Jaga Konsumsi agar Tak Melemah
Kondisi perekonomian di dalam negeri perlu diperkuat untuk menghadapi kondisi global. Daya dukung konsumsi terhadap perekonomian dijaga.
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian dalam negeri perlu diperkuat dan potensinya dimaksimalkan. Ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dimanfaatkan secara optimal.
Pelemahan konsumsi–sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia–yang mulai terlihat dijaga agar tidak berlanjut. Pemerintah mesti berhati-hati mengeluarkan kebijakan agar tidak berdampak negatif terhadap kemampuan belanja masyarakat.
Berbagai langkah ini untuk menghadapi risiko perekonomian global yang meningkat pada awal tahun ini. Kendati risiko akibat perang dagang Amerika Serikat dan China sedikit mereda, dunia meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko akibat kondisi darurat global merebaknya virus korona tipe baru yang berawal di Wuhan, China.
Tambahan risiko lain adalah konflik AS-Iran dan perkembangan Brexit.
”Melihat kondisi global seperti sekarang yang ketidakpastiannya semakin tinggi, mestinya kita harus segera memperkuat ekonomi dalam negeri. Kita maksimalkan potensi ekonomi dalam negeri karena harapan kita terhadap kondisi luar itu tidak besar atau sangat tidak pasti,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada 2019. Dari angka itu, konsumsi masyarakat menyumbang 2,73 persen, disusul investasi yang menyumbang 1,47 persen.
Konsumsi rumah tangga yang pada 2017 tumbuh 4,94 persen secara tahunan membaik menjadi 5,05 persen tahun 2018. Namun, pada 2019, pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi 5,04 persen.
Pada triwulan IV-2019, konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,97 persen secara tahunan, lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III-2019 yang sebesar 5,01 persen secara tahunan.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat pada triwulan I-2020, kata Faisal, dikhawatirkan bisa kurang dari 5 persen.
”Ada tarik ulur dengan kondisi APBN. Namun, dalam kondisi seperti sekarang, menurut saya, antara memilih kondisi APBN dan kondisi perekonomian–khususnya konsumsi rumah tangga–mestinya kita harus menyelamatkan dulu konsumsi rumah tangga karena dampaknya terhadap perekonomian lebih luas atau besar,” kata Faisal.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengingatkan daya dukung konsumsi rumah tangga yang semakin melemah terhadap perekonomian.
Pertumbuhan konsumsi pemerintah juga melambat, dari 4,8 persen secara tahunan pada 2018 menjadi 3,25 persen tahun 2019. Kondisi ini disebabkan penurunan realisasi belanja barang operasional dan nonoperasional, serta belanja jasa.
Daya dukung konsumsi rumah tangga semakin melemah terhadap perekonomian.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa disebabkan perubahan pola konsumsi, misalnya kelompok kelas menengah atas tidak rutin berbelanja pakaian baru karena pakaian bukan prioritas utama.
Baca juga: Indonesia Tak Beranjak dari Kisaran 5 Persen
Jaga daya beli
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir memaparkan, dalam jangka pendek, pemerintah fokus menjaga daya beli kelompok 40 persen penduduk miskin dan rentan miskin. Selain penyaluran belanja sosial, daya beli akan ditingkatkan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Tarif pajak dan suku bunga kredit usaha rakyat juga diturunkan.
Sementara, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyarankan agar pemerintah mendorong pengeluaran yang berdampak langsung terhadap konsumsi. ”Atau arahkan pada infrastruktur yang dampaknya ke area padat penduduk untuk sementara waktu,” ujarnya.
Sebaliknya, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu meyakini pertumbuhan konsumsi meningkat secara bertahap pada 2020. Kondisi ini bisa dicapai dengan syarat laju inflasi dapat dikendalikan.
”Ke depan, harga komoditas yang lebih rendah serta ketidakpastian eksternal dan domestik turut berkontribusi terhadap pelemahan investasi dan konsumsi,” ujar Febrio.
Oleh karena itu, pengendalian inflasi pada awal 2020 mesti didukung kebijakan moneter yang hati-hati.
Inflasi pada 2019 sebesar 2,72 persen. Tahun ini Bank Indonesia menargetkan inflasi pada kisaran 2-4 persen. Dalam asumsi makro APBN 2020, inflasi diproyeksikan 3,1 persen.
Sementara, pertumbuhan ekonomi dalam asumsi makro APBN 2020 sebesar 5,3 persen. BI memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh 5,1-5,5 persen tahun ini.
Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika menyebutkan, pemerintah memiliki tiga ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, mengoptimalkan penyaluran kredit yang sudah disetujui, tetapi tidak direalisasikan sebesar Rp 1.600 triliun.
”Jumlah ini sekitar dua kali lipat dari total investasi tahunan nasional. Masalah ini harus diurus satu per satu sehingga bisa dieksekusi,” kata Erani.
Ruang berikutnya, tutur Erani, adalah perizinan, kontrak, registrasi properti, persoalan pajak, dan efisiensi perbatasan. Berbagai hal itu menghambat investasi sehingga mesti dituntaskan.
Adapun ruang terakhir yang bisa dimanfaatkan adalah mengintegrasikan sektor pariwisata, manufaktur, ekonomi kreatif, energi, dan pangan, dengan teknologi dan informasi. Proses ini mesti dilakukan dengan cepat agar menjadi nilai tambah ekonomi.
Investasi
Terkait harapan mendorong pertumbuhan melalui investasi, Faisal mengatakan, permasalahan investasi adalah pada sistem. Oleh karena itu, tidak bisa diselesaikan hanya dengan omnibus law.
Pada 2019, investasi tumbuh 4,45 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan 2017 yang sebesar 6,15 persen dan 2018 yang 6,64 persen.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi di Indonesia pada 2019 sebesar Rp 809,6 triliun.
Adapun terkait industri, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Kemenperin memproyeksikan industri tumbuh 5,3 persen pada 2020.