Vatikan-IMF: Ekonomi Jangan Abaikan Budaya Kehidupan
Mereka yang terlibat dalam kehidupan bisnis dan ekonomi memiliki panggilan mulia untuk melayani demi kebaikan bersama. Ini bukan masalah ”memiliki lebih banyak” (having more), tetapi justru ”menjadi lebih” (being more).
Ekonomi tanpa etika akan mengabaikan budaya kehidupan. Sebuah sistem ekonomi yang lepas dari etika tidak akan membawa tatanan sosial yang lebih adil, tetapi justru mengarah pada konsumerisme dan pemborosan berlebihan.
Begitu seruan Paus Fransiskus saat bertemu dengan Dewan Kapitalisme Inklusif di Vatikan, Italia, Rabu (5/2/2020). Dewan Kapitalisme Inklusif adalah dewan yang menangani pengentasan rakyat dari kemiskinan di berbagai negara.
Kapitalisme inklusif menunjuk pada dua hal, yaitu kemiskinan dan korporasi. Terminologi ini menjelaskan tentang kemiskinan merupakan masalah yang signifikan. Untuk itu, korporasi harus turut serta mengentaskannya dengan berbagai cara dan upaya.
Misalnya dengan mengembangkan usaha di daerah-daerah tertinggal untuk menciptakan lapangan kerja. Korporasi juga dapat menjual barang dan jasa kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang mengarah pada peningkatan gizi, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan, bukan pada kekuatan politik atau kepentingan tertentu.
Dalam kesempatan itu, Paus juga mengingatkan, mereka yang terlibat dalam kehidupan bisnis dan ekonomi memiliki panggilan mulia untuk melayani demi kebaikan bersama. Mereka bisa berusaha meningkatkan barang-barang dunia dan menjadikannya lebih mudah diakses semua orang.
”Ini bukan masalah ’memiliki lebih banyak’ (having more), tetapi justru ’menjadi lebih’ (being more),” kata Paus Fransiskus dalam Vatikan News.
Mengacu pada ensiklik Laudato Si: On the Care for Our Common Home (Terpujilah Dia, dalam Kepedulian untuk Rumah Kita Bersama), Paus Fransiskus mengatakan, bisnis adalah panggilan mulia yang dapat diarahkan untuk menghasilkan kekayaan dan meningkatkan kualitas dunia. Ini bisa menjadi sumber kemakmuran yang bermanfaat di berbagai tempat.
”Salah satu manfaatnya adalah penciptaan lapangan kerja sebagai bagian penting layanannya untuk kebaikan bersama,” ujarnya.
Bisnis adalah panggilan mulia yang dapat diarahkan untuk menghasilkan kekayaan dan meningkatkan kualitas dunia. Ini bisa menjadi sumber kemakmuran yang bermanfaat di berbagai tempat.
Pemimpin tertinggi Vatikan itu menggarisbawahi perlunya memperbarui hati dan pikiran sehingga manusia dapat selalu ditempatkan di pusat sosial, kehidupan budaya, dan terlebih ekonomi.
Dia mendorong Dewan Kapitalisme Inklusif mempertahankan jalan solidaritas yang murah hati. Paus juga berharap agar mereka bekerja untuk mengembalikan ekonomi dan keuangan ke pendekatan etis yang menguntungkan umat manusia.
”Tumbuhkan kapitalisme inklusif yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang dan tidak membuang saudara-saudari kita. Kembangkan ekonomi kemanusiaan,” katanya.
Baca juga: Dunia Memasuki Abad Adaptasi
Budaya solidaritas
Sementara itu, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga berpendapat serupa saat menjadi pembicara kunci dalam lokakarya ”Bentuk Baru Solidaritas” di Akademi Ilmu Sosial Kepausan, Vatikan, Rabu. Dalam kesempatan itu, Georgieva menjawab pertanyaan, ”Apa prioritas baru bagi ekonomi global?”
”Biarkan saya memberi Anda jawaban singkat. Dalam kata-kata Paus Fransiskus, tugas pertama adalah menempatkan ekonomi untuk melayani orang-orang,” kata Georgieva.
Tugas pertama adalah menempatkan ekonomi untuk melayani orang-orang.
