Tidak ada investasi yang aman dan bebas dari kerugian. Investasi sudah ditakdirkan memiliki risiko. Hanya saja, setiap jenis investasi memiliki level risiko yang berbeda-beda.
Oleh
Abdul Rahman Mangussara
·4 menit baca
Kemajuan teknologi informasi yang luar biasa cepat sungguh membuka banyak peluang yang sebelumnya tak terpikirkan. Apa yang dulunya mustahil kini menjadi nyata, tidak terkecuali di industri keuangan. Teknologi informasi melahirkan banyak inovasi dalam berinvestasi.
Salah satunya, yang akhir-akhir ini mulai sering kita dengar, adalah crowdfunding atau urun dana. Dalam dunia keuangan dikenal setidaknya empat jenis urun dana, salah satu di antaranya adalah equity crowdfunding (EC) yang diartikan sebagai layanan urun dana melalui penawaran saham yang berbasis teknologi informasi.
Secara sederhana, EC adalah penggalangan dana, ya seperti saweran, dari sejumlah orang atau pemodal untuk membiayai satu proyek, tetapi penggalangannya melalui teknologi informasi. Mirip peer to peer lending, hanya saja EC tidak meminjamkan uang seperti pada pinjaman daring, tetapi membeli saham dari perusahaan atau proyek yang akan dibiayai.
Jadi, EC adalah alternatif berinvestasi saham, tetapi bukan dengan cara membeli melalui Bursa Efek Indonesia. Jika tidak melalui pasar modal atau bursa saham, lantas bagaimana membeli saham dengan skema EC? Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi yang diterbitkan pada Desember 2018, EC melibatkan tiga pihak, yakni penerbit, penyelenggara, dan pemodal.
Penerbit adalah perusahaan yang membutuhkan modal yang sahamnya akan dijual kepada pemodal. Hanya saja, sahamnya tidak ditawarkan di lantai bursa, seperti umumnya penawaran umum dalam pengertian UU Pasar Modal. Penawaran saham perusahaan penerbit dilakukan melalui pihak yang disebut sebagai penyelenggara. Per definisi, penyelenggara adalah perusahaan berbadan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pengumpulan dana.
Merekalah yang mengumpulkan dana dari investor untuk kepentingan penerbit melalui teknologi informasi. Untuk menjadi penyelenggara, perusahaan wajib mendapat izin dari OJK sebagai lembaga yang akan menjadi pengawasnya. Sampai di sini jelas bedanya bahwa pemodal atau investor membeli saham (tidak meminjamkan) lewat perusahaan penyelenggara urun dana dan tidak melalui Bursa Efek Indonesia.
Rintisan dan UMKM
Pertanyaan selanjutnya adalah perusahaan seperti apakah yang akan menjadi penerbit atau yang akan memanfaatkan skema pencarian investor seperti ini?Mengingat pola pengumpulan dana ini tidak dimaksudkan untuk mencari modal dalam jumlah besar seperti di bursa saham, maka perusahaan yang akan menjadi penerbitnya adalah, umumnya, perusahaan rintisan (start up) atau usaha kecil dan menengah yang secara teknis belum memenuhi syarat untuk go public.
Penyelenggara, yang dalam hal ini bertindak sebagai perantara antara UMKM atau start up pencari dana dan pemodal, akan menawarkan saham kepada investor dalam jangka waktu 12 bulan dengan nilai penawaran paling banyak Rp 10 miliar dalam masa penawaran enam puluh hari.
Demi melindungi konsumen keuangan, dalam hal ini investor, OJK membatasi pemodal yang layak berinvestasi melalui layanan urun dana berbasis teknologi informasi ini:
1. Memiliki kemampuan analisis risiko terhadap saham.
2. Mereka yang penghasilannya sampai dengan Rp 500 juta dalam setahun dapat menanamkan dananya maksimal 5 persen dari penghasilan.
3. Mereka yang penghasilannya lebih besar dari Rp 500 juta per tahun boleh menginvestasikan uangnya 10 persen dari penghasilan.
Pengecualian dari tiga kententuan di atas diberikan jika pemodalnya adalah badan usaha, memiliki pengalaman berinvestasi di pasar modal yang dibuktikan dengan kepemilikan rekening efek paling sedikit dua tahun sebelum penawaran saham.
Risiko
Perlu dicamkan baik-baik bahwa tidak ada investasi yang aman dan bebas dari kerugian. Investasi sudah ditakdirkan memiliki risiko. Hanya saja, setiap jenis investasi memiliki level risiko yang berbeda-beda. Pun jamak setiap pemodal memiliki daya tahan berbeda dalam menerima kegagalan.
Adapun risiko dari investasi melalui EC adalah, pertama, investasi kurang likuid kalau tidak mau mengatakan tidak likuid sama sekali. Penyertaan modal dalam bentuk saham tidak mudah untuk dijual apabila pemodal ingin mencairkan dananya. Kenapa? Karena, tidak memiliki pasar sekunder seperti yang ada di bursa saham, di mana investor bisa menjual kepemilikan sahamnya kapan saja mereka mau. Dalam kasus EC, pemodal harus mencari orang lain yang mau membeli saham perusahaan tersebut.
Risiko kedua adalah perusahaan rintisan dan atau usaha kecil menengah, karena sifat dan skalanya, rentan untuk tidak bisa melanjutkan kegiatan usahanya. Jika usaha penerbit saham yang dibiayai gagal, investor dapat saja kehilangan semua atau sebagian dari dananya. Ketiga adalah penawaran batal karena jumlah minimum dana tidak terpenuhi. Kondisi ini berpeluang terjadi manakala jumlah pemodal yang tertarik untuk membiayai satu perusahaan atau proyek tidak banyak.
Sekarang Anda telah mengenal apa itu urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi dan mengetahui risikonya. Jika selama ini Anda sudah menginvestasikan uang di pasar modal dengan membeli saham perusahaan besar, mungkin kini saatnya untuk melihat-lihat skema yang satu ini.
Abdul Rahman Mangussaradari Otoritas Jasa Keuangan