Negara Produsen Sawit Protes Kebijakan Diskriminatif Uni Eropa di Sektor Pangan
›
Negara Produsen Sawit Protes...
Iklan
Negara Produsen Sawit Protes Kebijakan Diskriminatif Uni Eropa di Sektor Pangan
Uni Eropa kembali menghambat ekspor minyak sawit ke negara-negara anggotanya. Kali ini hambatan tersebut bakal diterapkan lewat aturan soal standar keamanan pangan yang dinilai mendiskriminasi minyak kelapa sawit.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uni Eropa tengah membahas aturan standar keamanan pangan yang dinilai diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit. Dewan Negara-negara Penghasil Kelapa Sawit atau CPOPC menolak penerapan kebijakan itu.
Standar keamanan minyak pangan itu salah satunya secara spesifik berkaitan dengan batas kandungan maksimum zat 3-monochloropropanediol (3-MCPD). Zat ini tergolong sebagai kontaminan dalam minyak dan lemak pangan.
Deputi Direktur Eksekutif CPOPC Dupito D Simamora menuturkan, Jumat (7/2/2020), Uni Eropa (UE) meminta catatan dan keberatan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa dalam tiga bulan ke depan terkait standar keamanan minyak pangan. Jika tidak ada keberatan, standar itu akan berlaku di negara-negara anggota UE paling cepat pertengahan tahun 2020 dan paling lambat 1 Januari 2021.
Aturan standar itu menetapkan batas maksimum kandungan 3-MCPD pada minyak nabati mentah, olahan, serta lemak dari kedelai, bunga matahari, rapeseed, jagung, zaitun (kecuali minyak zaitun pomace), kelapa, dan minyak inti kelapa sawit (kernel) sebesar 1,25 ppm. Batas maksimum ini juga berlaku bagi campuran minyak atau lemak dalam kelompok tersebut.
Adapun batas maksimum kandungan 3-MCPD pada minyak sayur olahan lainnya (termasuk minyak pomace zaitun), minyak ikan, minyak-minyak organisme laut, dan campurannya senilai 2,5 ppm. Minyak nabati berbahan baku kelapa sawit mentah (CPO) berada dalam kategori ini.
Dupito menyatakan, aturan standar dari UE tersebut bersifat diskriminatif sehingga meminta UE menerapkan batas maksimum tunggal kandungan 3-MCPD yang berlaku untuk seluruh minyak nabati pangan.
”Kebijakan ini diskriminatif karena konsumen akan digiring menilai minyak nabati yang kandungan 3-MCPD 1,25 ppm lebih aman dikonsumsi dibandingkan yang 2,5 ppm. Padahal, keduanya sama-sama aman dikonsumsi,” tuturnya saat ditemui di sela forum CPOPC, di Jakarta, Jumat.
Oleh sebab itu, Dupito menyebutkan, kebijakan batas kandungan maksimum 3-MCPD UE akan menjadi momok pembahasan pertemuan CPOPC tingkat menteri pada Maret 2020. Salah satu kemungkinan keputusan dari pertemuan tersebut adalah mengadakan dialog dan komunikasi langsung dengan UE.
Dupito mengharapkan negara-negara anggota CPOPC, terutama Indonesia dan Malaysia, turut membawa isu tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Keputusan untuk menggugat UE di WTO berada di tangan pemerintahan setiap negara anggota CPOPC.
Direktur Jenderal Kesehatan dan Konsumen Komisi Eropa Frans Verstraete menyatakan, aturan keamanan pangan yang terkait kontaminan 3-MCPD dan glycidyl esters (GE) tengah dalam proses legislasi UE. ”UE menerapkan sejumlah prinsip yang mengatur kontaminan dalam pakan dan makanan demi mencapai perlindungan tingkat tinggi terhadap kesehatan manusia dan hewan,” katanya.
Oleh sebab itu, Frans mengatakan, UE hendak menjaga tingkat kontaminan serendah-rendah yang bisa dicapai secara wajar (as low as reasonably be achieved/ALARA). UE juga akan menerapkan kebijakan yang berdasarkan analisis risiko sebagai acuan dalam hal keamanan pangan.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga menyatakan, industri kelapa sawit Indonesia mesti bersiap diri membuktikan kandungan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm tergolong aman untuk dikonsumsi. Pembuktian secara ilmiah dibutuhkan.
Sahat menilai, kandungan 3-MCPD dapat ditekan dari sisi hulu. Artinya, perlu ada prosedur standar operasi yang diberlakukan dari tingkat petani kelapa sawit dan penggilingan tandan buah segar untuk memastikan proses pengolahan yang bersih dan tidak terkontaminasi.
Sahat memperkirakan, ekspor CPO dan turunannya ke pasar UE sepanjang 2019 berkisar 4,6 juta ton. Sekitar 50 persen di antaranya digunakan untuk industri pangan, seperti pengolahan es krim dan cokelat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berpendapat, Indonesia tegas menolak kebijakan UE dalam hal batas maksimum kandungan 3-MCPD. ”Negara-negara CPOPC harus bersatu untuk mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit, termasuk kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara,” katanya.
Pada saat yang sama, Airlangga juga meminta pelaku industri untuk memitigasi kandungan kontaminan dalam pengolahan CPO agar kualitas produk kelapa sawit nasional semakin meningkat. Mitigasi itu dapat dicapai dengan penerapan teknologi yang efektif dan efisien dalam rantai produksi CPO.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor CPO Indonesia ke sejumlah negara anggota UE menurun sepanjang 2019. Ekspor CPO ke Italia turun 51,88 persen dibandingkan dengan tahun 2018 dan ekspor ke Belanda turun 33,18 persen.