Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
Korban kekerasan seksual mengalami beban berlapis. Mereka masih harus menanggung stigma negatif dan ketidakadilan hukum. Perubahan perspektif dibutuhkan tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga aparat penegak hukum.
Korban kekerasan seksual mengalami beban berlapis. Mereka masih harus menanggung stigma negatif dan ketidakadilan hukum. Perubahan perspektif dibutuhkan tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga aparat penegak hukum.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, hampir seluruh responden setuju korban kekerasan harus dilindungi. Salah satu hak korban adalah mendapat perlindungan untuk memberikan rasa aman. Termasuk perlindungan dari kehilangan pekerjaan dan pendidikan serta kerahasiaan identitas.
Jumlah kasus kekerasan seksual kian mengkhawatirkan. Tahun 2019 saja terdapat 5.509 kasus kekerasan seksual. Jika dipilah, ada sebanyak 2.988 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah rumah tangga atau personal, sedangkan dalam ranah komunitas tercatat 2.521 kasus.
Di ranah KDRT atau relasi personal, kekerasan seksual yang paling banyak terjadi adalah inses (1.071 kasus). Kemudian, disusul dengan perkosaan (818 kasus). Sementara di ranah komunitas, hampir separuhnya adalah kasus pencabulan.
Kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es karena yang tidak terungkap tentu masih banyak jumlahnya. Misalnya, tingginya jumlah kekerasan seksual inses di ranah KDRT atau personal tidak bisa dianggap sepele. Inses merupakan salah satu bentuk kekerasan yang sulit dilaporkan oleh korban karena menyangkut hubungan dan nama baik keluarga.
Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, pelaku inses tertinggi adalah ayah dan paman. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya seorang ibu melaporkan kasus inses karena pelakunya juga suami sendiri. Hal ini menunjukkan, rumah belum tentu tempat paling aman bagi perempuan dan sosok yang dianggap penanggung jawab keluarga juga bisa menjadi ancaman.
Bentuk perlindungan
Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebanyak 96 persen responden menyatakan korban kekerasan seksual berhak mendapat pendampingan psikologis dibiayai negara.
Biaya konsultasi ke psikolog atau psikiater tentu tidak murah. Jenis hukuman yang hanya fokus terhadap pelaku mengesampingkan kepentingan korban. Perlindungan berupa layanan psikologi atau psikiater luput dari perhatian. Padahal, korban jelas membutuhkan pemulihan.
Rumah belum tentu tempat paling aman bagi perempuan dan sosok yang dianggap penanggung jawab keluarga juga bisa menjadi ancaman.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih dibahas di parlemen. Proses ini sebenarnya berlangsung sejak tahun 2017, tetapi belum juga disahkan. Padahal, RUU ini sangat berpihak kepada perempuan korban.
Dian Novita dari LBH APIK menyatakan pernah mendampingi korban kekerasan seksual berupa penetrasi ke mulut. Menurut KUHP, tindakan seperti ini tidak termasuk dalam perkosaan, melainkan pencabulan. Pelaku hanya dihukum 1 tahun 6 bulan penjara, sedangkan korban mengalami trauma parah, bahkan tidak sanggup untuk melewati lokasi kejadian.
Pendidikan mengenai kekerasan seksual juga tidak kalah penting. Sebanyak 85,2 persen responden setuju dengan adanya materi pendidikan terkait kekerasan seksual di sekolah atau perguruan tinggi. Selain sebagai salah satu bentuk pencegahan, hal ini juga memperkuat penghapusan kekerasan seksual di lingkup pendidikan.
Bias masyarakat
Pendapat responden sangat beragam terkait penyebab maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan. Terbanyak, 25 persen responden menjawab lemahnya iman sebagai penyebab utama. Terpaut tidak terlalu jauh di urutan kedua (20,5 persen) adalah karena kurang pengawasan orangtua.
Perempuan korban kekerasan seksual berjuang mencari keadilan di tengah sistem hukum yang timpang dan tidak berpihak kepada korban. Ditambah kurangnya sensitivitas jender yang dimiliki aparat penegak hukum. Kondisi ini semakin dipersulit dengan bias yang ada di masyarakat terhadap perempuan.
Berbagai macam beban pada korban kekerasan seksual membuat mereka berpikir ribuan kali untuk melaporkan kejadian yang menimpanya. Dukungan dari orang terdekat sangat penting di tengah situasi kritis seperti ini.
Sejalan dengan itu, sebanyak 85,7 persen responden mengaku akan menemani keluarga atau teman yang mengalami kekerasan seksual untuk melapor ke polisi atau bantuan hukum.
Sayangnya, reviktimisasi masih marak terjadi di masyarakat. Ketika perempuan menjadi korban, tetapi ia malah disalahkan. Rasanya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Seperti menyalahkan pakaian yang digunakan korban atau korban yang berada di luar rumah saat malam hari.
Terlihat dari hasil jajak pendapat, sebanyak 75,1 persen responden menilai pakaian perempuan turut andil dalam terjadinya kekerasan seksual. Padahal, hal ini jelas tidak relevan, dapat dilihat ketika pameran pakaian penyintas di Bandung pada Maret tahun lalu. Bahkan, perempuan dengan kerudung panjang pun bisa menjadi korban.
Sama halnya dengan perempuan yang bersikap ramah terhadap laki-laki. Sebanyak 68 persen responden menyatakan hal tersebut turut mendorong terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Seolah-olah lelaki hanya akan melakukan pelecehan jika digoda oleh perempuan. Pola pikir yang merendahkan perempuan inilah yang harus diperangi.
Tak jarang, penyelesaian berupa mengawinkan pelaku dengan korban atau membuat perjanjian damai dengan pelaku masih dianggap sebagai jalan keluar sehingga proses hukum tidak diperlukan lagi. Ini semata-mata untuk menutupi sesuatu yang dianggap aib. Kepentingan korban tidak diakomodasi, budaya kekerasan pun akan terus berlanjut.
Di lapangan bahkan masih ditemukan aparat penegak hukum yang ketika menerima laporan kekerasan seksual malah bertanya hal-hal yang tidak relevan kepada korban. Penegak hukum tidak dapat menangkap terjadinya relasi kuasa yang mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual. Pertanyaan yang muncul seperti apakah korban menikmati persetubuhan tersebut atau apakah korban mengalungkan tangan ke leher pelaku.
Hal seperti ini juga muncul dalam proses persidangan yang cenderung melakukan reviktimisasi. Riwayat seksual korban dipertanyakan dan diungkit-ungkit, apakah korban sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya atau status sebagai anak dari seorang tunasusila. Padahal, hal seperti itu tidak relevan dan seharusnya tidak menjadi pertimbangan hakim.
Di negara lain, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, terdapat aturan yang disebut Rape Shield Law. Tujuannya untuk melindungi korban dari tekanan emosional saat di persidangan. Aturan ini membatasi penggunaan riwayat seksual korban sebagai alat bukti di persidangan.
Di tengah peliknya permasalahan kekerasan seksual di Indonesia, kehadiran RUU PKS sangat dibutuhkan untuk memberikan keadilan kepada korban. Sebab, keadilan hukum bukan semata-mata perihal hukuman pelaku, melainkan juga pemulihan dan perlindungan korban. (LITBANG KOMPAS)