Memahami Kebosanan Siswa
Saya pernah bertanya kepada mahasiswa program S-1 kelas awal, apa yang menjadi persoalan atau kesulitan bagi mereka dan apa yang ingin mereka ubah.
Saya pernah bertanya kepada mahasiswa program S-1 kelas awal, apa yang menjadi persoalan atau kesulitan bagi mereka dan apa yang ingin mereka ubah. Cukup banyak yang menjawab ”pengendalian diri”.
Saya pikir mereka sulit mengendalikan diri dalam arti mengendalikan emosi, seperti rasa marah atau sedih. Ternyata maksudnya, ”mengendalikan diri untuk dapat memusatkan perhatian dan tidak menghabiskan waktu berkelana di internet”.
Semua siswa pasti pernah merasakan kebosanan, tetapi pada masa kini, anak muda pada umumnya, dan siswa pada khususnya, mungkin harus berjuang lebih keras lagi untuk mengatasi rasa bosan. Kita perlu membahas persoalan kebosanan pada orang muda ini karena implikasinya dapat sangat luas. Mulai dari menurunnya prestasi, kegagalan melanjutkan pendidikan, terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri ataupun orang lain, hingga terlibat dalam pelanggaran hukum.
Empat puluh persen
Lia Daniels, Virginia Tze, dan Thomas Goetz (2015) memperkirakan, sekitar 40 persen mahasiswa pernah mengalami kebosanan di kelas pada saat-saat tertentu. Mereka kemudian tertarik mendalami persoalan ini. Penelitian Daniels dkk melibatkan 446 mahasiswa di Kanada, berusia rata-rata 22 atau 23 tahun, dan 329 mahasiswa di antaranya perempuan.
Kebosanan dapat disebabkan oleh situasi lingkungan (misalnya, monoton, terisolasi, dan mengerjakan tugas yang sama berulang-ulang). Dapat pula disebabkan oleh karakteristik individu itu sendiri (memang mudah bosan, membutuhkan banyak stimulasi). Keduanya kemudian saling berinteraksi (misalnya: dalam kuliah yang tugasnya terlalu mudah, mahasiswa yang cepat bosan akan segera saja kehilangan rasa tertarik terhadap kuliah).
Ada beberapa situasi yang menyumbang terhadap hadirnya kebosanan di kelas. Situasi itu adalah menghadapi tantangan yang terlalu sulit, mendapat tugas yang terlalu mudah, menghadapi rutinitas, tidak menemukan makna dari situasi belajar yang dihadapi, ada hal-hal yang lebih menarik untuk dilakukan, tidak menyukai guru atau dosen yang mengajar, dan merasa tidak terlibat.
Bagaimana kita mengatasi kebosanan dapat berbeda-beda. Siswa yang melakukan pendekatan kognitif mencoba mengelola atau mengubah pemikirannya sendiri untuk dapat meningkatkan nilai positif dari situasi yang dihadapinya. Misalnya, ketika dosen tidak menjelaskan dengan baik, ia akan mencari-cari contoh sendiri atau menemukan pemaknaan yang membuatnya lebih tertarik pada materi yang sedang dibahas.
Ada pula siswa yang akan melakukan pendekatan ”perilaku” dengan mengubah situasi, misalnya dengan bertanya kepada guru, meminta dosen untuk memberikan tugas yang berbeda, atau keluar kelas sebentar untuk membuang kebosanan dan kemudian masuk kelas kembali.
Strategi yang lain adalah siswa melakukan penghindaran, mengambil jarak, atau meninggalkan situasi membosankan itu, mungkin dengan melamun, tidak masuk kelas, atau ada di kelas, tetapi sibuk sendiri dengan gim di internet.
Yang melakukan penyesuaian atau pendekatan kognitif adalah yang paling adaptif sehingga akhirnya dapat menurunkan kebosanannya dan tetap mempertahankan minat serta upaya untuk terus belajar.
Peran guru
Tampaknya guru dan dosen perlu berbesar hati mengevaluasi diri sendiri dan melakukan pemutakhiran diri. Ini karena kurangnya keterlibatan siswa banyak dipengaruhi juga oleh ketidaksukaan siswa kepada guru atau dosen. Jika dosen dianggap kurang menguasai materi, pendekatan mengajarnya tidak menarik, atau mungkin memiliki karakteristik pribadi kurang positif, siswa akan kehilangan minat dan enggan terlibat dalam proses.
Penelitian Daniels dkk (2015) menemukan bahwa yang terbanyak dari para mahasiswa masih kelompok yang mencoba melakukan strategi kognitif (279 mahasiswa). Ada 39 orang yang memilih melakukan pendekatan perilaku, dan sisanya (103 orang) malas berpikir, berperilaku menghindar, atau menolak untuk melibatkan diri secara lebih aktif. Model penyesuaian diri yang terakhir ini kurang positif dan jumlahnya cukup banyak juga (lebih dari 23 persen).
Saya tak tahu bagaimana dengan di Indonesia. Jika tampilan datanya relatif sama, berarti ada setidaknya 20 persen dari mahasiswa yang mengalami kebosanan dalam menjalani pendidikan dan memilih menjauh atau menghindar. Menarik bahwa kelompok yang menghindar ini memiliki kesamaan dengan kelompok yang melakukan penyesuaian perilaku (misal: mengkritik penjelasan guru) dalam upaya mengatasi rasa bosan, yakni mereka sama-sama lebih menunjukkan ketidaksukaan kepada dosen dibandingkan dengan kelompok yang mencoba melakukan pengubahan kognisi diri.
Internet
Penelitian yang barusan dilakukan para mahasiswa kami di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sebagai tugas mata kuliah Penelitian Kualitatif tidak mengambil tema tentang kebosanan. Tema besar yang diambil adalah ”orang muda dan dunia digital”. Ternyata dari situ didapat temuan bahwa ada cukup banyak orang muda yang sibuk berselancar di internet (menonton drama Korea, membuat fanfiction, role play, main gim, atau lainnya) untuk mengatasi rasa bosannya.
Mereka melihat yang dilakukannya sebagai hiburan yang ditunggu-tunggu. Mereka umumnya tidak merasa ada yang salah dengan perilakunya. Apabila terhambat untuk melakukan kebiasaannya, justru mereka merasa sangat terganggu atau frustrasi. Yang awalnya hanya untuk mengatasi kebosanan akhirnya menjadi obsesi. Jam tidur terganggu menjadi hanya 3 jam sehari sehingga siswa menjadi kurang segar pada jam kerja. Mereka tidak punya waktu untuk mengobrol bertatap muka dengan orang-orang terdekat.
Di kereta dan di tempat-tempat umum kita mendapati orang membuang kebosanan dan mencari kesenangan dengan menunduk meng- hadapi gawainya. Semua sibuk dengan dirinya sendiri.
Teknologi maju dan internet memang telah mengubah kita semua, dalam arti positif ataupun negatif. Kebijakan pendidikan perlu banyak dimutakhirkan, demikian pula dengan kebijakan pada aspek-aspek kehidupan lainnya.
Semoga para pembuat kebijakan dapat menetapkan kebijakan yang terbaik untuk kepentingan jangka panjang, termasuk di dalamnya untuk menjaga dan meningkatkan kemanusiaan kita.