Kemenpora Cari Tuan Rumah Cabang PON 2020 yang Tidak Digelar di Papua
›
Kemenpora Cari Tuan Rumah...
Iklan
Kemenpora Cari Tuan Rumah Cabang PON 2020 yang Tidak Digelar di Papua
Keputusan untuk tetap menggelar 10 cabang yang tercoret dari PON Papua 2020 di luar provinsi Papua disambut positif. Kemenpora, KONI, KOI, dan pengurus cabang kini tengah mencari lokasi untuk menggelar ajang tersebut.
Oleh
Denty Piawai Nastitie/Adrian Fajriansyah
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Presiden Joko Widodo memangkas jumlah cabang olahraga di PON Papua 2020 dari 47 cabang menjadi 37 cabang pada rapat terbatas Agustus 2019, hasil rapat Kementerian Pemuda dan Olahraga, KONI, PB PON, serta pengurus cabang pada 2020 memutuskan 10 cabang yang sempat dicoret itu tetap menjadi bagian PON 2020 tetapi digelar di luar Papua. Sekarang, mereka mencari daerah yang siap untuk menggelar 10 cabang itu.
Beberapa hari lalu, pemerintah sudah melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan PON dan Peparnas menjadi PP No 7/2020 tentang Penyelenggaraan PON dan Peparnas. Salah satu poinnya adalah memungkinkan PON dilakukan di lebih dari satu daerah atau provinsi. Hal itu juga menjadi landasan hukum untuk pelaksanaan PON 2024 di Aceh dan Sumatera Utara.
Seusai Rapat Gabungan DPR tentang Persiapan Penyelenggaraan PON dan Peparnas Papua 2020 di Jakarta, Rabu (5/2/2020), Menpora Zainudin Amali mengatakan, 10 cabang itu tetap digelar karena daerah sudah melakukan pelatda dan cabang-cabang itu sudah menyelenggarakan kualifikasi PON 2020. ”Karena alasan itu, kami berusaha memperjuangkan agar 10 cabang tersebut tetap digelar untuk PON 2020 walaupun di luar Papua,” ujarnya.
Saat ini, kata Zainudin, Kemenpora dan KONI sedang berusaha mencari daerah yang siap untuk menggelar 10 cabang tersebut. Sejauh ini, sudah ada beberapa daerah yang mengajukan diri tetapi yang paling antusias adalah Jawa Timur. Namun, mereka belum memutuskan daerah mana yang akan menjadi tuan rumah. ”Menggelar 10 cabang itu benar-benar butuh kesiapan, terutama dari sisi anggaran. Apalagi, tidak ada dana APBN untuk menggelarnya,” kata Zainudin.
Sebelumnya, Ketua Umum KONI Marciano Norman menyampaikan, pihaknya sedang memantau daerah mana yang benar-benar siap untuk menggelar 10 cabang itu, antara lain dari kesiapan arena dan anggaran. ”Tuan rumah itu harus yang sudah punya arena yang siap pakai. Sebab, tidak ada waktu lagi untuk membangun. Mereka juga harus punya kerelaan menyiapkan anggaran daerah karena tidak ada dukungan dari pusat,” katanya.
Sambut positif
Sepuluh cabang yang sempat dicoret itu adalah balap sepeda, bridge, dansa, gateball, golf, soft tenis, tenis meja, ski air, pentanque, dan woodball. Keputusan 10 cabang itu tetap digelar di luar Papua pun mendapatkan sejumlah tanggapan dari pengurus induk cabang, baik secara positif maupun negatif.
Pelatih pelatnas soft tenis sekaligus Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PP Pesti Ferly Montolalu yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (6/2/2020), bersyukur karena soft tenis tetap digelar untuk PON 2020 walaupun di luar daerah utama, yakni Papua. Hal itu menjadi sejarah untuk dunia soft tenis nasional karena untuk pertama kali dipertandingankan di PON. Mereka sudah menanti itu sejak menjadi cabang ekshibisi pada PON Jawa Barat 2016.
Soft tenis mulai dikenal di Indonesia sejak awal 1990-an. Namun, mereka bergabung di federasi tenis lapangan atau Pelti hingga 2014 sebelum berdiri federasi khusus soft tenis atau Pesti. ”Jadi, walaupun tidak digelar di Papua, kami tetap menyambut gembira soft tenis digelar untuk PON 2020,” ujar Ferly.