Menurut dia, ini adalah deskripsi indah tentang dunia yang diinginkan. Dunia yang mengedepankan pelayanan terhadap manusia inilah yang dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan di abad ke-21.
Menempatkan ekonomi untuk melayani manusia ini juga menyangkut tujuan dasar kepemimpinan di sektor publik dan swasta. Setiap manusia di dunia, termasuk para pemimpin negara dan korporasi, dipanggil sebagai ”pelayan”, tidak untuk melayani diri sendiri, tetapi melayani orang lain dengan pikiran terbuka dan hati yang baik.
”Hal ini penting untuk membangun dan mengembangkan ekonomi kita. Ekonomi yang kita miliki sekarang bisa menjadi sumber harapan yang kuat dan suar cahaya. Namun, ekonomi yang sama telah memberikan bayangan gelap,” katanya.
Menurut Georgieva, selama tiga dekade terakhir, angka kematian anak di dunia telah berkurang separuhnya dan lebih dari 1 miliar orang telah keluar dari kemiskinan ekstrem. Ini adalah prestasi luar biasa, belum pernah terjadi sebelumnya dalam rentang sejarah manusia.
Baca juga: Kebijakan yang Membuai Kaum Kaya
Kendati demikian, ketimpangan masih ada dan negara-negara tertinggal semakin kesulitan mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju. Di sisi lain, struktur ekonomi yang berkembang selama ini turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
”Tak mengherankan jika banyak orang berpendapat kapitalisme lebih banyak menyumbang risiko ketimbang kebaikan,” ujarnya.
Kapitalisme telah menjadikan kepercayaan terhadap lembaga tradisonal menurun. Kapitalisme juga turut memicu meningkatkan polarisasi politik dan ekonomi, serta ketegangan sosial. Kapitalisme juga turut berkontribusi terhadap kerusakan alam dan perubahan iklim.
Kapitalisme juga melahirkan budaya korupsi. Pada saat sebuah negara membutuhkan dana besar untuk membangun dan menyejahterakan warganya, korupsi justru menggerogotinya. Mereka yang seharusnya membayarkan pajak justru menghindari dan menggelapkan pajak serta melakukan pencucian uang.
Baca juga: Paus Fransiskus Kecam Keras Budaya Korupsi
Georgieva menyebutkan, kekayaan di pusat-pusat keuangan luar negeri secara global diperkirakan 7 triliun dollar AS atau 8 persen dari produk domestik bruto dunia. Sebagian besar kekayaan itu diperkirakan berasal dari kegiatan terlarang.
IMF mencatat, di negara-negara di luar negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kehilangan pendapatan sekitar 200 miliar dollar AS per tahun. Hal itu terjadi karena perusahaan dapat mengalihkan keuntungan ke lokasi pajak rendah.
Georgieva menegaskan, pendapatan yang hilang ini membuat sebuah negara yang ekonominya rapuh dan negara-negara yang berpenghasilan rendah meningkatkan pertumbuhan dan lapangan kerja. Mereka juga kesulitan memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan membangun ekonomi inklusif.
”Korupsi menghalangi pertumbuhan dan menghancurkan fondasi ekonomi dan sosial. Saat ini kita juga membutuhkan budaya solidaritas global dan membangun ekonomi kemanusiaan. Ekonomi yang melayani semua orang,” ujarnya.
Korupsi menghalangi pertumbuhan dan menghancurkan fondasi ekonomi dan sosial. Saat ini kita juga membutuhkan budaya solidaritas global dan membangun ekonomi kemanusiaan. Ekonomi yang melayani semua orang.
Untuk merealisasikannya, lanjut Georgieva, dunia perlu menjamin berjalannya pertumbuhan inklusif dan berintegrasi mempromosikan globalisasi harapan. Dunia juga perlu bertindak terhadap kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim melalui aksi iklim, merawat rumah bersama.
Di pengujung acara itu, Georgieva mengutip pernyataan sastrawan Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910). ”Semua keanekaragaman, semua pesona, dan semua keindahan kehidupan itu terbangun dari cahaya dan kegelapan. Mari kita bertindak,” pungkasnya.