus mempertimbangkan banyak hal,” kata Faisal.
Apabila melihat kondisi struktur tenaga kerja sekarang, kata Faisal, Indonesia harus hati-hati dalam menjalani transisi, termasuk menyangkut tahapannya. ”Apabila mendadak atau cepat sekali, orang tidak akan bisa mudah pindah kemampuan,” ujarnya.
Perubahan kemampuan tenaga kerja dinilai tidak gampang.
Selain tahapan transisi, menurut Faisal, harus ada pemilahan sehingga tidak semua sektor industri didorong terlibat dalam penerapan industri 4.0. ”Sebab, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia beda dengan negara-negara lain yang sudah mengoperasikan teknologi 4.0,” katanya.
Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia tentu beda dengan Singapura atau Thailand yang tingkat penganggurannya hampir nol. ”Agak mirip mungkin dengan China karena tenaga kerjanya besar. Tapi karena produktivitasnya besar, maka tingkat serapan tenaga kerja di China juga banyak,” kata Faisal.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, program pelatihan peningkatan kemampuan dibutuhkan untuk bisa menjawab sumber daya manusia industri. ”Hal ini dikaitkan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi industri dalam meningkatkan efisiensi produksi,” katanya.
Menurut Agus, cara meningkatkan efisiensi produksi antara lain dengan mengadaptasi teknologi yang sudah ada, yakni teknologi 4.0. Peta jalan Making Indonesia 4.0 menetapkan lima sektor yang diprioritaskan dalam pengembangan industri 4.0, yaitu otomotif, elektronika, kimia, tekstil, dan makanan minuman.
”Kami percaya setiap industri, khususnya lima sektor industri yang didorong, kalau bisa menerapkan teknologi 4.0 di industri masing-masing, pasti akan ada efisiensi, paling tidak dalam proses produksi,” ujarnya.
Agus berkeyakinan, efisiensi dapat memunculkan daya saing yang kuat, baik di level domestik maupun global. Penguasaan industri 4.0 bisa menjadi kunci untuk membantu industri agar berkembang.
”Dengan efisiensi dan penguatan daya saing, kami harapkan industri bisa tumbuh. Adanya industri-industri lain yang tumbuh pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja,” kata Agus.
Merujuk data Badan Pusat Statistik per bulan Agustus 2015 sampai dengan 2019 yang diolah Kementerian Perindustrian, ada peningkatan jumlah tenaga kerja sektor industri. Jumlah tenaga kerja sektor industri pada Agustus 2015 tercatat 15,54 juta orang yang naik menjadi 15,87 orang pada Agustus 2016.
Pada Agustus 2017, jumlah tenaga kerja sektor industri naik menjadi 17,56 juta orang. Jumlah tenaga kerja sektor industri naik lagi menjadi 18,25 juta orang pada Agustus 2018 dan menjadi 18,93 juta orang pada Agustus 2019.
Kemenperin memiliki dua skenario proyeksi tenaga kerja sektor industri pada 2020, yakni 19,59 juta orang (skenario rendah) dan 19,66 juta orang (skenario tinggi). Asumsi skenario rendah mencakup iklim usaha tidak lebih baik, penurunan ekspor, upah minimum terus meningkat tanpa diimbangi peningkatan produktivitas tenaga kerja, peralihan kompetensi tenaga kerja (digital ekonomi) dan tenaga kerja yang tersedia belum beradaptasi.
Adapun asumsi skenario tinggi adalah ketika iklim usaha membaik sehingga memacu investasi atau meningkatkan populasi industri sehingga lapangan kerja meningkat.
Kepastian
Terkait tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dan upaya yang dapat dilakukan untuk menggenjot konsumsi dan investasi ke depan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono menuturkan arti penting kepastian investasi dan usaha. ”Pemerintah harus menyinkronkan aturan pusat dan daerah. Aturan yang tidak pro-industri segera dibereskan,” kata Fajar.
Fajar menuturkan, sistem pelayanan untuk pengajuan perizinan tunggal secara elektronik (online single submission/OSS) belum dapat diimplementasikan secara sempurna di Indonesia.