Ferly menuturkan, berhasilnya soft tenis masuk bagian PON 2020 menjadi momen penting untuk menjaga geliat pembinaan soft tenis saat ini. Sebelumnya, atlet soft tenis cenderung rangkap menjadi atlet tenis lapangan. Belakangan, mulai banyak atlet yang hanya fokus pada soft tenis. Bahkan, sudah ada 18 pengurus daerah soft tenis di seluruh Indonesia. Semuanya sudah memiliki atlet dan melakukan pembinaan rutin.
Geliat pembinaan itu tumbuh karena prestasi tim soft tenis Indonesia pada SEA Games 2011 Palembang, menjadi juara umum dengan tujuh emas, dua perak, dan dua perunggu. Ditambah dengan raihan satu perak dan satu perunggu pada Asian Games Incheon 2014 serta satu perak dan tiga perunggu pada Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.
”Dengan kepastian tetap digelar untuk PON 2020, pengurus daerah dan atlet-atlet daerah kembali bersemangat mengembangkan pembinaan,” katanya.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB ISSI Budi Saputra merasa lega dengan adanya kepastian balap sepeda dimainkan pada PON 2020. ”Kalau kita bicara pembinaan, PON selalu dijadikan acuan prestasi daerah. Dengan terlaksananya cabang balap sepeda, baguslah untuk pembinaan di daerah,” kata Budi.
Ia menjelaskan, Jawa Timur merupakan lokasi ideal untuk menyelenggarakan kejuaraan balap sepeda karena ketersediaan fasilitas yang lengkap. ”Kalau bicara arena di sana sudah lengkap dan tersedia semua. Down Hill dan Cross Country bisa diadakan di Malang, BMX bisa bergulir di Banyuwangi. Meskipun belum diputuskan akan dimainkan di Malang atau Banyuwangi, tetapi saya rasa tepat jika memilih Jatim sebagai tuan rumah balap sepeda PON 2020,” ujarnya.
Menurut Budi, pada dasarnya setiap daerah sudah siap untuk ikut PON 2020 di mana pun cabang olahraga itu dimainkan. Sekalipun akan dimainkan di Papua, daerah-daerah sudah menyiapkan anggaran dan kebutuhan logistik untuk berlomba di sana. Dengan dipindahkan ke daerah lain, seperti Jatim, ini akan lebih menguntungkan karena lokasinya lebih dekat.
Kecewa
Ketua Umum PP TMSI (tenis meja) Oegroseno mengutarakan, walaupun tetap digelar untuk PON 2020, dirinya tidak bisa menghilangkan rasa kecewa tenis meja tidak termasuk 37 cabang dari gelaran PON di Papua. Hal ini akan menjadi preseden buruk untuk eksistensi tenis meja pada PON selanjutnya. ”Tenis meja ini salah satu cabang Olimpiade. Harusnya, tenis meja menjadi prioritas untuk digelar di PON,” tuturnya.
Atlet tenis meja senior Yon Mardiono menyambut baik kepastian diselenggarakannya cabang tenis meja pada PON 2020, mengingat olahraga ini termasuk cabang Olimpiade yang selayaknya dimainkan dalam ajang multicabang nasional. Namun, Yon menyayangkan ada pembatasan usia di bawah 25 tahun untuk atlet yang turun di PON.
”Pekan Olahraga Nasional sebagai barometer prestasi olahraga seharusnya mengacu pada ajang multicabang yang lebih tinggi, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Di multicabang SEA Games hingga Olimpiade, tidak ada pembatasan usia, kenapa di PON justru usia dibatasi?” katanya.
Yon menjelaskan, pembatasan usia menghambat prestasi atlet yang sudah berlatih bertahun-tahun. Padahal, untuk membangun kekuatan dan keahlian yang diperlukan, tidak cukup waktu hanya setahun atau dua tahun. Seharusnya, menurut Yon, atlet senior dijadikan motor untuk meningkatkan prestasi atlet muda. ”Kalau yang muda saja takut berhadapan dengan atlet senior, bagaimana mau bertanding melawan Thailand, Singapura, dan China? Kalau memang mau ada pembinaan, caranya bukan dengan memberi batasan usia, tetapi menyediakan fasilitas dan tempat latihan yang memadai untuk atlet,” katanya.
Terkait dengan kemungkinan Jawa Timur sebagai tuan rumah PON, Yon merasa itu bukanlah persoalan berarti mengingat cabang tenis meja dapat dimainkan di mana saja dan tidak membutuhkan fasilitas yang terlalu rumit. ”Kalau tidak ada gedung, tenis meja bisa dimainkan di dalam tenda. Berbeda dengan cabang lain, tenis meja tidak butuh terlalu banyak fasilitas jadi di mana saja tidak masalah,” katanya.