Pendidikan Tinggi Mesti Cair dan Adaptif Hadapi Masa Depan
›
Pendidikan Tinggi Mesti Cair...
Iklan
Pendidikan Tinggi Mesti Cair dan Adaptif Hadapi Masa Depan
Selama ini, mayoritas pendidik di perguruan tinggi mendikotomikan diri dalam kotak-kotak jurusan ilmu tertentu. Akan tetapi, batas-batas itu kini kian mengabur
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS – Perkuliahan lintas disipliner yang tidak hanya berkisar pada ilmu-ilmu serumpun, tetapi juga ilmu antarkelompok merupakan kebutuhan pendidikan tinggi sekarang dan di masa depan. Hal ini membutuhkan kemampuan pedagogi baru yang mengutamakan rasa ingin tahu, kreativitas, disiplin, dan kolaborasi, bukan membatasi ilmu agar berkembang dengan eksklusif seperti zaman dulu.
“Memang ada perubahan paradigma mendasar bagi para dosen. Sebelumnya, mayoritas pendidik di perguruan tinggi mendikotomikan diri, misalnya dalam kotak ilmu sosio-humaniora dan ilmu eksakta. Akan tetapi, batas-batas itu kini kian mengabur,” kata Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro di Depok, Jawa Barat, Jumat (7/2/2020). Ia berbicara seusai penandatanganan penerimaan bantuan pendidikan sebesar Rp 10 miliar dari Tahir Foundation yang diberikan oleh Ketua Umum yayasan tersebut, Jonathan Tahir.
Pada kesempatan yang berbeda, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Doni Koesoema melontarkan kritik mengenai kekakuan dikotomi tersebut. Misalnya, pelajaran logika dan berpikir kritis di banyak perguruan tinggi masih dianggap sebatas sektor sosio-humaniora sehingga jarang yang mengajarkan di jurusan-jurusan eksakta. Demikian pula dengan analisa sistematis yang kerap untuk jurusan eksakta saja. Padahal, pembangunan kecakapan berpikir, manajemen emosi, analisa informasi, kreativitas, dan kolaborasi adalah kewajiban yang harus dipunyai semua bidang ilmu.
Menanggapi kritik seperti itu, Ari mengungkapkan bahwa di UI mulai menerapkan mata kuliah Logika Ilmu sebagai pelajaran dasar di semua program studi. Berbagai jurusan baru seperti Ekonomi Digital dan Aktuaria juga mengombinasikan berbagai studi seperti ekonomi, teknologi, komputer, dan sosiologi.
“Dalam melakukan riset juga demikian. Bantuan dari Tahir Foundation ini akan digunakan untuk membiayai kolaborasi riset peneliti UI dengan peneliti dari dalam dan luar negeri. Tidak terbatas bidang serumpun karena kami membidik riset yang bisa komprehensif dan berdampak secara lokal, nasional, dan global,” papar Ari.
Sebelumnya, mayoritas pendidik di perguruan tinggi mendikotomikan diri, misalnya dalam kotak ilmu sosio-humaniora dan ilmu eksakta. Akan tetapi, batas-batas itu kini kian mengabur
Sektor swasta
Sehari sebelumnya, ekonom pendidikan asal Maroko, Jamal Salmi memberi kuliah umum di hadapan para pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia. Salmi yang baru saja pensiun dari jabatan sebagai pakar pendidikan tinggi Bank Dunia ini menekankan pentingnya investasi sektor swasta dalam menguatkan pendidikan dan riset. Investasi tidak hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga merekrut dan memberi ruang bagi para pakar untuk melakukan penelitian dengan tujuan hilirisasi dan komersialisasi hasilnya.
Ia mencontohkan, di Korea Selatan 60 persen ilmuwan berbagai bidang, yaitu orang-orang yang memiliki gelar S2 dan S3 justru bekerja di pusat-pusat penelitian dan pengembangan milik swasta. Hal ini yang membuat riset sangat kompetitif dan hasilnya bisa langsung diproduksi untuk dinikmati masyarakat dengan harga bersaing. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang mayoritas ilmuwannya justru berada di perguruan tinggi menjadi akademisi.
“Harus ada dorongan dari pemerintah dan sektor swasta yang memastikan perkuliahan dan riset berhadap-hadapan dengan kebutuhan nyata di lapangan,” ujar Salmi.
Ia mengutip data yang dikeluarkan Universitas Harvard, Amerika Serikat mengenai Indeks Kompleksitas Ekonomi. Negara-negara maju adalah mereka yang memiliki sistem ekonomi kompleks, yaitu tidak hanya beragam mata pencaharian, tetapi juga keeratan bidang-bidang tersebut dengan inovasi sosial dan teknologi. Jepang, Swiss, Singapura, dan Jerman menduduki peringkat atas. Adapun Indonesia ada di peringkat ke-71, di bawah Malaysia (25), Thailand (32), dan China (33).
“Sudah siapkah perguruan tinggi turun dari menara gading dan memperbarui pendekatan pendidikan tinggi? Mampukah dosen membangun karakter pembelajar seumur hidup untuk dirinya sendiri dan mahasiswanya? Maukah akademisi bergerak ke bawah hingga ke tingkat taman kanak-kanak demi mengenalkan sains, teknologi, seni, dan karakter kepada generasi mendatang? Kita tidak bisa lagi menunggu peminat datang ke perguruan tinggi, kita harus membentuk para peminat tersebut,” jelas Salmi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam mengungkapkan, kebijakan Kampus Merdeka mendorong adanya kolaborasi tidak hanya antarkampus, tetapi juga dengan lembaga-lembaga non pendidikan. Misalnya kerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta dunia industri untuk memastikan problema-problema nyata menjadi bagian dari pencarian inovasi pendidikan tinggi.