Cap Go Meh di Manado Tetap Meriah Tanpa Wisatawan Mancanegara
›
Cap Go Meh di Manado Tetap...
Iklan
Cap Go Meh di Manado Tetap Meriah Tanpa Wisatawan Mancanegara
Perayaan Cap Go Meh di Manado tahun ini tak dihadiri wisatawan China. Namun, kemeriahannya sebagai pesta rakyat tidak berkurang.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Cap Go Meh 2571 di Manado, Sulawesi Utara, dirayakan tanpa kehadiran wisatawan mancanegara asal China. Kendati demikian, perayaan ini tetap berlangsung meriah sebagai pesta rakyat sekaligus perayaan multikulturalisme di Manado. Warga diajak menjaga kerukunan dalam perbedaan.
Hujan yang mengguyur Kampung Cina di Kelurahan Calaca, Wenang, tak menyurutkan kemeriahan perayaan malam ke-15 setelah Imlek, Sabtu (8/2/2020). Sejak siang, warga etnis China bersembahyang di beberapa tempat ibadah Tri Dharma atau kelenteng, mayoritas mengenakan baju putih.
Di luar Kelenteng Ban Hing Kiong, warga dari berbagai suku dan agama telah berkerumun menunggu kedatangan tangsin, yaitu umat Tri Dharma yang akan diarak untuk mempertontonkan kekebalan tubuh dari senjata tajam.
Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Manado Sufandi Siwi mengatakan, tahun ini hanya enam dari sepuluh kelenteng yang berpartisipasi mengirimkan tangsin. Karena itu, hanya ada enam tangsin yang ditampilkan.
”Kalau tahun lalu ada sepuluh tangsin, tahun ini cuma enam. Empat kelenteng tidak mendapatkan restu untuk turun ke jalan menurut petunjuk ritual Poa Pwe. Ritual itu adalah cara menentukan apakah perayaan Cap Go Meh dapat digelar di luar kelenteng,” kata Sufandi.
Semua tangsin yang tampil adalah laki-laki. Selain pipi dan bibir mereka ditembus besi-besi putih tajam, mereka juga membentur-benturkan sebilah pedang ke punggung mereka hingga timbul luka. Ada pula tangsin yang beraksi dengan memasukkan mata tombak ke mulut. Meski ada luka terlihat, mereka tidak menunjukkan sakit.
Sufandi mengutarakan, Cap Go Meh adalah perayaan penciptaan langit dan bumi oleh Tuhan. Alam semesta dipercaya kembali menjadi selaras seperti saat penciptaan.
”Karena itu, semua ritual, liturgi, dan prosesi Goan Siau berusaha menghadirkan kekuatan keramat dan suci dalam keadaan manusia dengan utuh. Para tangsin adalah perwujudannya, yaitu saat roh para dewa masuk ke tubuh manusia,” katanya.
Cap Go Meh yang sarat nilai budaya dan ritual dari China menjadi daya tarik wisata. Pemerintah Kota Manado pun menjadikannya sebagai salah satu rangkaian acara menuju festival Manado Fiesta.
Meski demikian, menurut Arthur Rompis, warga Manado yang hadir dalam perayaan Cap Go Meh, perayaan tahun ini cenderung sepi. Padahal, tahun sebelumnya banyak wisatawan asal China. ”Mungkin gara-gara virus korona,” katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Manado Lenda Pelealu membenarkan hal ini. Akibatnya, acara yang sudah dimasukkan dalam kalender acara wisata Pemkot Manado itu tidak dapat disaksikan wisatawan mancanegara.
”Tidak bisa dimungkiri, sektor pariwisata Manado terpukul, apalagi 90 persen (dari 120.000) wisatawan mancanegara, kan, berasal dari China. Hotel-hotel dan pusat-pusat selam pasti terpengaruh. Kita berharap saja keadaan di China segera pulih meskipun mungkin tidak dalam waktu dekat,” katanya.
Tidak bisa dimungkiri, sektor pariwisata Manado terpukul, apalagi 90 persen wisatawan mancanegara berasal dari China.
Menurut Lenda, pemerintah daerah harus mendiversifikasi pasar wisata ke Jerman dan Singapura sebagai pengirim wisman terbanyak kedua dan ketiga di Manado. Selain itu, pasar dalam negeri juga harus dihujani promosi pariwisata di Manado.
”Pasar lokal juga harus digarap karena kualitas pengeluaran wisata mereka tidak kalah dari wisman. Pemkot akan terus membuat acara unggulan seperti Manado Fiesta dan MICE (pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran),” katanya.
Rumah bersama
Pawai ritual tangsin ini diawali pawai budaya berbagai etnis yang ada di Manado, misalnya tari kabasaran dari Minahasa dan suku Bantik serta menyanyi masamper dan kelompok musik bambu dari Nusa Utara. Dipamerkan pula secara simbolis beragam agama yang ada di Manado.
Wali Kota Manado Vicky Lumentut mengatakan, perayaan Cap Go Meh adalah salah satu cara menampilkan kekayaan budaya di Manado. Sebelumnya, Rabu (5/2/2020), digelar pula upacara adat Tulude oleh warga etnis Sangir dari Kepulauan Sangihe, Sitaro, dan Tagulandang.
”Kota kita adalah rumah besar kita bersama. Kalau kita bertahan di satu rumah, pasti kita bekerja sama menjaga rumah itu tanpa memperhatikan suku, agama, dan ras. Semoga perayaan Cap Go Meh ini menjadi perayaan kerukunan di kota kita,” kata Vicky.
Semoga perayaan Cap Go Meh ini menjadi perayaan kerukunan di kota kita.
Kepala Dinas Pariwisata Sulut Henry Katjily menambahkan, Cap Go Meh mendorong umat untuk mengintrospeksi diri dan memperbarui diri. ”Semoga Cap Go Meh menyatukan dan memperkuat persaudaraan kita,” ucapnya.
Di Kelenteng Ban Hing Kiong, misalnya, Tjandra Johnny Nangoy (64) berdoa lalu menancapkan dupa di altar pemujaan para dewa. Berbagai jenis makanan, mulai daging, ikan, nasi, hingga buah-buahan, disediakan di altar sebagai persembahan.
”Saat Cap Go Meh, kami merayakan penciptaan alam semesta. Karena itu, kami berdoa untuk perdamaian dan kerukunan bangsa dan negara, begitu juga untuk kepentingan masing-masing,” kata Tjandra.
Sementara itu, Ika (30), warga Paal II yang beragama Islam, berniat mengajak Tegar, putranya, menonton pawai Cap Go Meh lagi tahun depan. Selain mendapatkan hiburan, ia yakin perayaan serupa dapat memperkuat solidaritas warga. ”Saya rasa pengertian dan toleransi antarumat beragama bisa semakin kuat,” katanya.