Tindak kejahatan atau pelanggaran di sektor perikanan pada masa lalu hendaknya jadi pelajaran. Tata kelola yang sudah terbentuk mesti dijaga.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka investasi asing di usaha perikanan tangkap menuai sorotan sejumlah kalangan. Modal asing yang akan masuk ke sektor usaha itu dikhawatirkan mengulangi modus pelanggaran seperti yang marak terjadi di masa lalu.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat, pemerintah terkesan menggampangkan tata kelola kelautan dan perikanan. Ada kesan, pemerintah tidak mau belajar dari sejumlah tindak kejahatan di usaha perikanan tangkap pada masa lalu.
Akses penangkapan ikan yang dibuka bagi pemodal asing dan pengawasan yang lemah telah memicu sejumlah tindak pidana perikanan. Tindak pidana itu antara lain manipulasi pelaporan hasil tangkapan ikan, kehilangan potensi pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta hilangnya kesempatan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia untuk bekerja di sektor penangkapan ikan.
”Kebijakan ini justru menunjukkan langkah mundur pemerintah. Tata kelola perikanan yang sudah dijaga 5 tahun terakhir akan hancur,” kata Abdul Halim di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Kondisi itu akan bertambah buruk jika kapal-kapal asing tersebut boleh melakukan alih muatan kapal (transshipment). Di masa lalu, ikan-ikan hasil tangkapan oleh kapal asing banyak dilarikan ke luar negeri atau negara asal kapal. Akibatnya, sumber daya ikan terkuras sehingga negara dirugikan.
”Investasi asing sebaiknya dibatasi tetap pada usaha pengolahan pemasaran ikan. Apabila usaha penangkapan ikan dibuka, pelaku usaha kapal perikanan di dalam negeri, khususnya skala kecil dan menengah, akan kehilangan kesempatan untuk maju,” katanya.
Investasi asing pada usaha kapal perikanan merupakan bagian dari revisi 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari jumlah itu, 18 aturan di antaranya di sektor perikanan tangkap. Paparan mengenai draf revisi kebijakan antara lain disampaikan dalam forum konsultasi publik: ”Arah Baru Kebijakan: Bergerak Cepat untuk Kesejahteraan, Keadilan dan Keberlanjutan”, di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Dalam revisi kebijakan itu, pemerintah antara lain mendorong hak pengelolaan pada 14 sentra kelautan dan perikanan dan terpadu (SKPT) untuk pengusaha nasional maupun pengusaha internasional melalui penanaman modal asing atau kerja sama operasi.
Di samping keran investasi asing pada usaha penangkapan ikan, kapal-kapal asing itu juga dimungkinkan menggunakan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan asing maksimum 25 persen. Pemerintah juga berencana mengizinkan pengoperasian kembali kapal-kapal buatan luar negeri yang pada 2015-2019 dilarang beroperasi.
Pengawasan lemah
Halim menambahkan, peraturan larangan kapal asing dan kapal buatan luar negeri telah memberi kesempatan bagi nelayan lokal untuk leluasa menangkap ikan di dalam negeri. Hal ini dikhawatirkan membatasi gerak kapal-kapal nelayan lokal. Apalagi, tidak ada mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas untuk memastikan kapal-kapal asing itu tidak masuk ke perairan teritorial.
Secara terpisah, Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengemukakan, pemerintah sedang mengevaluasi operasional 14 SKPT di gerbang terdepan perairan Indonesia. Lokasi SKPT yang dinilai tidak tepat akan dipindah, mengutamakan investor dalam negeri untuk mengelola sentra perikanan tersebut, serta mengundang investor asing.
Pembatasan investasi asing hanya untuk pengolahan ikan, menurut Rokhmin, tidak efektif. Perusahaan asing tidak mau membuka industri pengolahan di Indonesia karena tidak ada jaminan bahan baku. Jaminan bahan baku bisa dipastikan jika pengusaha asing juga diberi izin menangkap ikan.
”Kalau (pemenuhan bahan baku) industri hanya mengandalkan kemitraan dengan nelayan lokal, kontinuitas pasokan tidak menentu. Industri pengolahan dapat membangun industri hulu untuk memasok maksimal 50 persen kebutuhan bahan baku, selebihnya wajib beli dari nelayan setempat,” ujarnya.
Ia menambahkan, kapal ikan asing wajib mempekerjakan 75 persen ABK Indonesia. Operasional kapal asing akan dimonitor pemantau, aparat pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan KKP, maupun bea cukai. Perusahaan Samsung, misalnya, sudah menjajaki usaha kawasan perikanan terpadu di Indonesia bagian timur, misalnya di Papua Barat dan Maluku Utara.
Alasannya, jarak dari perairan timur Indonesia ke Busan hanya sekitar 3 jam.
Di sisi lain, pembukaan kembali operasional kapal-kapal buatan luar negeri akan memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Diperkirakan, 550 kapal buatan luar negeri yang sudah dianalisis dan dievaluasi Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (Satgas 115) merupakan kapal milik pengusaha Indonesia.
Larangan izin kapal buatan luar negeri tercantum dalam Permen-KP Nomor 56/2014 tentang Moratorium (penghentian sementara) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI sebagaimana diubah dalam Permen-KP No 10/ 2015. Ketentuan itu, antara lain, untuk mencegah kepemilikan modal asing dalam usaha perikanan tangkap.
Penghentian izin kapal eks asing ataupun kapal asing diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Daftar Negatif Investasi. Dalam perpres tersebut, usaha perikanan tangkap tertutup dari modal asing. Usaha penangkapan ikan hanya boleh dilakukan pengusaha nasional dan nelayan Indonesia.
Berdasarkan catatan Kompas, Satgas 115 menyebutkan sebagian kapal buatan luar negeri atau eks asing dimiliki perusahaan asing. Pengendali kegiatan kapal buatan luar negeri ditengarai perusahaan-perusahaan asing yang menjadi mitra.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Mohammad Abdi Suhufan menilai, pengawasan tenaga kerja perikanan dan kegiatan perikanan saat ini masih lemah. Pembukaan kesempatan bagi investasi asing untuk perikanan tangkap berpotensi memicu kembali praktik alih muatan kapal di tengah laut, dilarikannya sumber daya ikan, hingga terjadinya praktik kerja paksa dan perdagangan orang. (LKT)