Pesta Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, identik dengan parade tatung atau orang-orang yang diyakini telah dirasuki roh dewa atau leluhur. Akulturasi budaya Tionghoa dan Dayak mewujud dalam tatung itu.
Oleh
Emanuel Edi Saputra
·4 menit baca
Aroma asap dupa memenuhi ruangan di Cetiya Chau Liu Nyian Shai, Kota Singkawang, Rabu (5/2/2020) malam. Hendry Frans Wong (25), salah satu tatung yang kesehariannya menjadi tabib, sedang mengobati pasien. Hampir setiap hari ada orang yang berobat. Mengenakan rompi putih dengan aksen aksara China, Hendry menulis seuntai doa dalam aksara China di kertas kuning sebagai salah satu cara pengobatan.
”Saya tidak mematok biaya. Kalau ada yang mau memberi imbalan, seikhlasnya,” ujarnya. Ia menjadi tatung sejak usia tujuh tahun. Ayahnya dulu juga menjadi tatung. ”Kami dari 13 bersaudara, 12 di antaranya menjadi tatung. Menjadi tatung saya anggap sebagai garis hidup,” kata Hendry yang juga memiliki keterampilan menjahit busana tatung dan berprofesi sebagai tukang gigi.
Layaknya tatung lain, saat roh dewa atau leluhur merasuki, tubuh Hendry menjadi kebal dari senjata tajam. Hal itu terjadi saat perayaan besar, misalnya ulang tahun pekong atau kelenteng dan saat Cap Go Meh atau perayaan 15 hari setelah Imlek. Selain karena garis keturunan, ada pula orang yang menjadi tatung dari berguru. Ada juga yang menjadi tatung berdasarkan petunjuk mimpi, seperti yang dialami Alun (30), lelaki yang kesehariannya membuat baju tatung.
Untuk bisa menjadi tatung, mereka menggelar ritual memanggil roh-roh dewa atau leluhur agar merasuki tubuhnya. Ritual itu rata-rata dilakukan di pekong. Roh yang dipanggil disesuaikan dengan pakaian tatung yang telah disiapkan. Pada saat puncak perayaan Cap Go Meh, Sabtu (8/2/2020), sebanyak 843 tatung akan mengikuti parade tatung di Singkawang.
Mereka akan diarak keliling menggunakan tandu di jalan-jalan utama, memperagakan atraksi kekebalan tubuh, dan melakukan ritual tolak bala untuk membersihkan kota. Orang yang menjadi tatung tidak hanya dari etnis Tionghoa, tetapi juga dari etnis Dayak. Salah satunya Gregorius Agung (29) dari komunitas Keluarga Besar Pangalangok Nek Itapm. Gregorius kesehariannya juga melakukan praktik pengobatan tradisional Dayak dan mengajar kesenian Dayak di salah satu sekolah di Singkawang.
Untuk menyambut parade tatung saat puncak Cap Go Meh, Kota Singkawang bersolek. Bahkan, sebelum Imlek, tepatnya sejak 16 Januari, jalan-jalan utama Singkawang berhiaskan 10.000 lampion. Kemarin, panggung kehormatan untuk perayaan puncak Cap Go Meh telah didirikan di Jalan Diponegoro.
Para tatung pun mulai melakukan sejumlah persiapan. Seperti pada Rabu sore, Gregorius dan rekan-rekan membersihkan tandu yang akan dipergunakan saat arak-arakan. ”Saya juga puasa, hanya makan nasi dan sayur bening. Saya senang ikut parade tatung setiap tahun, menyatukan satu sama lain,” ujarnya.
Hendry juga demikian. Perlengkapan seperti baju tatung dan tandu sudah disiapkan. Ia juga mengonsumsi makanan vegetarian. ”Kalau kami orang Tionghoa menyebutnya untuk menjaga fisik dan keringanan badan,” kata Hendry.
Akulturasi
Keberadaan tatung sejatinya merupakan akulturasi budaya Tionghoa dan Dayak yang berlangsung sejak ratusan tahun silam. Pemerhati budaya yang juga mantan Wali Kota Singkawang, Hasan Karman, mengatakan, akulturasi Tionghoa-Dayak intens sekali sejak pertengahan 1700-an hingga 1800-an. Saat itu ada banyak kongsi pertambangan di Monterado (saat ini masuk Kabupaten Bengkayang). Akulturasi juga terjadi karena banyak perkawinan campur Tionghoa-Dayak.
Akulturasi yang mewujud dalam tatung dimungkinkan karena etnis Dayak dan Tionghoa sama-sama memiliki tradisi yang melibatkan kekuatan supranatural dan roh leluhur. Alkisah, terjadi wabah penyakit di kawasan Monterado pada masa itu. Wabah itu tidak ada obatnya. Menurut ”orang pintar”, wabah itu disebabkan roh jahat sehingga harus dilakukan penyucian kota atau tolak bala.
Singkat cerita, dilaksanakanlah ritual mengarak tatung Tionghoa dan Dayak. Setelah ritual dilakukan, wabah pun hilang. Ritual itu pun menjadi tradisi turun-temurun dan dilaksanakan saat perayaan Cap Go Meh. Tradisi itu mampu bertahan ratusan tahun karena setiap etnis masih sangat kuat mempertahankan budaya dan tradisi asli. Budaya yang lahir dari akulturasi itu menjadi milik bersama dan terpelihara hingga sekarang.
Tatung di Singkawang mengalami pembauran sehingga roh-roh yang merasuki juga ada roh-roh lokal di bumi Kalimantan Barat.
Budayawan Tionghoa, Kalimantan Barat, XF Asali, menuturkan, tatung atau dalam dialek Hakka disebut tah thung, awalnya kebudayaan dari daratan China yang bersifat keagamaan bagi penganut taoisme. Tatung merupakan kondisi seseorang dirasuki roh yang umumnya roh arwah pahlawan atau satria.
Selain bisa membuat atraksi yang mempertunjukkan kemampuan supranatural, tatung juga dapat mengobati orang sakit yang aneh atau misterius, yang sulit dijelaskan secara medis. ”Teringat zaman penjajahan Jepang, kami orang kampung kalau sakit minta pertolongan kepada tatung sebagai solusi. Sebab, selain tenaga medis modern tidak ada di perdesaan, juga karena alasan ekonomi,” ujarnya.
Tatung di Singkawang mengalami pembauran sehingga roh-roh yang merasuki juga ada roh-roh lokal di bumi Kalimantan Barat. Tidak heran jika ada tatung yang memperlihatkan citra panglima perang Dayak.
Modal sosial
Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie menuturkan, perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Singkawang diharapkan menjadi momen memupuk modal sosial dalam masyarakat yang beragam. Modal sosial itu diperlukan sebagai kekuatan membangun daerah. ”Investor ingin berinvestasi di daerah yang aman. Peran aktif masyarakat bisa mewujudkannya sehingga mereka ikut berkontribusi membangun daerah,” katanya.
Upaya menjaga kebersamaan dan harmoni menjadi tugas bersama. Salah satu bukti kebersamaan itu ialah kepanitiaan Imlek dan Cap Go Meh di Singkawang mengakomodasi berbagai etnis, baik Tionghoa, Dayak, maupun Melayu. Pada hari besar keagamaan lain, kebersamaan itu juga dirasakan nyata.