Perombakan total Taman Ismail Marzuki tidak melibatkan para pemangku kepentingan kebudayaan, mulai dari Akademi Jakarta sebagai penasihat gubernur DKI Jakarta hingga Dewan Kesenian Jakarta.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Keengganan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta duduk bersama para seniman dan budayawan kian memperkeruh polemik revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM). Seniman meminta segera digelar moratorium atau penangguhan revitalisasi oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sebelum kesimpangsiuran informasi diselesaikan melalui musyawarah duduk bersama.
"Hingga kini Akademi Jakarta yang merupakan penasihat gubernur DKI Jakarta untuk segala aspek kebudayaan tidak pernah dilibatkan, bahkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai pelaksana programnya," kata sastrawan sekaligus mantan Ketua DKJ Noorca Massardi di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Ia menjelaskan, permasalahan utama bagi komunitas seniman dan budayawan adalah klausul pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penugasan kepada PT Jakpro untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta TIM. Dalam Pasal 7 disebutkan, PT Jakpro melakukan pengelolaan dan perawatan prasarana dan sarana Pusat Kesenian Jakarta TIM dalam jangka waktu 28 tahun sejak Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 diundangkan.
Dengan aturan baru tersebut, maka pengelolaan TIM 28 tahun ke depan praktis hanya dilakukan oleh PT Jakpro semata. Selama ini pengelolaan TIM dilakukan oleh DKJ dan Pusat Kesenian Jakarta TIM yang bekerja sama dengan berbagai komunitas seni untuk mengisi konten-konten kegiatan.
Jangan sampai tujuan revitalisasi demi menjadikan TIM sebagai tempat mencari uang, apalagi keuntungan ekonomi.
Khusus dalam program revitalisasi, Pemprov DKI Jakarta menunjuk lima orang perwakilan seniman untuk masuk dalam Tim Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta TIM. Mereka adalah Arie Batubara, Arsono, Hidayat LPD, Yusuf Susilo Hartono, dan Mohamad Chozin. Meski demikian, banyak seniman merasa belum terwakili sehingga gelombang protes terkait revitalisasi TIM terus bergulir.
Pematung sekaligus dosen seni rupa Institut Kesenian Jakarta Dolorosa Sinaga menekankan bahwa pendirian TIM adalah bentuk pengakuan pemerintah terhadap hak konstitusi rakyat untuk mendapat pendidikan, informasi, dan berekspresi. TIM merupakan tempat investasi jangka panjang untuk membangun karakter manusia Indonesia melalui pengembangan seni secara lokal, nasional, dan internasional.
"Revitalisasi sarana TIM sangat mulia karena memang banyak fasilitas sudah tidak layak. Namun, jangan sampai tujuan revitalisasi demi menjadikan TIM sebagai tempat mencari uang, apalagi keuntungan ekonomi. Ini tak sesuai dengan marwah TIM," tutur Dolorosa. Dengan diserahkannya pengelolaan TIM di bawah PT Jakpro yang merupakan badan usaha milik daerah, maka praktis arah pengelolaan TIM ke depan adalah demi laba, bukan pembangunan manusia dan kebebasan berekspresi.
Rencana Awal
Noorca juga mengkritisi ketidaksesuaian skema revitalisasi sekarang dengan cetak biru awal hasil sayembara pemprov DKI Jakarta. Penolakan masyarakat paling keras terkait pembangunan gedung yang disinyalir akan menjadi hotel bintang lima.
Pada pertemuan dengan Lembaga Kebudayaan Betawi tanggal 3 Januari 2020 lalu, Direktur Operasional PT Jakpro Muhammad Taufiqurrachman menerangkan bahwa gedung tersebut bukan untuk hotel, melainkan wisma berkapasitas 200 unit kamar. Kamar-kamar tersebut difungsikan sebagai penginapan bagi para seniman maupun akademisi yang diundang melakukan pagelaran atau memberi kuliah di TIM.
Menurut Muhammad, pengelolaan TIM tetap dilakukan oleh Akademi Jakarta dan DKJ. Sementara itu, PT Jakpro sebatas membangun dan merawat sarana fisik saja.
Meskipun begitu, Noorca mencermati pernyataan mengenai wisma itu baru muncul setelah kabar mengenai hotel bintang lima beredar. "Bahkan, pada cetak biru awal gedung tersebut tidak ada dan tiba-tiba diputuskan untuk dibangun," ujarnya.
TIM memiliki luas sekitar 7,5 hektar. Pusat kesenian ini berada di lokasi sangat strategis Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat.