Belulang Dekat Bonggol Pohon Ketapang
Ketika aliran listrik tegangan tinggi itu menyetrum, tubuh orang ini mengejang-ngejang, bergetar-getar, berguncang-guncang layaknya mobil yang businya mati.
KOMPAS/CAHYO HERYUNANTO
Pohon ketapang tinggal bonggol itu saksi bisu peristiwa 21 tahun lalu, tepat dua hari seusai para remaja putri mempersembahkan keperawanan kepada sang pacar di hari kasih sayang. Dan, bukti peristiwa itu ketemu saat istri seorang komandan ngidam panggang lele, dan harus hasil ternak sendiri, bukan beli di pasar.
Demi istri tercinta dan jabang bayi yang diharapkan laki-laki, sang komandan menyuruh lima kroco membuat kolam tak jauh dari bonggol pohon itu. Pada ayunan cangkul ke seribu kali, tertampak belulang manusia, sisa-sisa pakaian masih membalutnya. Sang komandan yang lagi berada di tempat itu langsung pucat pasi, buru-buru menyuruh menguburkan lagi. Pembuatan kolam dibatalkan, dan sorenya, sebelum kasak-kusuk tentang kerangka itu menyebar, dia mengumpulkan lima orang itu di ruang interogasi kedap suara.
”Aku tak tahu pasti sejarah kerangka itu,” sang komandan menghela napas seakan lagi asma.
Lima orang berkepala plontos lagi bersila di lantai itu beradu pandang, berdiam, menunggu lanjutan pernyataan berintonasi koma itu.
”Yang akan kuceritakan ini bersumber dari katanya-katanya. Konon berhubungan dengan Mayor,” sang komandan menyebutkan sebuah nama.
Orang-orang itu makin berkerut kening. Mereka tidak kenal mayor berinisial S itu. Barangkali seorang legenda pada zamannya, dan kisah itu terjadi ketika mereka belum lahir, tapi mereka pilih berdiam, seperti bocah TK di depan ibu gurunya yang sedang mendongeng.
Dua hari setelah kerusuhan Mei 1998 yang meluluhlantakkan Kota Solo, Mayor S minta dipindahtugaskan ke tempat kelahirannya, di ujung Pulau Sumatera. Tak ada yang tahu pasti alasannya, tapi beredar selentingan dia dikejar-kejar arwah yang mati penasaran. Dia sering berteriak-teriak di malam buta, didatangi sosok serba putih.
Permintaan itu dikabulkan atasannya. Mayor S segera memboyong keluarganya, menempati rumah dinas barunya, dan berharap bayang-bayang masa lalu itu tak lagi mengganggu. Tapi apa hendak dikata, arwah penasaran itu terus merangsek: berkendara angin mengarungi lautan demi bisa terus menghantui.
Suatu malam, ketika Mayor S duduk di teras rumah dinasnya, berteman sebotol minuman beralkohol tersisa setengahnya, sosok serba putih itu datang. Melayang, menembus pagar besi terkunci. Dalam temaram malam dilihatnya muka hancur dan tubuh berselimut darah itu. Mayor S histeris, coba berlari, tapi kakinya seperti ada yang memegangi. Bagai kesetanan dia mengeluarkan pistol, menembak sosok itu berkali-kali.
Sosok itu pun roboh bersimpah darah, dan ketika dihampiri ternyata anak bungsunya sendiri, baru pulang merayakan Valentine’s Day di rumah pacarnya. Remaja usia SMP itu meregang nyawa di pelukan bapaknya dan sebelum orang-orang berdatangan, Mayor S membuka mulut, mengarahkan moncong ke dalamnya, lalu menarik pelatuknya. Timah panas itu tembus hingga bagian belakang kepala.
***
Orang ini digelandang bagai pesakitan menjelang dihukum mati. Borgol seerat perangkap beruang menghias kedua pergelangan tangan, rantai terhubung bola besi membelenggu kedua kaki. Gemerincing rantai mengiringi langkahnya saat menuju ruang interogasi dan bola besi itu menggelesar seumpama kelereng raksasa.
