Ide menciptakan mesin pengolah wadah pelepah lahir atas keprihatinan penggunaan plastik yang merusak lingkungan. Dengan melihat kearifan lokal wadah pelepah, muncul ide untuk menghidupkannya kembali.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Menyantap makanan dengan wadah pelepah pinang telah menjadi tradisi masyarakat di Sumatera. Namun, warisan kearifan lokal itu sudah lama meredup, seiring menjamurnya wadah makan dari plastik dan kaca. Sejumlah peneliti mencoba menghidupkannya lagi lewat pengemasan yang menarik.
Rudi Nata, pria kelahiran Sarolangun, Jambi, terkenang semasa kecilnya menikmati makanan di atas pelepah pinang (Areca nut). Saat berada di kebun ataupun sewaktu bepergian, sang ibu menyiapkan pelepah yang mudah diperoleh di mana-mana.
Budidaya pinang pun berkembang, khususnya di pesisir timur Jambi. Tanaman mudah tumbuh meski dalam kondisi tanah kurang subur sekalipun.
Akan tetapi, pemanfaatan pelepah pinang meredup belakangan. Beragam jenis piring, mangkuk, dan gelas dari bahan kaca, plastik, dan kaleng kian menjamur di pasaran. Selain murah harganya, produk-produk itu juga dianggap praktis karena dapat digunakan berulang kali.
Selama puluhan tahun, pelepah pinang pun nyaris tak lagi bermanfaat selain menjadi sampah dan pupuk organik. Tahun lalu, sejumlah dosen dan alumni mahasiswa Universitas Jambi mencoba menghidupkan lagi kearifan lokal itu. Sebanyak 2.000 pelepah dari Desa Teluk Kulbi, Kecamatan Betara, Tanjung Jabung Barat, dipasok ke kampus menjadi bahan uji coba yang dimotori Sahrial, dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Jambi. Ia dibantu sejumlah dosen lainnya, Fernisa, Vero Oktaria, dan Veni Permatasari. Lahirlah mesin pencetak wadah dari bahan pelepah.
Produksi wadah pelepah digadang-gadang menggantikan kemasan plastik atau wadah styrofoam yang selama ini menjadi beban lingkungan. Karena berasal dari alam, wadah dari bahan pelepah pinang ramah lingkungan. Jika tak lagi digunakan, wadah yang dibuang ke tanah akan luruh hanya dalam waktu dua bulan. Ide menciptakan mesin pengolah wadah pelepah lahir atas keprihatinan penggunaan plastik yang merusak lingkungan.
Dengan melihat kearifan lokal wadah pelepah yang meredup, muncul ide untuk menghidupkannya kembali. Deni Gusli, dari Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unja yang turut serta dalam tim, menjelaskan proses produksi wadah pelepah. Pelepah pinang yang telah dipetik, dicuci bersih, lalu dijemur.
Setelah kering, pelepah dipotong-potong menyesuaikan ukuran yang dibutuhkan. Setelah itu, dengan mesin ciptaan tim peneliti, pelepah dapat dicetak dalam suhu di atas 100 derajat celsius menjadi bentuk piring dan mangkuk.
Tekanan dan panas meratakan bentuk pelepah yang semula tak beraturan. Suhu yang tinggi mengurangi kadar air hingga di bawah 10 persen. Hasilnya, wadah pelepah pun awet. Menurut Sahrial, tidak hanya pelepah pinang, teknologi itu juga memungkinkan pengolahan serupa pada berbagai jenis pelepah tanaman lain, seperti pelepah pisang, pelepah sawit, pelepah kelapa, dan daun jati.
Melihat besarnya peluang pemanfaatan wadah pelepah, Sahrial pun membentuk bengkel ”Rumah Jambe-e” di kampusnya di kawasan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi. Rudi Nata, lulusan studi Kimia, serta Deni Gusli, membantunya mengelola bengkel bersama anak-anak muda lainnya. Para dosen mengembangkan teknologinya, Deni fokus pada proses produksi, sedangkan Rudi mengembangkan pasarnya.
Jalur daring
Menurut Rudi, sebagai pendatang baru, wadah pelepah mulai dilirik masyarakat. Dalam gerai daring Tokopedia, 200 piring habis terjual. Selebihnya lewat pemesanan berbasis Whatsapp. Dari sisi harga, wadah pelepah hampir 10 kali lipat mahalnya dibandingkan dengan styrofoam yang hanya Rp 200 per buah.
Meskipun harganya lebih mahal, manfaat konservasi lingkungannya pun jauh lebih tinggi. Sejauh ini, sebagian besar peminatnya baru pada kalangan hotel, restoran, atau pelaku wisata. Mereka umumnya memesan karena ingin turut menghargai pesan lingkungan yang diselipkan lewat produksi wadah pelepah.
Begitu pula di lingkungan kampus sudah mulai dihidupkan gerakan tolak plastik. Mahasiswa yang ke kampus wajib membawa wadah minuman sendiri. Kampus melarang mahasiswa membawa minuman kemasan plastik yang sekali pakai. Sementara pada acara-acara kampus, penggunaan wadah pelepah pun digalakkan.
”Jika ingin mengubah bumi yang lebih baik, gerakan ini harus dimulai dari lingkungan kita sendiri, dalam hal ini kampus,” ujar Rudi. Pengembangan hasil penelitian diharapkan tak hanya memberikan manfaat lingkungan. Pelepah pinang yang kini dapat menggantikan styrofoam diharapkan memberikan manfaat berlipat dan nilai tambah bagi para petani.
Sementara itu, buah pinang merupakan salah satu komoditas unggulan di Jambi. Pinang asal Jambi dikenal sebagai pinang terbaik di dunia karena memiliki kadar air rendah, di bawah 6 persen. Kadar air rendah juga didapati pada pelepahnya. Tiga daerah di Jambi yang menjadi sentra komoditas pinang meliputi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jambi, luas perkebunan pinang di Jambi mencapai lebih dari 17.000 hektar. Potensi ekspor buahnya lebih dari 13.000 ton biji kering. Pelepah tidak masuk ke dalam potensi bernilai ekonomi. Pengembangan ini dapat mengangkat nilai tambah pada tanaman pinang. Menurut Sahrial, pengembangan teknologi berbasis pelepah masih akan melalui jalan panjang.
Pengembangan teknologi terus dilakukan untuk mengangkat keekonomisan wadah pelepah hingga mengupayakannya agar dapat dikelola secara swadaya di tingkat rumah tangga. Dengan begitu, petani tak hanya makin semangat bertani dan berkebun, tetapi juga mengelola pelepah. Melalui pengoptimalan hasil komoditas yang ditanam di lahannya, petani akan semakin berdaya.