Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam menilai bukan kurikulum pendidikan agama yang bermasalah, tapi kompetensi guru dalam pemahaman wawasan kebangsaan yang kurang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan agama yang memberi wawasan kebangsaan tidak semata-mata bergantung kepada kurikulum. Yang lebih penting lagi adalah memastikan persepsi guru, baik guru agama maupun guru-guru mata pelajaran lainnya, memahami makna kemerdekaan, persatuan Indonesia, dan kekayaan bangsa yang datang dari keragaman di tengah-tengahnya.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi mengatakan, menggonta-ganti kurikulum tidak sepenuhnya menghasilkan sesuatu yang produktif. Sebaliknya, hal tersebut justru berisiko memperumit administrasi. ”Kecakapan gurulah kunci dari penerjemahan kurikulum yang sesuai kebutuhan masyarakat,” kata Mahnan saat dihubungi di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Ia memberi tanggapan terkait hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah terhadap para legislator DPR mengenai pandangan mereka terhadap pendidikan agama dan maraknya isu intoleransi di masyarakat. Dalam survei tersebut terungkap bahwa 53 persen dari wakil rakyat menganggap bahwa tidak ada masalah dalam pendidikan agama.
Mahnan menjelaskan, untuk Pendidikan Agama Islam (PAI) terdapat lima aspek kurikulum, yaitu fikih untuk tata cara beribadah, sejarah perkembangan Islam, pengetahuan atas kitab suci Al Quran dan hadis, aspek tauhid dan akidah, serta akhlak. Dari sisi konten, kurikulum PAI dinilai sudah komprehensif mencakup beberapa kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Apabila ada ketidaksesuaian tujuan kurikulum dengan praktik di lapangan, menurut Mahnan, permasalahannya pada pemahaman serta cara guru dalam menyampaikan materi.
Menggonta-ganti kurikulum tidak sepenuhnya menghasilkan sesuatu yang produktif. Sebaliknya, hal tersebut justru berisiko memperumit administrasi.
”Kuncinya adalah guru agama memiliki wawasan kebangsaan dan pendekatan moderat dalam beragama. Kendala sekarang ialah dikotomi di dalam guru-guru PAI karena ada yang menganut pandangan islamisme atau Islam politik. Pandangan ini melahirkan kelompok-kelompok ultrareligius yang menilai nilai-nilai kebangsaan bertentangan dengan tujuan agama,” tutur Mahnan.
Kelemahan guru
AGPAII sendiri menerapkan sistem evaluasi kritis terhadap kinerja para anggotanya. Mereka memetakan ada enam kelemahan guru PAI ketika mengajar di kelas. Pertama, guru lupa menghadirkan perbedaan suku bangsa, agama dan kepercayaan, aliran di dalam satu ajaran agama, sosial, ekonomi, dan pandangan politik sebagai sebuah realitas yang semestinya diketahui siswa.
Kedua, guru ataupun sekolah pada umumnya belum proaktif membuka ruang-ruang perjumpaan antara-anggota kelompok yang berbeda-beda. Ketiga, guru terjebak bias personal terhadap golongan-golongan tertentu yang mereka turunkan kepada siswa. Keempat, guru belum memiliki kompetensi literasi mumpuni sehingga tidak banyak menambah bacaan ilmiah. Kelemahan kelima adalah guru belum mampu membangun budaya berpikir kritis karena dia sendiri belum memilikinya.
”Keenam, guru lupa menanamkan nilai Pancasila dalam wujud yang humanis dan nyata di kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah ini yang perlu diintervensi,” kata Mahnan.
AGPAII sudah melakukan beberapa proyek percontohan seperti di tiga sekolah di Tangerang Selatan, Banten, yang membangun budaya ekstrakurikuler rohani Islam kritis. Para anggotanya diarahkan untuk membuka ruang-ruang pertemuan antarsiswa untuk membahas mengenai perbedaan agama ataupun keragaman pandangan terhadap tafsir di dalam satu agama yang sama. Melalui diskusi-diskusi rutin, siswa diharapkan bisa melihat agama sebagai tujuan kebaikan universal.
Kritik yang senada juga diutarakan oleh perwakilan Ikatan Sarjana Katolik Cornelia Istiani pada peluncuran hasil survey PPIM UIN Jakarta pada 5 Februari. Pelajaran agama di sekolah masih terlalu banyak mengutamakan ritual di permukaan dibandingkan memberi penjelasan makna sebuah ritual dan relevansinya kepada kehidupan bermasyarakat.
”Ritual membangun karakter individu tidak sekadar religius untuk diri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masyarakat yang humanis,” ujarnya.
Sejak tahun 2019, Kementerian Agama sudah menekankan program moderasi beragama yang dilaksanakan melalui pendidikan agama di sekolah-sekolah. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin ketika memberi materi di Halaqah Pengembangan Pendidikan Islam mengungkapkan, pemerintah tengah menyusun buku putih pendidikan agama untuk pengarusutamaan moderasi beragama (Kompas, 12 Maret 2019).