Tiga orang, otot, dan daging itu menggumpal di balik kaus dan celana hijau seragam mereka, mengerubuti tubuh sekurus ranting itu bagai kawanan serigala. Satu di depan, dua mengapit. Semua berkerudung kepala, menyisakan dua lubang mata seperti pelaku kriminal sedang menjalankan aksinya.
”Siapa yang mendanai demo-demo itu?”
Orang ini mengunci mulutnya. Senyum simpul justru menghias bibir, mengejek orang-orang itu, kawanan kerbau dicucuk hidungnya yang telah dikebiri buah zakarnya. Salah satu pengapit menyemburkan geraman seekor anjing terjepit ekornya. Ujung sepatu bergerigi itu menggasak tulang kering, mengempas jemari kaki hingga mengelupaskan kuku jempol yang segera menampakkan daging putih berselimut darah, seperti buah rambutan menyembul dari kulitnya.
Orang ini berteriak sekeras-kerasnya, mengentak-entakkan kaki dengan gaduh seperti penari tanggo kehilangan irama. Dia mendelik, bola mata itu tampak hendak melompat dari rongganya. Sakit itu mencengkeram sampai ke sumsum tulang-tulangnya.
”Tembak saja aku!”
Ruangan kedap suara itu dipenuhi raungan hewan yang terluka, dan pengapit satunya segera menyumbat mulut menganga itu dengan kepalan tangan, membenturkan kepala itu ke sandaran kursi, mengoyak luka bekas pentungan polisi saat demo di Kedubes Belanda tempo hari. Darah merembes dari kulit yang baru saja mengatup dan kering sendiri justru karena tak diapa-apakan itu.
”Tembak aku! Tembak saja aku!”
Orang ini terus berteriak, meronta-ronta, borgol dan rantai itu riuh bergemerincing. Napasnya tersengal-sengal menahan kesumat, pandangnya nanar dipenuhi benci, dan pada saat yang sama harapan itu mengerut sebiji sawi. Orang di seberang meja mereaksi gaduh itu dengan anggukan dan dua pengapit itu segera menyergap, meringkus, dan menyeret orang ini ke kursi kayu, mengikatnya dengan tali plastik seukuran jempol kaki, lalu menjepit kelingking kanannya dengan klem aki.
Ketika aliran listrik tegangan tinggi itu menyetrum, tubuh orang ini mengejang-ngejang, bergetar-getar, berguncang-guncang layaknya mobil yang businya mati. Giginya gemeretak, matanya membelalak, hanya kelihatan putihnya dan keringat merembes dari pori-pori kulit tertutup kaos oblong tipis itu. Kepulan uap samar muncul dari ujung-ujung rambut, dan tubuh itu pun roboh, menggelayut di kursi, meskipun masih tersisa degup di dadanya.
Ketika membuka mata, orang ini sudah di selnya, terpuruk di lantai seumpama pakaian kotor di pojokan kamar mandi. Wajah tampannya bersimbah darah, luka merenda seluruh badan, nyeri menyusup di semua pori-pori.
*****
Penjaga itu mengamati, tolah-toleh seperti maling jemuran, memastikan tak ada yang melihat. Dan suara nan lembut itu pun mengalun, menerobos relung hati, layaknya petuah orang tua terhadap anak yang sedang dipangkunya.
”Yat, anakku seusia kamu. Suka ikut demo dan aku tak melarangnya. Memang itu yang harus dilakukan untuk menanggapi situasi saat ini,” orang itu menghela napas, mengelus-ngelus jeruji besi, tak peduli bocah itu mendengarkan atau tidak.
Sudut mata orang ini coba menangkap air muka tertutup tudung hitam itu dan kerinduan segera mencabik-cabiknya: saat bicara orang itu mirip bapaknya. Dia ingin pulang.
”Kalau nanti keluar dari tempat ini, sembunyilah di rumah Jenderal...,”orang itu menyebutkan nama. ”Teman-temanmu sudah di sana.”
”Bapak sudah tahu?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dan orang itu menyipitkan mata, tersenyum di balik kerudung kepalanya. Selanjutnya, menyandar pada tembok di depan sel, memeluk kedua lutut layaknya di warung kopi. Senjata laras panjang itu menggeletak di dekat paha, dalam keadaan terkunci.
