Pendekatan di Tingkat Desa Penting untuk Cegah Perkawinan Anak
›
Pendekatan di Tingkat Desa...
Iklan
Pendekatan di Tingkat Desa Penting untuk Cegah Perkawinan Anak
Masyarakat di Desa Woro membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa. Lembaga yang terdiri atas 27 anggota ini melakukan pendampingan kepada anak yang hendak dikawinkan dengan cara bernegosiasi dengan keluarga.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan perkawinan anak memerlukan pendekatan secara masif di tingkat desa. Idealnya, setiap daerah diberikan pendekatan yang berbeda sesuai dengan faktor pendorongnya yang beragam pula.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menargetkan penurunan prevalensi perkawinan anak menjadi 8,74 persen pada 2024. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tak Bisa Ditunda, prevalensi perkawinan anak saat ini adalah 11,21 persen.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin mengatakan, dalam menyukseskan penurunan prevalensi tersebut, dibutuhkan langkah yang tidak mudah. Salah satu yang mesti dilakukan adalah melakukan pendekatan yang lebih masif di tingkat desa.
”Artinya, setiap tahun pemerintah menargetkan penurunan sebesar 0,6 persen. Saat ini, satu dari sembilan perempuan menikah sebelum usia 18 tahun,” katanya di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Dalam survei BPS tersebut, terdapat 20 provinsi yang memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata prevalensi nasional. Provinsi dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi adalah Sulawesi Barat, yakni 19,3 persen. Adapun provinsi dengan prevalensi terendah adalah DKI Jakarta (4,1 persen).
Menurut Lenny, data di tingkat provinsi tersebut perlu diterjemahkan lebih mendetail hingga ke tingkat kabupaten/kota, kecamatan, sampai desa. Hal ini bertujuan untuk menentukan langkah intervensi yang sesuai dengan permasalahan di akar rumput.
”Data ini belum mampu memotret hingga kabupaten/kota. Namun, dengan analisis, kajian, dan kerja sama dengan jaringan di lapangan, kita akan mempertajam,” katanya.
Intervensi, lanjut Lenny, bisa dilakukan secara makro untuk menyasar semua lapisan masyarakat, seperti sosialisasi dan kampanye. Selain itu, untuk menyasar masyarakat perdesaan perlu dilakukan intervensi lebih mikro, misalnya dengan memanfaatkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat.
”Hal ini sudah dilakukan di beberapa daerah, tetapi kali ini perlu upaya yang lebih masif,” ujarnya.
Untuk mendorong hal ini, Kementerian PPPA pada 31 Januari 2020 menandatangani pakta integritas dengan 20 provinsi yang memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional untuk melakukan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA). Selain itu, mereka juga menjalin komitmen bersama enam lintas agama dan lembaga di luar pemerintah.
Sementara itu, intervensi yang dilakukan di setiap daerah harus disesuaikan dengan masalah yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan anak di daerah tersebut. Ketujuh masalah yang kerap menjadi pemicu adalah ekonomi, budaya, ketidaksetaraan jender, regulasi, geografis, akses pendidikan, dan globalisasi.
Menurut Lenny, dari ketujuh masalah tersebut, nantinya bisa diidentifikasi ranah yang tepat untuk dilakukan intervensi, bisa melalui keluarga, masyarakat, atau pendidikan. ”Di satu desa, mungkin isu budaya menjadi faktor yang lebih kuat. Namun, di desa lain mungkin saja karena akses pendidikan yang tidak memadai,” kata Lenny.
Kontribusi komunitas
Kontribusi dari komunitas masyarakat desa dalam mencegah perkawinan anak bukan hal yang mustahil terjadi. Direktur Rumah Kita Bersama (KitaB) Lies Marcoes mengungkapkan, hal tersebut salah satunya terjadi di Desa Woro, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Masyarakat di Desa Woro membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Lembaga yang terdiri atas 27 anggota ini melakukan pendampingan kepada anak-anak yang hendak dikawinkan dengan cara bernegosiasi dengan keluarga.
”Misalnya, ada anak yang akan dinikahkan karena orangtuanya merantau. KPAD tidak melarang, tetapi berdiskusi dengan orangtua dan menyarankan untuk menunda pernikahan hingga usia anak terpenuhi,” ungkap Lies.
Menurut dia, pendekatan lain yang tidak kalah penting adalah melalui unsur sekolah dan keluarga. Salah satunya melalui pendidikan seksual dan anatomi tubuh sejak dini. Setiap anak bisa mendapatkan pendidikan tersebut sesuai dengan usia dan jenjang sekolah.
Setelah mendapatkan pengetahuan tersebut, diharapkan anak dapat mengetahui bahaya perkawinan dini bagi kesehatan. ”Untuk anak TK, misalnya, bisa menggunakan hewan sebagai modelnya. Jangan dianggap tabu atau menjerumuskan anak. Tidak ada pengetahuan yang menyesatkan,” kata Lies.
Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo mengungkapkan, pemberian dispensasi oleh pengadilan agama untuk perkawinan anak masih banyak terjadi di daerah. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sosial dan budaya.
”Ada yang diberikan karena calon pengantin sudah menyebarkan undangan atau karena permintaan orangtua yang sudah tidak tahan melihat kelakuan sang anak,” katanya.
Oleh sebab itu, Zumrotin menilai perlu ada interpretasi yang tegas terhadap dispensasi tersebut. Selain itu, ia juga mendorong dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di daerah untuk berinovasi dalam mencegah perkawinan anak.
”Dinas PPPA harus percaya diri dan melakukan gebrakan,” katanya.