Salah satu poin dari kode etik menyebutkan bahwa dengan profesinya, artis harus menjaga moral bangsa dan menjaga martabat sebagai manusia susila.
Oleh
·2 menit baca
Dunia hiburan sudah sejak lama membuat silau banyak orang. Awal dekade 1970-an, salah satu bidang hiburan yang cukup banyak dielu-elukan adalah perfilman. Tinggal di rumah gedongan, bepergian dengan mobil kinclong, berbusana necis dari butik, dan hadir di pesta-pesta gemerlap merupakan ciri umum kehidupan bintang film pada masa itu. Keseharian artis film selalu menjadi perhatian publik.
Namun, di balik itu semua, tersimpan kekhawatiran bahwa artis film akan mudah terjerumus kehidupan yang serba bebas hingga melanggar norma sosial. Harian Kompas edisi 8 Februari 1972 memberitakan lahirnya kode etik artis film Indonesia. Pengurus besar Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) merumuskan kode etik bagi kalangan artis. ”Agar berdisiplin melakoni profesinya,” kata Soekarno M Noor, Ketua II Parfi.
Kode etik tersebut mengatur paling kurang tiga hal mendasar: kepribadian para artis film, kekaryaan, dan kekuatan norma-norma etik itu sendiri. Tercantum, antara lain, artis film Indonesia harus mengabdi dan bertanggung jawab pada profesinya. Dalam hal ini, artis film sepatutnya menjaga moral bangsa dan martabatnya sebagai manusia serta tidak menuntut keistimewaan untuk dirinya.
Belakangan ini, sejumlah nama artis tersangkut bisnis prostitusi daring.
Artis film juga dilarang ikut main dalam blue film. Bahkan, kode etik itu juga mengusung nasionalisme: artis dilarang bermain film yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Belakangan ini, sejumlah nama artis tersangkut bisnis prostitusi daring. Kode etik Parfi yang terbit pada hampir setengah abad silam tetap relevan di era digital ini. Sebelum bicara soal hukum, sejatinya etikalah yang terlebih dulu mengawal perilaku manusia. (NAR)