”Aku di intelijen 25 tahun. Tak ada peristiwa penting yang aku tidak tahu....”
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di kejauhan. Orang itu menjangkau senjata, tergesa-gesa, berdiri kaku seperti arca di depan gapura candi. Sejurus kemudian melihat jam tangan besar di kanannya, bernapas lega: saatnya pergantian tugas jaga. Sebelum meninggalkan sel, dia menggumam, seolah-olah ditujukan ke diri sendiri.
”Manfaatkan kesempatan yang ada!”
Tak lama berselang terdengar pembicaraan dua orang, diikuti derit pintu membuka lalu menutup lagi. Ada langkah kaki mendekat, tapi tak sampai di sel itu.
*****
Orang ini terbangun oleh denting dua logam beradu. Dia menangkap sekelebat bayangan dan pintu sel itu sedikit membuka. Ucapan penjaga berjam tangan besar kemarin terngiang, dia paham maksudnya, dan percaya. Dia segera keluar dari ruang sel, langkahnya tak bersuara, menyusuri lorong tak seberapa panjang, dan tiba di ruangan lain. Di ujungnya ada pintu dan langkahnya mengarah ke situ. Debar jantungnya memacu, deru napasnya memburu: pintu tidak terkunci.
Keluar ruangan, halaman berlantai kerikil menyambut kaki telanjangnya. Pandangnya mengedar. Deretan bangunan berbaris di ujung sana, kaku dalam abu-abu, panser berjajar di garasi terbuka, menara penjaga menjulang setinggi pohon kelapa tanpa sorot lampu, dan pada arah pukul tiga, tak jauh dari pagar tinggi yang membentang, sebatang pohon tertampak kesepian.
Dia menyusuri ruang terbuka dipenuhi ilalang setinggi lutut, langkahnya tertatih-tatih, dan jempol kaki tanpa kuku itu perih saat mengesek rerumputan. Dia mengendap, menunduk, dan berlari secepat dia bisa, diiringi cahaya rembulan muram di atas sana.
Sampai di pohon, orang ini memeluk batangnya, terengah-engah, bintik-bintik keringat bermunculan di dahi. Pohon seukuran paha itu tidak seberapa tinggi, seolah tumbuh dari perut bumi hanya untuknya. Dia cuma perlu memanjat, menuju kebebasan, melanjutkan mimpi-mimpi, dan melewati kawat berduri pada bagian atas tembok itu bukan hal sulit baginya.
Orang ini berbalik badan, sejenak berdiam, seperti ada yang memanggil, dan segera tahu hanya suara hatinya. Dia menatap lekat-lekat bangunan neraka itu, memahatkan peristiwa di dalamnya, membayangkan wajah keji sekawanan iblis, juga malaikat itu. Matanya berkaca-kaca: utang budi itu akan dibawanya mati.
”Terima kasih, Pak...,” ucapnya lirih.
***
Orang ini melirik jam tangan besar di tangan kirinya. Ujung bibirnya melebar, semua berjalan sesuai rencana. Dengan rokok masih terselip di bibir, dia membidikkan senjata berperedam dan berteropong inframerah itu. Sedetik kemudian menarik pelatuknya. Cahaya berkilatan dari arah puncak menara. Peluru berhamburan, membelah udara, menerjang semua yang menghalangi laju geraknya.
Seperti batang pisang ditebang parang, orang yang lagi menyandar di pohon itu pun tumbang. Darah muncrat dari leher, dada, perut, dan paha. Sesaat dia kelonjotan di rerumputan seperti ayam sembelihan, lalu terdiam. Tak lama berselang, dua bayangan mendekat, menyeret bangkai itu ke sebuah lubang tak jauh dari pohon ketapang. Menguburnya dalam diam, tanpa kata, berahasia. ______________________________
Dewanto Amin Sadono menyelesaikan dua novel dan satu cerita anak-anak: Sebuah Negeri Dalam Cermin, Nama Saya Nuisance Dust, dan Udin, Oh Udin. Cerpennya yang berjudul ”Seandainya Boleh Memilih” jadi cerpen favorit dalam Lomba Cerpen Bulan Bahasa yang diadakan FIB UGM tahun 2019.